Minggu, 15 April 2012

Ittiba'

Ditulis Oleh: Ustadz Muhammad Afifuddin As-Sidawi

Definisi Ittiba’

Ittiba’ secara bahasa berarti iqtifa (menelusuri jejak), qudwah (bersuri tauladan) dan Uswah (berpanutan). Itttiba’ terhadap Al Qur’an berarti menjadikan Al Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isi kandungannya. Ittiba’ kepada Rosul artinya menjdikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri jejak langkahnya (mahabbatur Rosul hal 101-102).

Adapun secara Istilah, ittiba’ berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi mandad berkata:”Setiap orang yang kau ikuti dengan hujjah dan dalil yang ada padanya, maka engkau adalah muttabi’ (orang yang mengikuti)nya.” (dinukil oleh Imam Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayanil Ilmi,2/143).

Ibnu Qoyyim-rahimulloh – dalam kitabnya I’lamu Muwaqqi’in 2/139 menukil ucapan Abu Daud -rahimahullah- , beliau berkata:” Aku mendengar imam Ahmad bin hanbal -rahimahullah- menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan para Shohabat rodliallohu anhum .”

Dari perkataan para imam diatas, dapat dipahami bahwa yang dinamakan ittiba’ ialah mengikuti Al Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah dengan pemahaman salaful ummah, karena dua perkara ini adalah hujjah yang qathiyyah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Oleh karena itu Imam Ahmad bin hambal berkata:’ Janganlah engkau taqlid kepadaku, kepada malik, Sufyan Ats Tsauri dan Al Auza’I, tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” {lihat: A’lamul Muwaqi’in 2/139) Sedangkan para imam yang disebut oleh imam ahmad diatas, tidak pernah mengambil pendapat rijal (orang-orang) tapi mereka mengambilnya dai Al Qur’an dan Asu Sunnah ash shahihah lengkap dengan aqwal (perkataan) para Shohabat rodliallohu anhum .

Jika ada orang-orang yang mengikuti mereka (para imam) dengan dalil dan hujjah yang mereka ambil, maka dia adalah seorang muttabi’. Demikian pula jika ada orang yang mengikuti Syaikh Muhamamd Nashiruddin Al Albani , Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz , Syiakh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin -rahimakumullah- atau ulama yang lainnya karena berdasarkan hujjah dari Al Qur’an dan Assunnah dengan pemahaman salaful Ummah yang ada pada mereka, maka orang ini yang mengikuti para ulama tersebut adalah seorang muttabi’.

Seseorang disebut sebagai muttabi’ jika ia berpegang dengan dalil Al Qur’an dan Sunnah dan meninggalkan ucapan para imam atau masyaikh yang dia ikuti tersebut jika mereka (imam dan masyiakh tersebut) tidak menyandarkan pada dalil Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salaful Ummah

.

Ittiba’ Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam


Alloh Azza wa Jalla berfirman :

“Seseungguhnya telah ada pada diri Rosululloh itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS Al Ahzab : 21]

Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan ayat ini dengan ucapan:” Ayat ini merupakan asas pokok dan agung dalam bersuri tauladan kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dalam segala ucapan, perbuatan dan hal ihwal lainnya…” [lihat: Tafsir Ibnu Katsir 3/475].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- dalam kitabnya Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi hal 35 mengatakan,”Ayat ini memberikan pengertian bahawa Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam adalah panutan kita dan suri tauladan bagi kita dalam segara bentuk urusan agama…”

Ber-uswah kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam ialah dengan mengerjakan sesuai apa yang dikerjakan oleh beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , baik berupa amalan sunnah ataupun amalan wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam baik itu perkara makruh apalagi perkara haram. Jika Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam mnegucapkan suatu ucapan, kita juga berucap seperti apa yang beliau ucapkan tersebut, jika beliau mengerjakan sesuatu, maka kita juga mengerjakannya sesuai dengan perbuatan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dengan tidak ditambah apalagi dikurangi. Begitu pula jika Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam meninggalkan sesuatu maka kita juga tinggalkan selama perbuatan atau ucapan tersebut bukan suatu kekhususan bagi beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam. Dan jiak beliau mengagungkan sesuatu maka kita juga mengagungkannya , dan demikian seterusnya.

Jadi, beruswah kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam berati kita mengesakannya dalam hal mutaba’ah (mengikuti) sebagaimana kita mengesakan Alloh Azza wa Jalla dalam beribadah. Hal ini merupakan konsekuensi dari ucapan syahadat Laa Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan rasululloh, jika hilang salah satu hal dari diri seseorang kedua kalimat persaksian tersebut maka belum dapat dikatakan seseorang tersebut sebagai muslim.

Perlu diperhatikan, bahwa mustahil seseorang itu mampu beruswah dan beriittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam jika dia jahil (bodoh) terhadap sunnah dan petunjuk-petunjuk Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Oleh karena itu jalan satu-satunya untuk bisa beriittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam adalah dengan mengetahui sunnah-sunnah beliau dan ini menunjukkan bahwa atba’ (pengikut rosul) adalah ahlul bashiroh (orang yang berilmu).

Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam kitabnya Zaadul Ma’ad 1/69-70 mengatakan :”Kalau kebahagian seorang hamba di dunia dan akherat tergantung dengan petunjuk Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam maka wajib bagi setiap hamba yang ingin mendapatkannya utnuk mengetahui dan memahami Sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , petunjuk-petunjuk dna jalan hidup beliau sehingga dapat digolongkan sebagai atba’ (pengikut) belia..”

Setelah mengilmui sunnah-sunnah beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , maka wajib bagi kita selanjutnya adalah tathbiqu Sunnah (mengamalkan sunnah) baik secara individu maupun masyarakat. Di dalam menjalankan sunnah ini tidak boleh hanya mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Tidak boleh hanya mementingkan sholat saja tanpa mengamalkan yang lain, begitu juga tidak boleh mementingkan akhlak saja namun tauhidnya tidak. Akan tetapi harus mengamalkan sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam baik yang berkaitan dengan masalah I’tiqod, ibadah, muamalah, akhlaq, adab, hubungan social ataupun lainnya.

Salah satu cara dalam tahthbiqu sunnah adalah dengan menyebarkan ilmu syar’I yang telah diwariskan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam kepada ummat. Jadi merupakan kewajiban bagi setiap orang yang mempunyai illmu syari tersebut untuk meyampaikan dan mendakwahkan kepada ummat tentang sunnah.

Imam Al Baihaqi -rahimahullah- mengatakan:” Jika ittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam merupakan suatu kewajiban dan tidak ada cara lain untuk bisa berittiba’ kepada sunnah beliau kecuali dengan mengilmuinya, maka tidak ada jalan lain untuk bisa mengilmuinya kecuali dengan menerima semua apa yang datang dari beliau. Oleh sebab itu beliau memerintahkan umatnya untuk mengajarkan dan mendakwahkan sunnah kepada ummat.” [lihat Al I’tiqod Wal Hidayah Ila Sabili Ar Rasyad hal 154]

Kemudian yang perlu diperjelas adalah suatu perbuatan yang ditinggalkan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam atau yang lebih dikenal dengan sunnah matrukah atau sunnah tarkiyah.

Sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dibagi menjadi dua yaitu: Sunnah fi’liyah dan sunnah tarqiyyah. Segala sesuatu yang dikerjakan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam termasuk sunnah yang kita kerjakan selama bukan merupakan kekhususan bagi beliau. Sunnah ini yang yang dinamakan sunnah fi’liyah. Sedangkan segala sesuatu yang ditinggalkan beliau adalah termasuk sunnah untuk kita tinggalkan dan ini dinamakan sunnah tarkiyyah.

Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali -rahimahullah- dalam kitabnya Fadllu ‘Ilmi Salaf hal 31 beliau berkata”…Segala sesuatu yang disepakati oleh salafush shalih untuk ditinggalkan maka tidak boleh diamalkan karena mereka tidak akan meninggalkan suatu amalan karena mereka tahu bahwa amalan itu tidak dikerjakan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam “

Dasar kaidah sunnah tarkiyyah ini diambil dari beberapa dalil. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori -rahimahullah- (no 5063) dan Imam Muslim -rahimahullah- (no 1401) dari anas bin malik -Rodliallohu anhu- , dia berkata :”Datang tiga orang ke rumah istri Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Ketika mereka dikabari tentang ibadah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam mereka merasa bahwa ibadah mereka amat sedikit. Oleh karena itu mereka mengatakan’Ada apanya kita dibanding Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam? padahal beliau telah diampuni oleh Alloh dosanya yang lalu maupun yang akan datang’, salah satu diantara mereka berkata,’Saya akan sholat semalam suntuk selama-lamanya’ yang lainya berucap,’ Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka.’ dan yang lainnya berkata,’saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya’ (mendengar hal ini) Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam pun bersabda,”Kalian mengucapkan begini dan begitu?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepadaNya, namun aku berpuasa juga berbuka, aku sholat dan juga tidur serta aku pun menikahi wanita. Maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku maka dia bukan dari golonganku” [HR Bukhori dan Muslim]

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid -Hafidlahullah- dalam kitabnya Ilmu Ushulil Bida’ hal 108 menjelaskan hadits tersebut :’Hadits ini secara jelas mengisyaratkan tentang usaha tiga orang yang tersebut dalam hadits untuk mengerjakan ibadah-ibdah yang pada dasarnya memeang disyariatkan, namun kaifiyyah (tata cara) yang tidak pernah dilakukan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Puasa pada asalnya ibadah yang dianjurkan. Qiyamul Lail pun asalnya dalah ibadah yang disukai . Tetapi kaifiyah dan sifat ibadah yang akan dilakukan oleh tiga orang tadi ditinggalkan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .dalam praktek ibadahnya dan tidak pernah diajarkan oleh beilau, maka beliau pun mengingkari perbuatan mereka. Pengingkaran Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam tesebut sesuai sabda beliau:’barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.”[HR Muslim 1718]. “

Dalam hadits ini ada faedah yang sangat penting yaitu niat yang baik semata tidak dapat menjadikan suatu amalan menjadi baik dan diterima di sisi Alloh Azza wa Jalla , akan tetatpi harus sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .Oleh karena itu Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam menutup pengingkarannya dengan sabdanya,”…siapa yang benci (meninggalkan) sunnahku, maka dia bukan berasal dari golonganku.”

Oleh karena itu untuk menyempurnakan ittiba’ kepda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam adalah mengerjakan apa yang telah dikerjakan oelh ros (sunnah fi’liyah) dan meninggalkan apa yang ditinggalkan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam (sunnah tarkiyyah). Dengan demikian seseorang akan terjauh dari perbuatan bid’ah dan dapat menutup pintu bid’ah serapat-rapatnya. Karena semakin ber-ittiba’ kapada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam, maka semakin jauh pula seseorang dari kebid’ahan, Sebaliknya kalau seseorang lemah dalam ber-ittiba’ kepada beliau, maka pintu bid’ah akan terbuka lebar-lebar dan kemungkinan terjerumus sangat besar sekali baginya.

Meninggalkan apa yang ditinggalkan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam berati telah mengerjakan sunnah tarkiyyah, tetapi sebaliknya meninggalkan apa yang dikerjakan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam (sunnah fi’liyah), maka kan terjerumus ke dalam bid’ah tarkiyyah. wal ‘iyadzubillah.

Bid’ah tarkiyyah adalah jika seseorang mengharamkan atas dirinya apa yang dihalalkan oleh Alloh Azza wa Jalla dan rosulNya tanpa udzur syar’I dan menjadikannya segabagai agama yang harus dipeluk.

Orang yang meninggalkan sesuatu yang dihalalkan atau yang disyariatkan oleh agama itu memiliki dua alternatif :

Dia meninggalkan karena udzur syar’I
kalau dia meninggalkan sesuatu yang halal karena ada udzur syariat berarti dia meninggalkan sesuatu yang boleh ditinggalkan atau bahkan dituntut untuk ditinggalkan. Seperti orang yang meninggalkan suatu makanan tertentu karena dapat merusak kesehatan.

Dia meninggalkan tanpa ada udzur syar’I
Orang yang meninggalkan sesuatu tanpa ada udzur syari juga mempunyai dua alternatif :

Dia meninggalkannya tapi tidak dianggap sebagai agama.
Orang seperti ini berarti telah mengerjakan suatu yang sia-sia, namun belum bisa dikatakan sebagai perbuatan bid’ah tarkiyyah, sekali pun dia telah berbuat maksiat karena telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan RosulNya

Dia meninggalkan dan menggangap sebagai agama
Orang yang meninggalkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan RasulNya dan menganggap bahwa apa yang dia perbuat adalah agama yang harus dipeluk, maka dia telah terjatuh dlam bid’ah tarkiyyah. Karena orang yang mengharamkan dirinya untuk memakan apa yang dihalalkan oleh Allah dan RosulNya tanpa ada udzur syar’I berarti dia telah keluar dari sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , sedangkan orang yang meninggalkan sunnah karena tadayyun (dianggap sebagai agama) adalah seorang mubtadi’ {lihat Al I’tisham 1/42]



Bentuk-Bentuk Ittiba’

Ittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam memiliki mazhahir (bentuk-bentuk) yang banyak. kalu madzahir itu direalisasikan, maka hal itu menunjukkan kejujuran seseorang dalam ber-ittiba’ kepada RosulNya. Diantara madzahir itu adalah :


Menta’ati Perintah Beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam

Alloh Azza wa Jalla dalam banyak ayat Al Qur’an memerintahkan kaum mukminin untuk taat kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Hal ini merupakan suatu bukti kebenaran dalam ber-ittiba’ kepadanya. dan seringkali Alloh Azza wa Jalla menggabungkan perintah untuk taat kepadaNya dengan perintah untuk taat kepada RosulNya untuk menunjukkan bahwa taat kepada RoslNya dalam segala yang diperintahkan itu mutlak adanya, tidak perlu lagi dicocokkan dengan Al Qur’an. didalam Al Qur’an juga disebutkan bahwa orang yang taat kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam berarti dia telah taat kepada Alloh Azza wa Jalla .

Alloh Azza wa Jalla berfirman

“ Hai orng-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RosulNya dan ulil amri diantara kalian….” [QS An Nisa 59]

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah…”[QS An Nisa 80]

Ta’at kepada Allah dan RasulNya merupakan sebab turunnya rahmat dari Alloh Azza wa Jalla , sebagaimana firmannya:

“Dan taatilah Allah dan Rosul, supaya kamu diberi rahmat “ [QS Ali Imron 132]

Juga merupakan sebab seseorang itu mendapatkan hidayah dari Alloh Azza wa Jalla , dalam firmannya:

“Katakanlah :’Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul, dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rosul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya niscaya kamu mendapat petunjuk…[QS An Nuur 13]

Allah menjanjikan bagi orang yang taat kepadaNya dan kepada RosulNya dengan surga yang mengalir dibawahnya dlam firmanNya:

“..Barangkali yang taat kepada Allah dan RosulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.”[QS An Nisa 13]

Sebaliknya Alloh Azza wa Jalla mengancam orang-orang yang tidak taat kepada RosulNya dengan adzab yang pedih, firmanNya :

“….maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS An Nuur 63].


Menjauhi Larangan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam

Hal ini juga merupakan bukti nyata tentang kebenaran seseorang dalam berittiba’ kepda RosulNya. Orang yang terkumpul pda dirinya dua hal ini yakni mengerjakan perintah Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya serta menjauhi laranganNya, maka dia telah mencapai derajat orang yang bertaqwa.

Di dalam menjauhi larangan Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya, kita harus meninggalkan semuanya tanpa terkecuali sekalipun hawa nafsu kita berat meninggalnya. Merupakan rahmat Alloh Azza wa Jalla yang Maha Luas di dalam kita mengerjakan perintahNya kita hanya dituntut mengerjakan sesuai kemampuan kita. Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda dalam sebuah hadits ,” Apa yang aku larang untuk kalian, maka jauhilah (semuanya), dan apa yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian..” [HR Bukhori 13/251 da Muslim 1337].


Membenarkan Khabar/berita yang datang dari Beliau

Termasuk kebenaran bukti ittiba’ seseorang kepada NabiNya adalah dia membenarkan seluruh berita yang memang benar darinya sekalipun berita itu tidak masuk akal atau tidak dapat dijangkau dengan nalar dan panca indra. Karena dia yakin bahwa Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam tidak akan pernah berbicara dari hawa nafsunya, melainkan berbicara sesuai wahyu dari Alloh Azza wa Jalla .

“ Dan tidaklah dia mengucapkan dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [QS An Najm 4]


Beribadah kepada Alloh Azza wa Jalla dengan syariat yang diajarkan beliau.

Empat point penting diatas adalah sebagian dari sekian banyak mazhahir iitiba’ kepda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan merupakan makna persaksian syahadat Muhammad Rosululloh , demikian yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalm risalahnya [ lihat : Hasyiyah Ushulu Ats Tsalatsah 57]


Kedudukan Ittiba dalam Islam

Ittiba’ didalam islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk agama Islam. Berikut ini point-point penting kedudukan ittiba di dalam Islam

Ittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam adalah salah satu diterimanya amal ibadah seseorang oleh Alloh Azza wa Jalla .
Ittiba’ dijadikan oleh Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya sebagai salah satu syarat diterimanya suatu amalan ibadah. Sedangkan syarat ibadah itu sendiri sebagaimana yang disepakati oleh para Ulama Ahlus Sunnah ada 2 yakni:

Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Alloh Azza wa Jalla
Amalan ibadah yang dilakukan tersebut harus sesuai/mencocoki dengan apa yang diajarkan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .
Alloh Azza wa Jalla berfirman ,” Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS Al Mulk 2]

Imam Al Fudhail bin Iyadh menafsirkan firman Alloh Azza wa Jalla [tafsir makna “ yang lebih baik amalnya”], dengan ucapan beliau -rahimahullah- ,” Yaitu yang paling ikhlas dan paling cocok dengan ajaran Rosul, karena suatu amalan yang didasarkan dengan ikhlas, namun tidak sesuai dengan ajaran Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam maka amalan tersebut tertolak. Begitu pula sebaliknya, kalau amalan itu benar namun dilakukan tidak ikhlas untuk Alloh Azza wa Jalla semata, amalan inipun tidak diterima…” [Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam hal 10 dan Ilmu Ushulil Bida’ hal 61].

Ibnu Ajlan -rahimahullah- mengatakan ,” Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara : taqwa kepada Allah, niat yang baik (ikhlas), dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rosul).” [lihat Jami’ul Ulum wal Hikam hal 10]

Maka barangsiapa mengerjakan amalan suatu amalan dengan didasari ikhlas karena Alloh semata dan sesuai dengan sunnah Rosululloh, niscaya amalan itu akan diterima Alloh Azza wa Jalla . Akan tetapi jika hikang salah satunya maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima Alloh Azza wa Jalla . Hal inilah yang sering luput dan dilalaikan oleh sebagian orang yang mengaku muslim, mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan sisi lainnya. Sehingga seringkali kita dengar ucapan mereka” yang penting kan niatnya, kalau niatnya baik maka amalannya akan baik.” Suatu ucapan bodoh dan jahilnya orang-orang tersebut.


Ittiba’ merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah dan RosulNya.
Alloh Azza wa Jalla berfirman:

“ Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [QS Ali Imron 31]

Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- menafsirkan ayat diatas dengan ucapannya,” Ayat yang mulai ini sebagai hakim bagi orang-orang yang mengaku cinta kepada Alloh Azza wa Jalla , namun tidak mengikuti sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , karena orang yang seperti ini pada intinya adalah pendusta dalam pengakuan cintanya kepda Alloh Azza wa Jalla sampai dia ittiba’ kepada syari’at agama Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dalam segala ucapan dan tingkah lakunya.” [Tafsir Ibnu Katsir 1/358].


Ittiba’ adalah sifat utama bagi wali-wali Alloh Azza wa Jalla
Imam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- dalam kitabnya Al Furqon Baina Aulia Rahman wa Auliya Syaithon halaman 28-47 menjelaskan panjang lebar tentang perbedaan antara waliyulloh dan wali syaithon, diantaranya beliau mengatakan,” Tidak bisa dikatakan wali Allah kcuali orang yang beriman kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan syariat yang dibawanya serta ber-ittiba’ kepada kepadanya lahir dan batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Alloh Azza wa Jalla namun dia tidak ittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam berarti dia dusta. bahkan kalu dia menentang RosulNya , berarti dia juga termasuk musuh Allah dan sekaligus sebagai Wali Syaithon.”

Kemudian beliau ( dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- dalam kitabnya Al Ushul As Sittah) berdalil dengan firman Alloh Azza wa Jalla surat Ali Imron 31 diatas.

Imam Ibnu Abil Izzi Al Hanafi -rahimahullah- dalam kitabnya Syarah Aqidah Ath Thahawiyah hal 496 beliau berkata,” Pada hakekatnya yang dinamakan karomah adalah kemampuan untuk senantiasa istiqomah berada diatas al haq, karena Alloh Azza wa Jalla tidak memuliakan hambanya dengan suatu karomah yang lebih besar dari taufikNya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa memcocoki apa yang dicintai dan diridloiNya yaitu istiqomah didalam mentaati Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya an ber-wala (loyal) kepda wali-wali Allah serta bara’ (berlepas diri) dari musuh-mushNya.” Mereka itulah wali-wali Allah sebagaimana yang difirmankanNya :

“ Ingatlah, sesungguhnya wali-ali Alloh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [QS Yunus 62]

Demikianlah beberapa kedudukan Ittiba’ yang tinggi dalam syariah Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam merupakan amalan besar yang banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Alloh Azza wa Jalla menjadikan kita sebagai orang-orang yang berittiba kepada NabiNya dalam setiap detail aspek kehidupan kita.

Dan Bagaimana dengan Taqlid?????...insya alloh dibahas dibagian kedua dari tulisan ini

ma’raji :

Al Qur’anul Karim dan terjemahannya

Jami’ul Ulum wal Hikam , Al Hafidz Ibnu Rajab

Mahabbatur Rasul, Abdu rauf Muhammad Utsaman

Jami’ Bayanil Ilmu wa Fadllih, Imam Ibnu Abdil Barr

Al Hadits Hujjatun bi Nahsihi, Syaikh Al Albani

Al I’tiqod wal Hidayah Ila Sabdi Ar Rasyad, Imam Al Baihaqi

Fadlu Ilmi Salaf, Al Hafidz Ibnu Rajab

Shahih Bukhori, Imam Bukhori

Shahih Muslim, Imam Muslim

Ilmu Ushulil Bida’, Syaikh Ali Hasan Al Halabi

Al I’tishom, Imam Asy Syatibi

Syarh Aqidah Thahawiyah, Imam Ibnu Abil Izzi Al hahafi

Al Aqalid, Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi

Al Ushul As Sittah, Imam Muhammad bin Abdul Wahab

Hal lil Muslim Mulzamun bi ittiba’ Madzab Mu’ayyan, Muhammad sulthon Al Ma’shumi.


(Dapatkan kitabnya di www.al-aisar.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar