Senin, 23 April 2012

SYUBHAT-SYUBHAT SEKITAR MASALAH DEMOKRASI DAN PEMUNGGUTAN SUARA Oleh Ustadz Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari

Oleh Ustadz Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari
Majalah As-Sunnah http://almanhaj.or.id/
ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
Pemungutan suara atau voting sering
digunakan oleh lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi baik skala besar
seperti sebuah negara maupun kecil seperti
sebuah perkumpulan, di dalam mengambil
sebuah sikap atau di dalam memilih pimpinan
dan lain-lain. Sepertinya hal ini sudah lumrah
dilangsungkan. Hingga dalam menentukan
pimpinan umat harus dilakukan melalui
pemungutan suara, dan tentu saja
masyarakat umumpun dilibatkan di dalamnya.
Padahal banyak di antara mereka yang tidak
tahu menahu apa dan bagaimana kriteria
seorang pemimpin menurut Islam.
Dengan cara dan praktek seperti ini bisa jadi
seorang yang tidak layak menjadi pemimpin
keluar sebagai pemenangnya. Adapun yang
layak dan berhak tersingkir atau tidak
dipandang sama sekali ! Tentu saja metoda
pemungutan suara seperti ini tidak sesuai
menurut konsep Islam, 'yang menekankan
konsep syura (musyawarah) antara para
ulama dan orang-orang shalih. Allah telah
berfirman dalam Kitab-Nya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan menyuruh kamu
menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkannya dengan adil.[An-
Nisaa : 58]
Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang
amat agung, yang menyangkut aspek-aspek
kehidupan manusia yang amat sensitif. Oleh
sebab itu amanat ini harus diserahkan kepada
yang berhak menurut kaca mata syariat.
Proses pemungutan suara bukanlah cara/
wasilah yang syar'i untuk penyerahan amanat
tersebut. Sebab tidak menjamin penyerahan
amanat kepada yang berhak. Bahkan di atas
kertas dan di lapangan terbukti bahwa orang-
orang yang tidak berhaklah yang memegang
(diserahi) amanat itu. Di samping bahwa
metoda pemungutan suara ini adalah metoda
bid'ah yang tidak dikenal oleh Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada
satupun dari Khulafaur Rasyidin yaitu: Abu
Bakar, Umar, Ustman dan Ali radhiyallahu
'anhum maupun yang sesudah mereka, yang
dipilih atau diangkat menjadi khalifah, melalui
cara pemungutan suara yang melibatkan
seluruh umat.
Lantas dari mana sistem pemungutan suara
ini berasal ?! Jawabnya: tidak lain dan tidak
bukan ia adalah produk demokrasi ciptaan
Barat (baca kafir).
Ada anggapan bahwa pemungutan suara
adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja
amat jauh perbedaannya antara musyawarah
mufakat menurut Islam dengan pemungutan
suara ala demokrasi di antaranya:
[1] Dalam musyawarah mufakat, keputusan
ditentukan oleh dalil-dalil syar'i yang
menempati al-haq walaupun suaranya
minoritas.
[2] Anggota musyawarah adalah ahli ilmu
(ulama) dan orang-orang shalih, adapun di
dalam pemungutan suara anggotanya bebas
siapa saja.
[3] Musyawarah hanya perlu dilakukan jika
tidak ada dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-
Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara,
walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang
matahari, tetap saja dilakukan karena yang
berkuasa adalah suara terbanyak, bukan al-
Qur'an dan as-Sunnah.
MAKNA PEMUNGUTAN SUARA Pemungutan
suara maksudnya adalah: pemilihan hakim
atau pemimpin dengan cara mencatat nama
yang terpilih atau sejenisnya atau dengan
voting. Pemungutan suara ini, walaupun
bermakna: pemberian hak pilih, tidak perlu
digunakan di dalam syariat untuk pemilihan
hakim/pemimpin. Sebab ia berbenturan
dengan istilah syar'i yaitu syura
(musyawarah). Apalagi dalam istilah
pemungutan suara itu terdapat konotasi haq
dan batil. Maka penggunaan istilah
pemungutan suara ini jelas berseberangan
jauh dengan istilah syura. Sehingga tidak
perlu menggunakan istilah tersebut, sebab
hal itu merupakan sikap latah kepada
mereka.
MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA Amat
banyak kerusakan-kerusakan yang
ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di
antaranya:
[1]. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.
[2]. Menekankan suara terbanyak. [3].
Anggapan dan tuduhan bahwa dinul Islam
kurang lengkap. [4]. Pengabaian wala' dan
bara'. [5]. Tunduk kepada Undang-Undang
sekuler. [6]. Mengecoh (memperdayai)
orang banyak khususnya kaum Muslimin. [7].
Memberikan kepada demokrasi baju syariat.
[8]. Termasuk membantu dan mendukung
musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan
Nashrani. [9]. Menyelisihi Rasulullah dalam
metoda menghadapi musuh. [10]. Termasuk
wasilah yang diharamkan. [11]. Memecah
belah kesatuan umat. [12]. Menghancurkan
persaudaraan sesama Muslim. [13].
Menumbuhkan sikap fanatisme golongan
atau partai yang terkutuk. [14] Menumbuhkan
pembelaan membabi buta (jahiliyah)
terhadap partai-partai di golongan mereka.
[15]. Rekomendasi yang diberikan hanya
untuk kemaslahatan golongan. [16]. Janji
janji tanpa realisasi dari para calon hanya
untuk menyenangkan para pemilih. [17].
Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-
penipuan serta kebohongan-kebohongan
hanya untuk meraup simpati massa. [18].
Menyia-nyiakan waktu hanya untuk
berkampanye bahkan terkadang
meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-
lain). [19]. Membelanjakan harta tidak pada
tempat yang disyariatkan. [20]. Money
politic, si calon menyebarkan uang untuk
mempengaruhi dan membujuk para pemilih.
[21]. Terperdaya dengan kuantitas tanpa
kualitas. [22]. Ambisi merebut kursi tanpa
perduli rusaknya aqidah. [23]. Memilih
seorang calon tanpa memandang kelurusan
aqidahnya. [24]. Memilih calon tanpa perduli
dengan syarat syarat syar'i seorang
pemimpin. [25]. Pemakaian dalil-dalil syar'i
tidak pada tempatnya, di antaranya adalah
ayat-ayat syura yaitu Asy-Syura': 46. [26]
.Tidak diperhatikannya syarat-syarat syar'i di
dalam persaksian, sebab pemberian amanat
adalah persaksian. [27]. Penyamarataan yang
tidak syar'i, di mana disamaratakan antara
wanita dan pria, antara seorang alim dengan
si jahil, antara orang-orang shalih dan orang-
orang fasiq, antara Muslim dan kafir. [28].
Fitnah wanita yang terdapat dalam proses
pemungutan suara, di mana mereka boleh
dijadikan sebagai salah satu calon! Padahal
Rasulullah telah bersabda: "Tidak beruntung
suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada kaum wanita". [Hadits
Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah] [29].
Mengajak manusia untuk mendatangi
tempat-tempat pemalsuan. [30]. Termasuk
bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. [31]. Melibatkan diri dalam
perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
[32]. Janji-janji palsu dan semu yang disebar.
[33]. Memberi label pada perkara-perkara
yang tidak ada labelnya seperti label partai
dengan partai Islam, pemilu Islami,
kampanye Islami dan lain-lain. [34].
Berkoalisi atau beraliansi dengan partai-
partai menyimpang dan sesat hanya untuk
merebut suara terbanyak. [35]. Sogok-
menyogok dan praktek-praktek curang
lainnya yang digunakan untuk memenangkan
pemungutan suara. [36]. Pertumpahan darah
yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah
pemungutan suara karena memanasnya
suasana pasca pemungutan suara atau
karena tidak puas karena kalah atau merasa
dicurangi.
Sebenarnya masih banyak lagi kerusakan-
kerusakan yang ditimbulkan akibat dari
proses pemungutan suara ini. Kebanyakan
dari kerusakan-kerusakan yang disebutkan
tadi adalah suatu yang sering nampak atau
terdengar melalui media massa atau lainnya !
Lalu apakah pantas seorang Muslim -apalagi
seorang salafi- ikut-ikutan latah seperti
orang-orang jahil tersebut ?!
Sungguh sangat tidak pantas bagi seorang
Muslim salafi yang bertakwa kepada Rabb-
Nya melakukan hal itu, padahal ia mendengar
firman Rabb-Nya:
Maka apakah patut bagi Kami menjadikan
orang-orang Islam itu sama dengan orang-
orang yang berdosa (kafir). Mengapa kamu
berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu
membuat keputusan ? [Al-Qalam: 35-36]
Pada saat bangsa ini sedang menghadapi
bencana, yang seharusnya mereka
memperbaiki kekeliruannya adalah dengan
kembali kepada dien yang murni
sebagaimana firman Allah
Telah nampak kerusakan di daratan dan di
lautan disebabkan buah tangan perbuatan
manusia agar mereka merasakan sebagian
perbuatan mereka dan agar mereka kembali.
[Ar-Ruum: 41]
Yaitu, agar mereka kembali kepada dien ini
sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam:
Jika kalian telah berjual beli dengan sistem
'inah dan kalian telah mengikuti ekor-ekor
sapi, telah puas dengan bercocok tanam dan
telah kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan
menimpakan atas kalian kehinaan; tidak akan
kembali (kehinaan) dan kalian hingga kalian
kembali ke dien kalian.
Kembali kepada dien yang murni itulah
solusinya, kembali kepada nilai-nilai tauhid
yang murni, mempelajari dan melaksanakan-
melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya,
menyemarakkan as-Sunnah dan mengikis
bid'ah dan mentarbiyah ummat di atas nilai
tauhid. Da'wah kepada jalan Allah itulah jalan
keluarnya, dan bukan melalui kotak suara
atau kampanye-kampanye semu! Tetapi
realita apa yang terjadi??
Para Du'at (da'i) sudah berubah profesi, kini ia
menyandang predikat baru, yaitu juru
kampanye (jurkam), menyeru kepada
partainya dan bukan lagi menyeru kepada
jalan Allah. Menebar janji-janji; bukan lagi
menebar nilai-nilai tauhid. Sibuk
berkampanye baik secara terang-terangan
maupun terselubung. Bukan lagi berdakwah,
tetapi sibuk mengurusi urusan politik â
€“padahal bukan bidangnya dan ahlinya- serta
tidak lagi menuntut ilmu.
Mereka berdalih: "Masalah tauhid memang
penting akan tetapi kita tidak boleh
melupakan waqi' (realita)."
Waqi' (realita) apa yang mereka maksud ?
Apakah realita yang termuat di koran-koran,
majalah-majalah, surat kabar-surat kabar ? -
karena itulah referensi mereka- atau realita
umat yang masih jauh dari aqidah yang
benar, praktek syirik yang masih banyak
dilakukan, atau amalan bid'ah yang masih
bertebaran. Ironinya hal ini justru ada pada
partai-partai yang mengatas namakan Islam !
Wallahul Musta'an
Mereka ngotot untuk tetap ikut pemungutan
suara, agar dapat duduk di kursi parlemen.
Dan untuk mengelabuhi umat merekapun
melontarkan beberapa syubhat!
SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA [1].
Mereka mengatakan: Bahwa sistem
demokrasi sesuai dengan Islam secara
keseluruhan. Lalu mereka namakan dengan
syura (musyawarah) berdalil dengan firman
Allah
" Artinya :Dan urusan mereka
dimusyawarahkan di antara mereka".[Asy-
Syuura : 38]
Lalu mereka bagi demokrasi menjadi dua
bagian yang bertentangan dengan syariat dan
yang tidak bertentangan dengan syariat.
Bantahan: Tidak samar lagi batilnya ucapan
yang menyamakan antara syura menurut
Islam dengan demokrasi ala Barat. Dan sudah
kita cantumkan sebelumnya tiga perbedaan
antara syura dan demokrasi !
Adapun yang membagi demokrasi ke dalam
shahih (benar) dan tidak shahih adalah
pembagian tanpa dasar, sebab istilahnya
sendiri tidak dikenal dalam Islam.
"Artinya : Yang demikian itu tentulah suatu
pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain
hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-
bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun untuk,
(menyembah)-nya. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan dan apa
yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan
sesungguhnya telah datang petunjuk kepada
mereka dari Tuhan mereka" [An-Najm :
22-23]
[2]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan
suara sudah ada pada awal-awal Islam,
ketika Abu Bakar, Umar, Ustman radhiyallahu
'anhum telah dipilih dan dibaiat. [Lihat kitab
syari'atul intikhabat hal.15]
Bantahan: Ucapan mereka itu tidak benar
karena beberapa sebab:
[a] Telah jelas bagi kita semua kerusakan
yang ditimbulkan oleh pemungutan suara
seperti kebohongan, penipuan, kedustaan,
pemalsuan dan pelanggaran syariat lainnya.
Maka amat tidak mungkin sebaik-baik kurun
melakukan praktek-praktek seperti itu. [b]
Para sahabat (sebagaimana yang dimaklumi
dan diketahui di dalam sejarah) telah
bermufakat dan bermusyawarah tentang
khalifah umat ini sepeninggal Rasul.
Dan setelah dialog yang panjang di antaranya
ucapan Abu Bakar as-Sidiq yang
membawakan sebuah hadits yang berbunyi:
"Para imam itu adalah dari bangsa Quraisy."
Lalu mereka bersepakat membaiat Abu Bakar
sebagai khalifah. Tidak diikutsertakan
seorang wanitapun di dalam musyawarah
tersebut.
Kemudian Abu Bakar mewasiatkan Umar
sebagai khalifah setelah beliau, tanpa ada
musyawarah.
Kemudian Umar menunjuk 6 orang sebagai
anggota musyawarah untuk menetapkan
salah seorang di antara mereka untuk
menjadi khalifah. Keenam orang itu
termasuk 10 orang sahabat Rasulullah yang
dijamin masuk surga. Adapun sangkaan
sebagian orang bahwa Abdurrahman bin Auf
menyertakan wanita dalam musyawarah
adalah tidak benar.
Di dalam riwayat Bukhari tidak disebutkan di
dalamnya penyebutan musyawarah
Abdurrahman bin Auf bersama wanita dan
tidak juga bersama para tentara. Bahkan yang
tersebut di dalam riwayat Bukhari tersebut,
Abdurrahman bin Auf mengumpulkan 5 orang
yang telah ditunjuk Umar yaitu Ustman, Ali,
Zubair, Thalhah, Saad dan beliau sendiri (lihat
Fathul Bari juz 7 hal. 61,69), Tarikhul Islam
karya Az-Zahabi (hal. 303), Ibnu Ashir dalam
thariknya (3/36), Ibnu Jarir at-Thabari dalam
Tarikhkul Umam (4/431). Adapun yang
disebutkan oleh Imam Ibnu Isuji di dalam
Kitabnya al-Munthadam riwayatnya dhaif.
Dan yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam
al-Bidayah wa Nihayah (4/151) adalah riwayat
tanpa sanad, tidak dapat dijadikan sandaran.
Kesimpulannya: [a] Berdasarkan riwayat yang
shahih Abdurrahman bin Auf hanya
bermusyawarah dengan 5 orang yang
ditunjuk Umar. [b] Dalam riwayat yang shahih
disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf juga
mengajak bertukar pendapat dengan sahabat
lainnya. [c] Adapun penyertaan wanita di
dalam musyawarah adalah tidak benar sebab
riwayatnya tidak ada asalnya.
[3] Mereka mengatakan: Ini adalah masalah
ijtihadiyah'
Bantahan: Apa yang dimaksud dengan
masalah ijtihadiyah ? Jika mereka katakan:
yaitu masalah baru yang tidak dikenal di
massa wahyu dan khulafaur rasyidin.
Maka jawabannya: [a] Ucapan mereka ini
menyelisihi atau bertentangan dengan
ucapan sebelumnya yaitu sudah ada pada
awal Islam. [b] Memang benar pemungutan
suara ini tidak ada pada zaman wahyu, tetapi
bukan berarti seluruh perkara yang tidak ada
pada zaman wahyu ditetapkan hukumnya
dengan ijtihad. Dalam masalah ini ulama
menetapkan hukum setiap masalah
berdasarkan kaedah-kaedah usul dan kaedah-
kaedah umum. Dan untuk masalah
pemungutan suara ini telah diketahui
kerusakan-kerusakannya.
Jika dikatakan: yang kami maksud masalah
ijtihadiyah adalah masalah yang belum ada
dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Maka
jawabannya sama seperti jawaban kami
yang telah lalu.
Jika dikatakan masalah ijtihadiyah artinya:
kami mengetahui keharamannya, tetapi kami
memandang ikut serta di dalamnya untuk
mewujudkan maslahat. Maka jawabannya:
kalau ucapan itu benar, maka pasti sudah ada
buktinya semenjak munculnya pemikiran
seperti ini. Di negara-negara Islam tidak
pernah terwujud maslahat tersebut, bahkan
hanya kembali dua sepatu usang (gagal).
Sedang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Artinya : Seorang Mukmin tidaklah disengat
2 kali dari satu lubang" [Mutafaqun alaih]
Jika dikatakan masalah ijtihadiyah adalah
masalah yang diperdebatkan dan
diperselisihkan di kalangan ulama serta
bukan masalah ijma'.
Maka jawabannya: [a] Coba tunjukkan
perselisihan di kalangan ulama yang mu'tabar
(dipercaya) yang dida'wakan itu. Tentu saja
mereka tidak akan mendapatkannya. [b] Yang
dikenal di kalangan ulama, bahwa yang
dimaksud khilafiyah atau masalah yang
diperdebatkan, yaitu : jika kedua pihak
memiliki alasan atau dalil yang jelas dan
dapat diterima sesuai kaedah. Sebab kalau
hanya mencari masalah khilafiyah, maka
tidak ada satu permasalahanpun melainkan di
sana ada khilaf atau perbedaan pendapat.
Akan tetapi banyak di antara pendapat-
pendapat itu yang tidak mu'tabar.
[4]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan
suara tersebut termasuk maslahat mursalah.
Bantahannya: [a] Maslahat mursalah bukanlah
sumber asli hukum syar'i, tapi hanyalah
sumber taba'i (mengikut) yang tidak dapat
berdiri sendiri. Maslahat mursalah hanyalah
wasilah yang jika terpenuhi syaratsyaratnya,
baru bisa diamalkan. [b] Menurut defisinya
maslahat mursalah itu adalah: apa-apa yang
tidak ada nash tertentu padanya dan masuk
ke dalam kaedah umum. Menurut definisi lain
adalah: sebuah sifat (maslahat) yang belum
ditetapkan oleh syariat.
Jadi maslahat mursalah itu adalah salahsatu
proses ijtihad untuk mencapai sebuah
kemaslahatan bagi umat, yang belum
disebutkan syariat, dengan memperhatikan
syarat-syaratnya.
Kembali kepada masalah pemungutan yang
dikatakan sebagai maslahat mursalah
tersebut apakah sesuai dengan tujuan
maslahat mursalah itu sendiri atau justru
bertentangan. Tentu saja amat bertentangan;
dilihat dari kerusakan kerusakan pemungutan
suara yang cukup menjadi bukti bahwa antara
keduanya amat jauh berbeda.
[5]. Mereka mengatakan: Pemungutan suara
ini hanya wasilah, bukan tujuan dan maksud
kami adalah baik.
Bantahannya adalah: Tidak dikenal kamus
tujuan menghalalkan segala cara, sebab itu
adalah kaidah Yahudiah. Sebab berdasarkan
kaidah Usuliyah: hukum sebuah wasilah
ditentukan hasil yang terjadi (didapat); jika
yang terjadi adalah perkara haram (hasilnya
haram) maka wasilahnya juga haram.
Adapun ucapan mereka bahwa yang mereka
inginkan adalah kebaikan.
Maka jawabannya bahwa niat yang baik lagi
ikhlas serta keinginan yang baik lagi tulus
belumlah menjamin kelurusan amal. Sebab
betapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.
Sebab sebuah amal dapat dikatakan shahih
dan makbul jika memenuhi 2 syarat: [a] Niat
ikhlas dan [b] Menetapi as-Sunnah. Jadi bukan
hanya bermodal keinginan [i'tikad baik saja]
[6]. Mereka mengatakan: Kami mengikuti
pemungutan suara dengan tujuan
menegakkan daulah Islam.
Bantahannya: Ada sebuah pertanyaan yang
ditujukan kepada mereka, bagaimana cara
menegakkan daulah Islam ?
Sedangkan di awal perjuangan, mereka
sudah tunduk pada undang-undang sekuler
yang diimpor dari Eropa. Mengapa mereka
tidak memulai menegakkan hukum Islam itu
pada diri mereka sendiri, atau memang
ucapan mereka "Kami akan menegakkan
daulah Islam" hanyalah slogan kosong
belaka. Terbukti mereka tidak mampu untuk
menegakkannya pada diri mereka sendiri.
Kalau ingin buktinya maka silahkan melihat
mereka-mereka yang meneriakkan slogan
tersebut.
[7]. Mereka mengatakan : Kami tidak mau
berpangku tangan dengan membiarkan
musuh-musuh bergerak leluasa tanpa
hambatan.
Bantahannya: Apakah masuk akal jika untuk
menghadapi musuh-musuhnya, mereka
bergandengan tangan dengan musuh-
musuhnya dalam kursi parlemen,
berkompromi dengan musuh dalam membuat
undang-undang? Bukankah ini tipu daya ala
Yahudi yang telah Allah nyatakan dalam al-
Qur'an:
"Artinya : Segolongan lain dari ahli Kitab
berkata kepada sesamanya: Perlihatkanlah
seolah-olah kamu beriman kepada apa yang
diturunkan kepada orang-orang yang beriman
(sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan
siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya
mereka (orang-orang Mukmin) kembali
(kepada kekafiran)". [Ali-Imran: 72]
Dan ucapan mereka bahwa masuknya
mereka ke kancah demokrasi itu adalah
refleksi perjuangan mereka, tidak dapat
dipercaya. Bukankah Allah telah mengatakan:
"Artinya : Orang-orang Yahudi dan Nashrani
tidak akan senang kepada kamu, hingga
kamu mengikuti agama mereka" [Al-
Baqarah: 120]
Lalu mengapa mereka saling bahu membahu
dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani?
Apakah mereka menerapkan kaedah: saling
bertolong-tolongan pada perkara-perkara
yang disepakati dan saling toleransi pada
perkara- perkara yang diperselisihkan.
Tidakkah mereka takut pada firman Allah
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mu'min. Inginkah kamu
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksamu ?)". [An-Nisaa: 144]
[8]. Mereka mengatakan: Kami terjun dalam
kancah demokrasi karena alasan darurat.
Bantahannya: Darurat menurut Ushul yaitu:
keadaan yang menimpa seorang insan
berupa kesulitan bahaya dan kepayahan/
kesempitan, yang dikhawatirkan terjadinya
kemudharatan atau gangguan pada diri (jiwa)
, harta, akal, kehormatan dan agamanya.
Maka dibolehkan baginya perkara yang haram
(meninggalkan perkara yang wajib) atau
menunda pelaksanaannya untuk menolak
kemudharatan darinya, menurut batas-batas
yang dibolehkan syariat.
Lalu timbul pertanyaan kepada mereka: yang
dimaksud alasan itu, karena keadaan darurat
atau karena maslahat?.
Sebab maslahat tentu saja lebih luas dan
lebih umum ketimbang darurat. Jika dahulu
mereka katakan bahwa demokrasi itu atau
pemungutan suara itu hanyalah wasilah maka
berarti yang mereka lakukan tersebut
bukanlah karena darurat akan tetapi lebih
tepat dikatakan untuk mencari maslahat,
Maka terungkaplah bahwa ikut sertanya
mereka dalam kancah demokrasi tersebut
bukanlah karena darurat tapi hanya karena
sekedar mencari setitik maslahat.
[9]. Mereka mengatakan: Kami terpaksa
melakukannya, sebab jika tidak maka musuh
akan menyeret kami dan melarang kami
menegakkan hukum Islam dan melarang
kami shalat di masjid-masjid dan melarang
kami berbicara (berkhutbah).
Bantahannya: Mereka hanya dihantui
bayangan saja; atau mereka menyangka
kelangsungan da'wah kepada jalan Allah
hanya tergantung di tangan mereka saja.
Dengan itu mereka menyimpang dari manhaj
an-nabawi dalam berda'wah kepada Allah dan
dalam al-islah (perbaikan). Lalu mereka
menuduh orang-orang yang tetap berpegang
teguh pada as- Sunnah sebagai orang-orang
pengecut (orang-orang yang acuh tak acuh
terhadap nasib umat). Apakah itu yang
menyebabkan mereka membabi buta dan
gelap mata? Hendaknya mereka mengambil
pelajaran dari seorang sahabat yang mulia
yaitu Abu Dzar al-Giffari ketika Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam berpesan
kepadanya:
"Artinya : Tetaplah kau di tempat engkau
jangan pergi kemana-mana sampai aku
mendatangimu. Kemudian. Rasulullah pergi di
kegelapan hingga lenyap dari pandangan, lalu
aku mendengar suara gemuruh. Maka aku
khawatir jika seseorang telah menghadang
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, hingga
aku ingin mendatangi beliau. Tapi aku ingat
pesan beliau: tetaplah engkau di tempat
jangan kemana-mana, maka akupun tetap di
tempat tidak ke mana-mana. Hingga beliau
mendatangiku. Lalu aku berkata bahwa aku
telah mendengar suara gemuruh, sehingga
aku khawatir terhadap beliau, lalu aku
ceritakan kisahku. Lalu beliau berkata apakah
engkau mendengarnya?. Ya, kataku. Beliau
berkata itu adalah Jibril, yang telah berkata
kepadaku: barang siapa di antara umatmu
(umat Rasulullah) yang wafat dengan tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun,
akan masuk ke dalam surga. Aku bertanya,
walaupun dia berzina dan mencuri? Beliau
berkata, walaupun dia berzina dan mencuri".
[Mutafaqun alaih]
Lihatlah bagaimana keteguhan Abu Dzar al-
Ghifari terhadap pesan Rasulullah untuk tidak
bergeming dari tempat, walaupun dalam
sangkaan beliau, Rasulullah berada dalam
mara bahaya ! Bukankah hal tersebut gawat
dan genting. Suara gemuruh yang
mencemaskan beliau atas nasib Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Namun apa
gerangan yang menahan Abu Dzar al-Ghifari
untuk menemui Rasulullah. Apakah beliau
takut, atau beliau pengecut, atau beliau acuh
tak uh akan nasib Rasulullah ? Tidak ! Sekali-
kali tidak! Tidak ada yang menahan beliau
melainkan pesan Rasulullah : tetaplah engkau
di tempat, jangan pergi ke mana-mana
hingga aku datang!.
Keteguhan beliau di atas garis as-Sunnah
telah mengalahkan (menundukkan)
pertimbangan akal dan perasaan! Beliau tidak
memilih melanggar pesan Rasulullah dengan
alasan ingin menyelamatkan beliau
shalallahu 'alaihi wasallam.
Kemudian kita lihat hasil keteguhan beliau
atas pesan Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam berupa ilmu tentang tauhid yang
dibawa malaikat Jibril kepada Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Kabar gembira
bagi para muwahhid (ahli tauhid) yaitu surga.
Seandainya beliau melanggar pesan
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam maka
belum tentu beliau mendapatkan ilmu
tersebut pada saat itu !!
Demikian pula dikatakan kepada mereka:
Kami tidak hendak melanggar as-Sunnah
dengan dalih menyelamatkan umat ! (Karena
keteguhan di atas as-Sunnah itulah yang akan
menyelamatkan ummat -red).
Berbahagialah ahlu sunnah (salafiyin) berkat
keteguhan mereka di atas as-Sunnah.
[10]. Mereka mengatakan: Bahwa mereka
mengikuti kancah pemunggutan suara untuk
memilih kemudharatan yang paling ringan.
Mereka juga berkata bahwa mereka
mengetahui hal itu adalah jelek, tapi ingin
mencari mudharat yang paling ringan demi
mewujudkan maslahat yang lebih besar.
Bantahannya: Apakah mereka menganggap
kekufuran dan syirik sebagai sesuatu yang
ringan kemudharatannya? Timbangan apa
yang mereka pakai untuk mengukur berat
ringannya suatu perkara? Apakah timbangan
akal dan hawa nafsu? Tidakkah mereka
mengetahui bahwa demokrasi itu adalah
sebuah kekufuran dan syirik produk Barat?
Lalu apakah ada yang lebih berat dosanya
selain kekufuran dan syirik.
Kemudian apakah mereka mengetahui
syarat-syarat dan batasan-batasan kaedah
"memilih kemudharatan yang paling ringan."
Jika jawaban mereka tidak mengetahui;
maka hal itu adalah musibah.
Jika jawabannya mereka mengetahui, maka
dikatakan kepada mereka: coba perhatikan
kembali syarat-syaratnya! Di antaranya:
[a]. Maslahat yang ingin diraih adalah nyata
(realistis) bukan sekedar perkiraan
(anggapan belaka). Kegagalan demi
kegagalan yang dialami oleh mereka yang
melibatkan di dalam kancah demokrasi itu
cukuplah sebagai bukti bahwa maslahat yang
mereka janjikan itu hanyalah khayalan dan
isapan jempol belaka.
[b]. Maslahat yang ingin dicapai harus lebih
besar dari mafsadah (kerusakan) yang
dilakukan, berdasarkan paham ahli ilmu. Jika
realita adalah kebalikannya yaitu maslahat
yang hendak dicapai lebih kecil ketimbang
mafsadah yang terjadi, maka kaedahnya
berganti menjadi:
Menolak mafsadah (kerusakan) lebih
didahulukan ketimbang mencari (mengambil)
mashlahat.
[c]. Tidak ada cara (jalan) lain untuk
mencapai maslahat tersebut melainkan
dengan melaksanakan mafsadah (kerusakan)
tersebut.
Syarat yang ketiga ini sungguh amat berat
untuk dipenuhi oleh mereka sebab
konsekuensinya adalah: tidak ada jalan lain
untuk menegakkan hukum Islam, kecuali
dengan jalan demokrasi tersebut. Sungguh
hal itu adalah kebathilan yang amat nyata!
Apakah mungkin manhaj Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam dalam ishlah (perbaikan)
divonis tidak layak dipakai untuk
menegakkan hukum Islam? Tidaklah kita
mengenal Islam, kecuali melalui beliau
shalallahu 'alaihi wasallam?
[11] Mereka mengatakan: Bahwa beberapa
Ulama ahlu sunnah telah berfatwa tentang
disyariatkannya pemungutan suara (pemilu)
ini seperti: Syeikh al-Albani, Bin Baz, Bin
Utsaimin. Lalu apakah kita menuduh mereka
(para ulama) hizbi ?
Jawabannya tentu saja tidakl Amat jauh para
ulama itu dari sangkaan mereka, karena
beberapa alasan:
[a]. Mereka adalah ulama dan pemimpin kita,
serta pemimpin da'wah yang penuh berkah
ini (da'wah salafiyah) dan pelindung Islam.
Kita tidak meneguk ilmu kecuali dari mereka.
Kita berlindung kepada Allah semoga
mereka tidak demikian (tidak hizbi)! Bahkan
sebaliknya, merekalah yang telah
memperingatkan umat dari bahaya hizbiyah.
Tidaklah umat selamat dari hizbiyah kecuali,
melalui nasihat-nasihat mereka setelah
taufiq dari Allah tentunya. Kitab-kitab dan
kaset-kaset mereka penuh dengan
peringatan tentang hizbiyah.
[b]. Para ulama berfatwa (memberi fatwa)
sesuai dengan kadar soal yang ditanyakan.
Bisa saja seorang datang kepada ulama dan
bertanya:
Ya Syeikh!, kami ingin menegakkan syariat
Allah dan kami tidak mampu kecuali melalui
pemungutan suara dengan tujuan untuk
mengenyahkan orang-orang sosialis dan
sekuler dari posisi mereka! Apakah boleh
kami memilih seorang yang shalih untuk
melaksanakan kepentingan ini? Demikianlah
soalnya!
Lain halnya seandainya bunyi soal : Ya Syeikh,
pemungutan suara itu menimbulkan
mafsadah (kerusakan) begini dan begini,
dengan menyebutkan sisi negatif yang
ditimbulkannya, maka niscaya jawabannya
akan lain. Mereka-mereka itu (yaitu hizbiyun
dan orang-orang yang terfitnah oleh hizbiyun)
mencari-cari talbis (tipu daya) terhadap para
ulama! Adapun dalil bahwa seorang alim
berfatwa berdasarkan apa yang ia dengar.
Dan sebuah fatwa ada kalanya keliru, adalah
dari sebuah hadits dari Ummu Salamah:
"Artinya : Sesungguhnya kalian akan
mengadukan pertengkaran di antara kalian
padaku, barang kali sebagian kalian lebih
pandai berdalih ketimbang lainnya. Barang
siapa yang telah aku putuskan baginya
dengan merebut hak saudaranya, maka yang
dia ambil itu hanyalah potongan dari api
neraka; hendaknya dia ambil atau dia
tinggalkan" [Mutafaqun alaih]
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam juga
telah memerintahkan kepada para qadi untuk
mendengarkan kedua belah pihak yang
bersengketa. Dalam sebuah hadits riwayat
Ahmad, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abu
Thalib:
"Artinya : Wahai Ali jika menghadap kepada
engkau dua orang yang bersengketa,
janganlah engkau putuskan antara mereka
berdua, hingga engkau mendengar dari salah
satu pihak sebagaimana engkau
mendengarnya dari pihak lain. Sebab jika
engkau melakukan demikian, akan jelas bagi
engkau, putusan yang akan diambil". [Hadits
Riwayat Ahmad]
Oleh sebab itu kejahatan yang paling besar
yang dilakukan oleh seorang Muslim adalah
diharamkannya perkara-perkara yang
sebelumnya halal, disebabkan
pertanyaannya. Dalam sebuah hadits riwayat
Saad bin Abi Waqas radhiyallahu 'anhu,
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Artinya : Sesungguhnya kejahatan seorang
Muslim yang paling besar adalah bertanya
tentang sebuah perkara yang belum
diharamkan. Lalu diharamkan disebabkan
pertanyaannya". [Mutafaqun Alaih]
Ibnu Thin berkata bahwa kejahatan yang
dimaksud adalah menyebabkan
kemudharatan atas kaum Muslimin
disebabkan pertanyaannya. Yaitu
menghalangi mereka dari perkara-perkara
halal sebelum pertanyaannya.
Hendaknya orang-orang yang melakukan
tindakan berbahaya seperti ini bertaubat
kepada Allah. Dan para tokoh kaum Muslimin
agar berhati-hati terhadap orang-orang
semacam itu.
[c]. Lalu bagaimana sikap mereka (para
Hizbiyin) tatkala telah jelas bahwa bagi para
Ulama, demokrasi dan pemilihan suara ini
adalah haram disebabkan mafsadah yang
ditimbulkannya. Apakah mereka akan
mengundurkan diri dari kancah demokrasi
dan pemilu itu? atau mereka tetap nekat.
Realita menunjukkan bahwa mereka hanya
memancing di air keruh. Mereka hanya
mencari keuntungan untuk golongannya saja
dari fatwa para ulama. Terbukti jika fatwa
ulama tidak menguntungkan golongan
mereka, maka merekapun menghujatnya
dengan berbagai macam pelecehan. Wallahu
a'lam.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th.
III/1420-1999. Disadur dari kitab Tanwiir adz-
Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin
Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar
Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar