Pada masa
transisi 1949 hingga 1950-an itu; jamaah Ikhwanul Muslimin di Mesir didera
keterombangambingan besar. sebagian kader menganggap Hasan Al-Banna membubarkan
jamaah Ikhwan sebelum dibunuh—sebuah hoax yang disebarkan pemerintah.
Sebagian kader yang
lain mengangkat mursyid aam yang baru dalam kondisi darurat yang bukan dari 6
nama di sekitar Al-Banna: Imam Hasan Al-Hudhaibi. Dua tahun setelah
pengangkatannya, ia dipenjara karena bersikap keras kepada pemerintah.
Bersama dipenjaranya
mayoritas aktivis ikhwan pada masa itu; turut dipenjara seorang anak muda
Al-Azhar yang simpatik. Ia dikenal sebagai ulama muda yang banyak ilmu. Ia
menjadi imam bagi tapol lainnya di dalam penjara. Adalah Yusuf Qardhawi.
Masa-masa mereka
berdua dipenjara adalah masa yang lebih
tak menentu lagi bagi jamaah Ikhwan. Sebagian orang menjadi loyalis Hasan
Hudhaibi. Sebagian lain, berhimpun di bawah pimpinan seorang sastrawan, yang
baru hitungan dua tahun menjadi
petinggi. Sayyid Quthb.
Ia memimpin kesatuan
baru bersenjata. Dan; ia menambahkan warna yang lebih pekat kepada jamaah
Ikhwan sebagai, jamaah jihad. Ya; Sayyid Quthb, bersama Abul A’la Al-Maududi,
kelak akan dikenal sebagai Bapak Ideolog Teror Dunia..
Sementara itu; waktu
terus berjalan. Para tapol telah dibebaskan pada akhir dasawarsa 50-an. Akan
tetapi; kegiatan dan penyebaran ide Sayyid Quthb terus berlangsung. Pada tahun
64, ia dieksekusi akan tetapi bukunya yang fenomenal, Maalim fi Thariq, malah
mendunia.
Di sinilah muncul
pecahan baru dari Ikhwanul Muslimin: sebut saja mereka Jamaah Ikhwan Radikal.
Mereka, yang sering dituduh sebagai “Jihadi” atau “Takfiri”.
Naiklah seorang aktifis
Ikhwan yang kelak akan memperbarui cara gerak jamaah Ikhwan. Umar Tilmisani. Di
masanya inilah, Jamaah Ikhwan bersikap lebih moderat. Mereka mau berkoalisi dan
membentuk partai politik.
Tetapi, jamaah Ikhwan
di tempat lain di seluruh dunia telah semakin besar dan semakin banyak
pengikutnya. Mereka kemudian membutuhkan suatu sumber ilmu; sebab ternyata di
antara mereka ada yang menjadikan jamaah ini satu-satunya sumber mereka mereguk
ilmu agama islam.
Muncullah faksi baru
dalam tubuh Ikhwanul Muslimin yang mendunia itu: Faksi mereka yang awam agama,
tapi piawai bersiasat. Mereka yang kering perkara fikih, tapi cerdik
berpolitik.
Di titik inilah, anak
muda yang menjadi Imam di dalam penjara; menunjukkan perannya. Yusuf Qardhawi,
membangun kubu kultural di tubuh jamaah Ikhwan. Mereka yang merupakan alumni
dakwah kampus Al-Azhar dengan kompetensi agama yang mumpuni.
Dari tangannya yang
pandai; terbit beragam buku fikih jihad, fikih muamalah, dan juga fikih
siyasah. Bahkan ia terus menerus menghasilkan buku hingga hari ini; di usianya
yang lewat 90 tahun.
Bersamaan dengan
beliau; Syaikh Fathi Yakan di Lebanon, Mustafa Siba’I di Suriah, Sa’id Hawwa di
Mesir, dan banyak orang lainnya terus memberikan suplemen itu tanpa menciptakan
semacam majelis fatwa di tubuh ikhwan.
Fathi Yakan di Lebanon
bisa dibilang satu dari sedikit ulama yang bisa menandingi pikiran fikih-fikih
politik dan harakah Yusuf Qardhawi. Terlepas dari segala kontroversinya, mereka
telah menciptakan arus tanpa atribut jabatan apapun.
Fathi Yakan bahkan menampar
semua orang dengan menerbitkan buku Robohnya Dakwah di Tangan Dai; sebagai
kritik buat mereka yang kelewat liberal dan toleran, sekaligus jerat buat
mereka yang terlalu radikal dan intoleran.
Buku ini, ditulisnya
pascaa kegagalan harokah dakwah di Lebanon, pembantaian ribuan anggota Ikhwanul
Muslimin di Hama, Suriah, pada 187 oleh Hafidz Al-Assad, dan benturan antara
Husni Mubarak dengan jamaah di Mesir.
Faksi Sayyid Quthb,
atau yang kelak lebih dikenal sebagai Quthbiyyun, akan menciptakan arus garis
keras, sementara faksi moderat tadi, akan menciptakan arus yang lebih tenang
dan licin berkoalisi sana sini. Kedua faksi ini terus bersaing hingga saat ini.
Di tengah-tengah kedua
faksi itu, ada Yusuf Qardhawi dan rekan-rekannya yang senantiasa memberikan
arahan-arahan spiritual dan fikih. Bahkan kemudian; ia akan menjadi ketua
majelis ulama sedunia: Rabithah A’lam Islamy.
Sebagaimana Ikhwanul
Muslimin, para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia sebagai representasi gerakan
kepemudaan berideologi tarbiyah di Indonesia; agaknya mengalami turbulensi yang
sama.
Kerinduan atas
kentalnya bahasan fikih-fikih islam dalam kerangka pikir Iqamatuddin mulai
menguar di mana-mana; sebab mulai masuk generasi kedua di tubuh KAMMI dalam
dauroh-dauroh
Mereka yang masuk
KAMMI atas rekomendasi orang tuanya yang matang ditempa sebagai kader biologis
tarbiyah; dan mereka yang mencobai KAMMI sebagai altenatif mengisi kekosongan
jiwa dan fikrah mereka.
Dua tipe sumber daya
manusia KAMMI dalam satu generasi ini jelas berjarak; baik secara intelektual
maupun secara proses pemerolehan ideologi, meskipun hasilnya tak selalu sama.
Benturan itu mulai
terasa. Di sana sini ada suara-suara “terkikisnya nuansa islam dalam
dauroh-dauroh”, “cairnya interaksi antara ikhwan dan akhwat”, “keringnya
tawaran perjuangan islam gerakan kita di ranah penegakan syariat”.
Bahkan yang lebih
ekstrim mulai ada bisikan prihatin “gerakan kita telah sekular”, “gerakan kita
mulai kehilangan pencabaran ideologi’, “intelektual islam meninggalkan gerakan
kita dan yang tersisa adalah orang-orang kasar yang lihai berpolitik.”
Lalu Prinsip Gerakan
Kammi yang kini dianggap sekadar puisi pemanis dauroh dan apel; bisa jadi
memang perlu ditimbang kembali. Masihkah KAMMI merepresentasikan gerakan ultra
kanan, atau malah terjebak dengan jebakan yang sama yang menimpa HMI, PMII, dan
lain-lain?
Sebagaimana jamaah
Ikhwan dan Yusuf Qardhawi, atau harakah-harakah islam di Lebanon, agaknya
gerakan ini tak butuh semacam lembaga fikih yang paten. Pada akhirnya Yusuf
Qardhawi hanya menjadikan dirinya inventaris bagi kemanusiaan; bukan inventaris
gerakan:
Sebuah alasan indah
yang menyebabkan ia menolak kursi jabatan
Mursyid Aam setelah Muhammad Makmun Al-Hudaibi meninggal dan jamaah ini
diancam kekosongan pemimpin. Yusuf Qardhawi, menjadi wibawa dan ditakuti karena
kualitas keilmuannya.
Bisa jadi memang betul
tak perlu lembaga syariah atau fatwa yang malahan tak dihormati kapabilitasnya;
karena wibawa dan derajat ditentukan oleh ilmu; bukan tingginya jabatan. Atau jangan-jangan kita mulai
menyetujui perkataan orang bahwa KAMMI mulai kehilangan pegangan islamnya.
Harus ada sekelompok
orang; atau beberapa orang yang memang ditugaskan—atau fokus pada
kompetensi—dalam ranah fikih dan penjagaan fikroh islam, seumpama tauhid. Dan
orang-orang ini, memiliki wibawa politik karena keilmuannya, bukan karena
jabatannya.
Dengan cara seperti
inilah KAMMI bisa jadi jawaban atas anak-anak semester tanggung yang hijrah dan
mengisi kehausan itu. Sehingga, narasi politik dan tawaran perbaikan KAMMI
masih bisa ditakar dalam kacamata islami; atau setidaknya:
Masih bisa dianggap sebagai kerja seorang muslim, untuk
agamanya….
Risalah Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar