Rabu, 17 Januari 2018

Dark Comedy vs Rasa Kebangsaan





Dari segala jenis genre komedi, stand up comedy adalah genre yang paling belakangan masuk ke Indonesia. Sayangnya genre ini masuk ketika situasi kebangsaan kita begitu rumit dan mencekam.

Untuk menciptakan kelucuan, komedi menggunakan pelanggaran-pelanggaran kepada maksim. Maksim, adalah suatu kewajaran tutur dalam logika yang membuat otak kita menerima suatu fakta dalam percakapan sebagai hal yang normal.

Pelanggaran maksim ini, seringkali mengundang tawa. Akan tetapi, kalau tidak hati-hati, ini bisa mengundang sakit hati dari pihak yang disebut. Terutama, jika menyangkut keimanan dan ketuhanan seseorang.

Dari segala unsur pragmatik dan semiotik yang ada dalam standup comedy, inilah yang paling bahaya. Sejauh mana komika mendapatkan bahan leluconnya, dari situlah kita tahu betapa kecerdasan budi mereka.

Mulanya standup comedy muncul untuk mengisi kekosongan hiburan di kafe-kafe pada masyarakat Amerika dan Eropa yang memang sedang butuh tertawa lebih dari biasanya. Perang berkepanjangan, kehidupan yang dikungkung dogma tak logis, atau juga pejabat yang menyalahgunakan apa saja.

Maka, memang dulunya sebagian besar materi standup adalah dark comedy, komedi hitam yang digunakan untuk membangkitkan sensitivitas publik terhadap pelanggaran di sekitar mereka. Maka dengan itu, sepulang dari kafe, mereka mendapatkan alasan-alasan baru untuk bergerak dan berpikir lebih merdeka.

Dengan itu, mereka mendapatkan istirahat selepas perang, alasan-alasan revolusi, pengibaratan tajam tentang rezim yang jahat, atau bahkan alasan-alasan baru untuk berperang. Begitulah peradaban barat era 1700-an hingga 1900-an dibangun.

Tetapi di masyarakat timur dan terutama Indonesia yang dengan susah payah kita memupuk persatuan, ternyata sekelompok komika tak bisa menerjemahkan lucu lebih dari perkara menjelekkan agama lain dan sejenisnya.

Tertawa terlalu banyak memang mematikan hati. Tertawa terlalu banyak akan membuat kita lupa betapa ada hal-hal lain yang berharga untuk orang lain dan orang itu akan bersedia melakukan apa saja untuk membelanya.

Standup comedy awalnya masuk sebagai alternatif komedi yang menjanjikan pola pikir yang baru. Akan tetapi, jika perkembangan yang terjadi sudah sejauh ini, tak ada salahnya meninjau kembali, pentingkah menerima hal semacam itu kedalam kebudayaan kita?

Apakah boikot bisa menjadi jawaban, agar tak ada lagi orang dan anak-anak kita yang menertawakan hal yang sensitif bagi orang lain.

Apa? Soal kebhinnekaan? Saya rasa, tak ada seorangpun mau hidup di kota yang penuh dengan lawak dan kota yang tak pernah menghargai rasa keagamaan sebagian orang. Ritual ibadah, di negeri kita, sama sekali bukan hal yang lucu.

Para komedian itu harus tahu bahwa di negeri kita perdamaian susah diciptakan. Negeri kita diisi para pendeta dan ulama yang tersenyum dengan tulus tanpa pernah menertawakan prinsip hidup orang lain.

Sebab, menertawakan prinsip hidup orang lain, adalah suatu dosa bagi kejantanan kita. Sudah saatnya kita berpikir kembali untuk menonton mereka dan beralih pada, hiburan-hiburan yang lebih membangun kebudayaan kita.

Amar Ar-Risalah
Sosmas KAMMI PD Jaktim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar