Rabu, 17 Januari 2018

Yusuf Qardhawi, Ikhwanul Muslimin, dan KAMMI





Pada masa transisi 1949 hingga 1950-an itu; jamaah Ikhwanul Muslimin di Mesir didera keterombangambingan besar. sebagian kader menganggap Hasan Al-Banna membubarkan jamaah Ikhwan sebelum dibunuh—sebuah hoax yang disebarkan pemerintah.

Sebagian kader yang lain mengangkat mursyid aam yang baru dalam kondisi darurat yang bukan dari 6 nama di sekitar Al-Banna: Imam Hasan Al-Hudhaibi. Dua tahun setelah pengangkatannya, ia dipenjara karena bersikap keras kepada pemerintah.

Bersama dipenjaranya mayoritas aktivis ikhwan pada masa itu; turut dipenjara seorang anak muda Al-Azhar yang simpatik. Ia dikenal sebagai ulama muda yang banyak ilmu. Ia menjadi imam bagi tapol lainnya di dalam penjara. Adalah Yusuf Qardhawi.

Masa-masa mereka berdua dipenjara adalah  masa yang lebih tak menentu lagi bagi jamaah Ikhwan. Sebagian orang menjadi loyalis Hasan Hudhaibi. Sebagian lain, berhimpun di bawah pimpinan seorang sastrawan, yang baru hitungan dua  tahun menjadi petinggi. Sayyid Quthb.

Ia memimpin kesatuan baru bersenjata. Dan; ia menambahkan warna yang lebih pekat kepada jamaah Ikhwan sebagai, jamaah jihad. Ya; Sayyid Quthb, bersama Abul A’la Al-Maududi, kelak akan dikenal sebagai Bapak Ideolog Teror Dunia..

Sementara itu; waktu terus berjalan. Para tapol telah dibebaskan pada akhir dasawarsa 50-an. Akan tetapi; kegiatan dan penyebaran ide Sayyid Quthb terus berlangsung. Pada tahun 64, ia dieksekusi akan tetapi bukunya yang fenomenal, Maalim fi Thariq, malah mendunia.

Di sinilah muncul pecahan baru dari Ikhwanul Muslimin: sebut saja mereka Jamaah Ikhwan Radikal. Mereka, yang sering dituduh sebagai “Jihadi” atau “Takfiri”.

Naiklah seorang aktifis Ikhwan yang kelak akan memperbarui cara gerak jamaah Ikhwan. Umar Tilmisani. Di masanya inilah, Jamaah Ikhwan bersikap lebih moderat. Mereka mau berkoalisi dan membentuk partai politik.

Tetapi, jamaah Ikhwan di tempat lain di seluruh dunia telah semakin besar dan semakin banyak pengikutnya. Mereka kemudian membutuhkan suatu sumber ilmu; sebab ternyata di antara mereka ada yang menjadikan jamaah ini satu-satunya sumber mereka mereguk ilmu agama islam.

Muncullah faksi baru dalam tubuh Ikhwanul Muslimin yang mendunia itu: Faksi mereka yang awam agama, tapi piawai bersiasat. Mereka yang kering perkara fikih, tapi cerdik berpolitik.

Di titik inilah, anak muda yang menjadi Imam di dalam penjara; menunjukkan perannya. Yusuf Qardhawi, membangun kubu kultural di tubuh jamaah Ikhwan. Mereka yang merupakan alumni dakwah kampus Al-Azhar dengan kompetensi agama yang mumpuni.

Dari tangannya yang pandai; terbit beragam buku fikih jihad, fikih muamalah, dan juga fikih siyasah. Bahkan ia terus menerus menghasilkan buku hingga hari ini; di usianya yang lewat 90 tahun.

Bersamaan dengan beliau; Syaikh Fathi Yakan di Lebanon, Mustafa Siba’I di Suriah, Sa’id Hawwa di Mesir, dan banyak orang lainnya terus memberikan suplemen itu tanpa menciptakan semacam majelis fatwa di tubuh ikhwan.

Fathi Yakan di Lebanon bisa dibilang satu dari sedikit ulama yang bisa menandingi pikiran fikih-fikih politik dan harakah Yusuf Qardhawi. Terlepas dari segala kontroversinya, mereka telah menciptakan arus tanpa atribut jabatan apapun.

Fathi Yakan bahkan menampar semua orang dengan menerbitkan buku Robohnya Dakwah di Tangan Dai; sebagai kritik buat mereka yang kelewat liberal dan toleran, sekaligus jerat buat mereka yang terlalu radikal dan intoleran.

Buku ini, ditulisnya pascaa kegagalan harokah dakwah di Lebanon, pembantaian ribuan anggota Ikhwanul Muslimin di Hama, Suriah, pada 187 oleh Hafidz Al-Assad, dan benturan antara Husni Mubarak dengan jamaah di Mesir.

Faksi Sayyid Quthb, atau yang kelak lebih dikenal sebagai Quthbiyyun, akan menciptakan arus garis keras, sementara faksi moderat tadi, akan menciptakan arus yang lebih tenang dan licin berkoalisi sana sini. Kedua faksi ini terus bersaing hingga saat ini.

Di tengah-tengah kedua faksi itu, ada Yusuf Qardhawi dan rekan-rekannya yang senantiasa memberikan arahan-arahan spiritual dan fikih. Bahkan kemudian; ia akan menjadi ketua majelis ulama sedunia: Rabithah A’lam Islamy.

Sebagaimana Ikhwanul Muslimin, para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia sebagai representasi  gerakan kepemudaan berideologi tarbiyah di Indonesia; agaknya mengalami turbulensi yang sama.

Kerinduan atas kentalnya bahasan fikih-fikih islam dalam kerangka pikir Iqamatuddin mulai menguar di mana-mana; sebab mulai masuk generasi kedua di tubuh KAMMI dalam dauroh-dauroh

Mereka yang masuk KAMMI atas rekomendasi orang tuanya yang matang ditempa sebagai kader biologis tarbiyah; dan mereka yang mencobai KAMMI sebagai altenatif mengisi kekosongan jiwa dan fikrah mereka.

Dua tipe sumber daya manusia KAMMI dalam satu generasi ini jelas berjarak; baik secara intelektual maupun secara proses pemerolehan ideologi, meskipun hasilnya tak selalu sama.

Benturan itu mulai terasa. Di sana sini ada suara-suara “terkikisnya nuansa islam dalam dauroh-dauroh”, “cairnya interaksi antara ikhwan dan akhwat”, “keringnya tawaran perjuangan islam gerakan kita di ranah penegakan syariat”.

Bahkan yang lebih ekstrim mulai ada bisikan prihatin “gerakan kita telah sekular”, “gerakan kita mulai kehilangan pencabaran ideologi’, “intelektual islam meninggalkan gerakan kita dan yang tersisa adalah orang-orang kasar yang lihai berpolitik.”

Lalu Prinsip Gerakan Kammi yang kini dianggap sekadar puisi pemanis dauroh dan apel; bisa jadi memang perlu ditimbang kembali. Masihkah KAMMI merepresentasikan gerakan ultra kanan, atau malah terjebak dengan jebakan yang sama yang menimpa HMI, PMII, dan lain-lain?

Sebagaimana jamaah Ikhwan dan Yusuf Qardhawi, atau harakah-harakah islam di Lebanon, agaknya gerakan ini tak butuh semacam lembaga fikih yang paten. Pada akhirnya Yusuf Qardhawi hanya menjadikan dirinya inventaris bagi kemanusiaan; bukan inventaris gerakan:

Sebuah alasan indah yang menyebabkan ia menolak kursi jabatan  Mursyid Aam setelah Muhammad Makmun Al-Hudaibi meninggal dan jamaah ini diancam kekosongan pemimpin. Yusuf Qardhawi, menjadi wibawa dan ditakuti karena kualitas keilmuannya.

Bisa jadi memang betul tak perlu lembaga syariah atau fatwa yang malahan tak dihormati kapabilitasnya; karena wibawa dan derajat ditentukan oleh ilmu; bukan tingginya  jabatan. Atau jangan-jangan kita mulai menyetujui perkataan orang bahwa KAMMI mulai kehilangan pegangan islamnya.

Harus ada sekelompok orang; atau beberapa orang yang memang ditugaskan—atau fokus pada kompetensi—dalam ranah fikih dan penjagaan fikroh islam, seumpama tauhid. Dan orang-orang ini, memiliki wibawa politik karena keilmuannya, bukan karena jabatannya.

Dengan cara seperti inilah KAMMI bisa jadi jawaban atas anak-anak semester tanggung yang hijrah dan mengisi kehausan itu. Sehingga, narasi politik dan tawaran perbaikan KAMMI masih bisa ditakar dalam kacamata islami; atau setidaknya:

Masih bisa  dianggap sebagai kerja seorang muslim, untuk agamanya….


Risalah Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar