Sabtu, 04 April 2015

Catatan Kecil Saat Terakhirku Dengan Ibu

Ibu, hari ini hujan turun deras sekali. Di rumah. samar-samar kulihat di jendela: angin berembus kuat. biasa, aku akan bilang, "Bu, di luar hujan", dan seperti percakapan yang tak perlu kau jawab, "Ya, di jalan pun demikian". 

ini adalah hari pertama aku bisa melamun setelah engkau pergi. Hari-hari yang sibuk, aku bahkan tak sempat menemuimu. Duabelas jam sebelum kau pergi, aku cuma mencium tanganmu, menyeka wajahmu, lalu tak pernah kembali.

sampai kini, aku masih mendengar suara-suara yang mirip engkau. aku kadang lupa kau sudah tak ada. aku masih mengira engkaulah yang menyalakan lampu. engkaulah yang menelepon aku. engkaulah yang merapikan meja. aku masih mengira bapak kembali denganmu sepulang kerja.
*

23.00, 18 Maret

"Ibu, sudah sembuh?" 

"Belum," katamu. Sekantong darah segar dialirkan. sekujurmu penuh dengan kabel.

"Tidurlah," Kataku. "Kujaga infus, darah, dan oksigen ini"

"Tidak, Ibu tak bisa tidur" Jawabmu.

"Jam berapa ini?"

"Sebelas," Jawabku.

"Aku haus. Air?"

"Ini,"

kami terdiam sebentar. Ibu seperti menghitung-hitung waktu. Matamu membayangkan sesuatu. Seperti, menunggu sahabat lama yang tak jua datang.

"Jam berapa ini?" Tanyamu lagi.

"Setengah duabelas," Jawabku"
*

00.00, 19 Mei.

"Bagaimana kata suster?"

"Entah," Jawabmu, "Ibu tak bisa tidur"

"Baiklah. Aku menjagamu"

aku berdiri berjam-jam. memastikan darah tak habis. memastikan Ibu tidur, tapi Ibu tak juga tidur.

kamar pasien menjadi sesak. mengimpit-impit aku. aroma obat, aroma penyakit, aroma troli, aroma darah, aroma parfum, teraduk menjadi satu. mataku kosong. kutatap kembali ibu.

"Sudah pukul dua," Kataku.

"Kira-kira, minggu ini sembuh?"

Kau hanya menggeleng, yang kukira sebagai jawaban tak tahu.

Lama aku terdiam kembali. Terus berdiri.

sebait sajak mengalir,

rasa sakit itu kita namakan kangen. 
kapan terakhir kali kita melingkar,
bicara hal-hal remeh rumah tangga
dan minum dari gelas yang sama?

suatu hari, ibu, engkau seperti mengetahui bahwa belum saatnya aku mengenal ungkapan kehilangan
yang mesti dihalus-haluskan dengan di ambil, pulang, atau istilah-istilah lain
yang akrab dengan kangen yang menyayat
ibu, aku juga kangen pada Allah. Bapak pun juga. adikku juga.
jadi malam ini, aku pulang lebih cepat. aku nikmati angin malam dalam rumah.
karena saat-saat ini indah sekali. kita berlima semeja makan kembali. kita berlima
mengenang kembang yang pernah ditanam
tapi dijadikan teras oleh bapak
atau aku dan adik yang tak pernah beres menanak nasi
kami memang tak pernah tuntas mengenang-ngenang diri
suatu hari, ibu, aku berkenalan lagi denganmu
aku mengingat kembali siapa namaku, dan bagaimana aku ketika belum tahu
bahwa tidak semua cahaya adalah cahaya
tidak segenap lindap, mesti jadi gelap
aku mengeja namamu dengan gagap
percakapan kita pagi tadi, aku masih tidak mengerti
berpuluh tahun ini tetap saja bahasamu paling puisi
kata paling makna dan suara paling sulit dilambangkan aksara
*

03.00, 19 Maret

"Jam berapa ini?" tanyamu lagi, apakah yang sedang kau tunggu?"

"Aku nanti siang ke kampus. Jadwalku padat sekali," Kataku. "Subuh nanti, bergantian dengan Bapak yang jaga"

"Iya," Katamu singkat.

Aku terus menunggu. Azan subuh sesaat lagi tiba. ruangan menjadi dingin. seperti pisau-pisau es mencabik-cabik, seperti balok-balok es menghantam tubuhku. dingin sekali.

"Jam berapa ini?"

"Setengah empat,"

tak lama setelahnya, azan subuh terdengar. aku bersiap pulang, digantikan ayah. aku menyeka keringatmu yang menetes--pada suhu sedingin ini, pada subuh sepagi ini--aku juga menyeka seluruh wajahmu. 

kunikmati azan subuh itu, seperti tak pernah lagi kudengar azan yang sama nanti. kulekati wajahmu. matamu menatap dalam padaku. O Allah, mata apakah yang lebih indah, selain mata telaga seorang ibu, yang menatap dalam mata anaknya?

kurapikan tanganmu. "Aku pulang," kataku.

Kucium tanganmu. Kulihat erat-erat kukumu yang kuning, dan keriput tanganmu yang putih namun menua.

Masjid, subuh itu, hening sekali. lamat lamat sang Imam membaca surat al-Alaq, "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah..."

sepanjang hari itu, gema surat Al-Alaq terus terdengar di dada. ada apakah ini? sampai ketika senja hari, kuulangi pembacaan surah itu dalam shalat. aku resapi betul-betul. 

menjelang isya, aku pergi ke masjid lain. kutemui guruku di sana. aku belajar ilmu tauhid. malam itu, aku lelah, tetapi lantunan surat al-alaq terus terdengar sampai saat itu di dadaku. sejak sore telepon genggamku mati. 

pukul sepuluh. Aku pulang. satu jam, aku menuju rumah sakit. sore tadi kukontak bapak, katanya engkau semakin sehat. kuparkir motorku agak jauh ke dalam.

lamat-lamat aku menuju lantai dua. Ruang mawar. 

aku tercenung, kenapa kamarmu kosong?

"Mbak," tanyaku pada resepsionis, "Ruang itu, pasien di ruang itu, ke mana?"

"Mas? mas siapanya?"

"Saya anaknya"

"Oh....
pasien itu sudah meninggal, mas"
*

insya Allah. segala sesuatu telah tunai. kami meninggalkan ratapan jahiliyah, kami tidak meninggikan makammu, kami tidak berbincang kecuali rencana kedepan.
telah mandikan jenazahmu. telah kushalatkan engkau. telah kupikul engkau padanya, kupapah engkau pada-Nya.
haruskah aku berdukacita, ketika Allah adalah tempat kita kembali, nanti?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar