1
suatu hari, berangkatlah armada besar yang gaungkan Sumpah Palapa ke berbagai penjuru. Sang Gajah Mada; Mahapatih Kerajaan Majapahit yang besar, yang agung, yang bhinneka.
Tahun-tahun itu, sang Gajah Mada, dengan matanya yang tajam lebih dari tahu. Bahwa, ikatan perserikatan raja-raja Islam sedang hancur. Serbuan Kekaisaran Mongol benar-benar menghancurkan segalanya.
2
Di pucuk Barat, Kerajaan Samudera Pasai, sedang kebingungan. Kapal-kapal dari Timur Tengah datang dalam kondisi mengenaskan. Bahtera yang biasanya membawa emas, kini membawa kabar bencana.
Di pucuk timur, Kesultanan Jailolo juga sedang menanti, kabar apa yang digiring angin barat kepada bukit-bukit. Gajah Mada tahu itu. Ia pastikan, dua tembok yang selama ini menjepit Majapahit, bisa dijebol habis.
3
Tetapi; di dalam istana, cukup banyak jenderal-jenderal dan keluarga kerajaan yang memicingkan mata. Sang Mahapatih, apakah wewenangnya sejauh itu?
Semuanya berbisik kepada Raja. Hayam Wuruk namanya. "Percayalah pada Gajah Mada," katanya. "Orang itu sangat kuat. Sangat sangat kuat."
Bisikan-bisikan dalam istana cuma dianggap iri dan ingin cari jabatan. Atau, "itu sisa-sisa pengikut pemberontak," kata Gajah Mada.
4
Lalu, berangkatlah kapal-kapal itu dari pelabuhan militer. Menuju berbagai pulau. Apakah kapal-kapal itu benar-benar sampai atau tidak, itu tak penting.
Diutuslah para empu, menyusun sajak-sajak dan pentas bagi mengagungkan sang Raja. Sementara, raja-raja muslim yang mendengar kedatangan kapal-kapal itu, tersenyum geli.
"Ya Allah," kata mereka. "Hayam Wuruk itu benar-benar dikibuli sang jenderal besar."
5
Sebab, tampaknya, semua orang selain Hayam Wuruk tahu: Saifuddin Qathiz, hanya setahun sebelum pasukan Sumpah Palapa itu berlayar, telah menghancurkan armada tempur Mongol di Ain Jalut. Umat Islam mendapatkan perisainya lagi, sekali lagi.
Tapi, raja-raja muslim itu tampaknya tahu apa yang terjadi di Istana Timur Majapahit. Sang Jenderal Besarlah, yang mengendalikan istana. Batalion khusus pengawal raja dan detasemen anti teror "Bhayangkara" telah menaikkan nama sang Gajah Mada, hingga Raja kehilangan kecerdikan untuk mengatur negara.
6
Mengenai kapal-kapal yang berlabuh di Jailolo atau Pasai, itu cerita lain. Tapi di Pulau Jawa, bagi rakyat Majapahit, kabar-kabar keberhasilan perang terus beredar dari para empu, tanpa perang yang sesungguhnya terjadi.
Rakyat hanya mendengar: "satu persatu wilayah Nuswantara telah berhasil tunduk kepada Majapahit!"
Di Trowulan, kini, Ibukota yang jauh dari pelabuhan itu, banjir besar terus terjadi. Penduduk Ibukota gelisah. "Mana harta dari keberhasilan Patih Gajah Mada menaklukkan Nuswantara?"
7
Dan istana, istana, mulai goncang. Para menteri dan gubernur sering diralat pernyataannya oleh Gajah Mada. Barangkali, karena tak sesuai dengan "fakta kemenangan armada Sumpah Palapa"
Aturan-aturan yang memusatkan segala kegiatan politik di tangan Raja, tepatnya di tangan sang Mahapatih, dibuat untuk "memudahkan pembangunan negara" serta "masuknya harta dari para pedagang-pedagang Islam"
8
Mengapa? Sebab raja-raja muslim di pintu timur dan barat Nusantara yang tersenyum geli tadi, akhirnya memberikan surat kepada para panglima Armada. "Pulanglah. Kami menitip pedagang-pedagang kami."
"Pedagang kami akan datang dari Champa, India, Farisi, Yaman, Syam, Afrika, dan Andalusia. Jaringan bisnis Kekhalifahan kami akan datang mendanai pelabuhan-pelabuhan baru di negaramu!"
9
Mengapa? Sebab raja-raja muslim di pintu timur dan barat Nusantara yang tersenyum geli tadi, akhirnya memberikan surat kepada para panglima Armada. "Pulanglah. Kami menitip pedagang-pedagang kami."
"Pedagang kami akan datang dari Champa, India, Farisi, Yaman, Syam, Afrika, dan Andalusia. Jaringan bisnis Kekhalifahan kami akan datang mendanai pelabuhan-pelabuhan baru di negaramu!"
10
Dari "sumpah palapa" tadi, investor-investor muslim datang atas nama "pedagang dari gujarat". Mereka datang membawa zaman baru ekonomi dan investasi. Pelabuhan-pelabuhan baru dikejar pembuatannya.
Sang Gajah Mada, terpaksa mengendalikan istana demi "kelancaran pembangunan negara". Dia, yang seorang prajurit militer tanpa kans atau kendaraan politik untuk jadi raja, sesungguhnya telah memenangkan takhta!
11
Jadi kalau hari ini, di atas runtuhan kerajaan Majapahit, di tanah yang sama, ada seorang jenderal besar, mengepalai sebuah proposal raksasa investasi dan militer untuk "membangun Nusantara",
Kita tidaklah perlu heran. Terutama bila sang jenderal lebih kuat daripada Raja Hayam Wuruk. Dan tak perlu ikut tersenyum geli, bila raja-raja Negeri Tetangga sering dibuat tersenyum pula dengan apa yang terjadi di dalam istana.
12
Bila Mahapatih Gajah Mada sukses dengan Detasemen Khusus Bhayangkara dan menangkal aksi terorisme Ra Kuti, maka jenderal kita mendirikan Detasemen 81, sebagai perintis segala pencegahan terorisme.
Sementara para empu terus menceritakan betapa hebatnya negara membangun; di saat yang sama pembangunan itu tidak menghidupi rakyatnya. Nanti kita akan tahu, kerajaan itu akan berakhir dengan Perang Paregreg. Perang saudara, bagi menyebut "siapa yang paling Majapahit" di antara dua saudara.
13
Sebab sang jenderal tak sadar.
Apa yang dilakukannya, akan menghancurkan negara, perlahan-lahan, hingga muncul lagi cara baru bernegara. Demak; yang istananya ada di sebalik mimbar masjid, yang lautan dijadikan sahabat bagi rakyatnya.
14
Barangkali hari ini, Hayam Wuruk boleh saja selalu mendapat laporan: "aman baginda," setiap ia bertanya.
Tapi rakyat, rakyat tak bisa dibohongi. Mereka mulai tahu permainan Gajah Mada dan mulai hidup tanpa negara. Letusan Semeru, Bromo, Merapi, atau juga pageblug besar yang melanda Majapahit, tidak diurus dengan baik.
Rakyat, tak lagi meminta apapun kepada Hayam Wuruk atau Gajah Mada. Ya, jenderal, rakyat telah sadar permainan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar