Dari segala jenis
genre komedi, stand up comedy adalah genre yang paling belakangan masuk ke
Indonesia. Sayangnya genre ini masuk ketika situasi kebangsaan kita begitu
rumit dan mencekam.
Untuk menciptakan
kelucuan, komedi menggunakan pelanggaran-pelanggaran kepada maksim. Maksim,
adalah suatu kewajaran tutur dalam logika yang membuat otak kita menerima suatu
fakta dalam percakapan sebagai hal yang normal.
Pelanggaran maksim
ini, seringkali mengundang tawa. Akan tetapi, kalau tidak hati-hati, ini bisa
mengundang sakit hati dari pihak yang disebut. Terutama, jika menyangkut
keimanan dan ketuhanan seseorang.
Dari segala unsur
pragmatik dan semiotik yang ada dalam standup comedy, inilah yang paling
bahaya. Sejauh mana komika mendapatkan bahan leluconnya, dari situlah kita tahu
betapa kecerdasan budi mereka.
Mulanya standup comedy
muncul untuk mengisi kekosongan hiburan di kafe-kafe pada masyarakat Amerika
dan Eropa yang memang sedang butuh tertawa lebih dari biasanya. Perang
berkepanjangan, kehidupan yang dikungkung dogma tak logis, atau juga pejabat
yang menyalahgunakan apa saja.
Maka, memang dulunya
sebagian besar materi standup adalah dark comedy, komedi hitam yang digunakan
untuk membangkitkan sensitivitas publik terhadap pelanggaran di sekitar mereka.
Maka dengan itu, sepulang dari kafe, mereka mendapatkan alasan-alasan baru
untuk bergerak dan berpikir lebih merdeka.
Dengan itu, mereka
mendapatkan istirahat selepas perang, alasan-alasan revolusi, pengibaratan
tajam tentang rezim yang jahat, atau bahkan alasan-alasan baru untuk berperang.
Begitulah peradaban barat era 1700-an hingga 1900-an dibangun.
Tetapi di masyarakat
timur dan terutama Indonesia yang dengan susah payah kita memupuk persatuan,
ternyata sekelompok komika tak bisa menerjemahkan lucu lebih dari perkara
menjelekkan agama lain dan sejenisnya.
Tertawa terlalu banyak
memang mematikan hati. Tertawa terlalu banyak akan membuat kita lupa betapa ada
hal-hal lain yang berharga untuk orang lain dan orang itu akan bersedia
melakukan apa saja untuk membelanya.
Standup comedy awalnya
masuk sebagai alternatif komedi yang menjanjikan pola pikir yang baru. Akan
tetapi, jika perkembangan yang terjadi sudah sejauh ini, tak ada salahnya
meninjau kembali, pentingkah menerima hal semacam itu kedalam kebudayaan kita?
Apakah boikot bisa
menjadi jawaban, agar tak ada lagi orang dan anak-anak kita yang menertawakan
hal yang sensitif bagi orang lain.
Apa? Soal
kebhinnekaan? Saya rasa, tak ada seorangpun mau hidup di kota yang penuh dengan
lawak dan kota yang tak pernah menghargai rasa keagamaan sebagian orang. Ritual
ibadah, di negeri kita, sama sekali bukan hal yang lucu.
Para komedian itu
harus tahu bahwa di negeri kita perdamaian susah diciptakan. Negeri kita diisi
para pendeta dan ulama yang tersenyum dengan tulus tanpa pernah menertawakan
prinsip hidup orang lain.
Sebab, menertawakan
prinsip hidup orang lain, adalah suatu dosa bagi kejantanan kita. Sudah saatnya
kita berpikir kembali untuk menonton mereka dan beralih pada, hiburan-hiburan
yang lebih membangun kebudayaan kita.
Amar Ar-Risalah
Sosmas KAMMI PD Jaktim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar