Rabu, 15 April 2020

Falsafah Dasar Penciptaan Puisi

1
Saat kita menulis puisi, sesungguhnya, apa yang sedang kita tulis?

Pada dasarnya, puisi adalah bahasa. Bahasa manusia yang berkata-kata. Yang bukan sekadar meracau, atau gejala reflek yang menghasilkan bahasa konkret, semacam teriakan kesakitan, atau tertawa. Puisi, adalah bahasa sejelas-jelasnya bahasa. Tetapi, apakah bahasa itu?

2
Suatu hari, saat Allah menciptakan Adam, lalu mengajarkan padanya nama segala sesuatu, selain nama benda-benda yang kita kenal: bunga, batu, tanah, awan....barangkali nama-nama itu juga termasuk nama bagi "ketiadaan sesuatu"

Nama itu, barangkali juga mencakup "simbol bagi sesuatu yang tak terindera". Apa nama bagi "keadilan"? Apa nama bagi " ketiadaan keadilan?" apa nama bagi "cinta"? Apa nama bagi " ketiadaan cinta"?

3
Sedangkan, bahasa itu arbitrer. Sebutan bagi sesuatu belum tentu merupakan "bunyi" atau "bentuk" sesuatu. Sebuah kata, belum tentu wakil indrawi dari benda yang dia rujuk.

Tapi, ada satu yang mengganjal pikiran saya. Kalau kita reka kembali saat Adam diperkenalkan kepada Malaikat, di surat Al-Baqarah ayat 30, malaikat menyangsikan penciptaan Adam. Mereka mengatakan:  mengapa Bumi diamanahkan kepada mereka yang bakal merusak dan menumpahkan darah di sana? Tapi, yang menarik adalah, jawaban Allah.

4
"Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui," firman Allah. Lalu, "Kami ajarkan kepada Adam, nama segala sesuatu."

Setelah Adam menyebutkan nama segala sesuatu itu hadapan para Malaikat, maka Malaikat itu terpuaskan. Seakan-akan, nama segala sesuatu itu menjamin Adam agar tak melakukan kerusakan dan pertumpahan darah, sebagaimana perkiraan para Malaikat. Seakan-akan Adam belajar nama bagi "dampak kerusakan" dan "risiko pertumpahan darah".

5
Berarti, setiap "nama" yang diajarkan kepada Adam, bukanlah nama yang arbitrer. Dia nama yang merujuk pada kerusakan dan pertumpahan darah yang terjadi sebelumnya. Yang membuat Malaikat mengaitkan Adam dengan kerusakan itu.

Nama segala sesuatu, dalam kisah ini, adalah "bahasa". Sebab, "bahasa" itu, adalah nama, adalah sebutan bagi sesuatu, ketiadaan sesuatu, keadaan sesuatu, dan kegiatan sesuatu. Sebab barangkali Adam menjamin kepada Malaikat, dia memahami  nama segala sesuatu. Keadilan, kedamaian, dan kebahagiaan.

6
Saat kita menggunakan "bahasa" untuk menulis puisi, maka kita memang harus mengerti maknanya. Sebab, pemahaman kita kepada bahasa, kepada "nama segala sesuatu" itulah, yang menjamin Adam di hadapan malaikat.

Nama apa itu? Bahasa apa itu? Bahasa, yang membuat Adam tidak melakukan kerusakan dan pertumpahan darah. Nama "sesuatu" yang menjamin Adam berhasil memakmurkan bumi sebagai Khalifah. Apa yang saya bicarakan ini, adalah, "falsafah bahasa" . mengapa manusia menggunakan bahasa.

7
Dari pemahaman mengapa manusia menamai segala sesuatu, membahasai sesuatu itulah, ada satu produk bahasa yang kita sebut "puisi".

Dari segala upaya manusia menamai segala sesuatu, ada satu upaya manusia yang disebut puisi untuk menamai apa yang terjadi di sekelilingnya dengan cara-cara yang lebih indah, mengena, dan padat. Itulah mengapa puisi-puisi terus diciptakan manusia. Itulah mengapa, puisi berbeda dengan ungkapan biasa.

8
Saat kita menulis sebuah puisi, ada suatu pengertian untuk menjamin, agar manusia tercegah dari berbuat kerusakan dan menumpahkan darah.

Dari puisi-puisi itu tersimpan "nama-nama yang mencegah Adam berbuat yufsidu fiha wa yasfiquddima" . bukan sebatas kata-kata indah, atau kebohongan-kebohongan yang kebetulan bunyinya indah. Sebab tidak semua bunyi adalah bahasa, dan tidak semua bunyi yang indah adalah puisi.

9
Kita yang berlindung dibalik idiom "pengarang telah mati" atau  "puisi adalah milik pembaca seusai diciptakan" barangkali berbeda pandangan dengan kesusastraan islam. Atau, jangan-jangan, itu cuma kalimat untuk menutupi betapa tidak pahamnya kita kepada bahan baku puisi, yaitu bahasa.

Sebab, kita memang lebih senang, dan tentu lebih mudah, menulis kebohongan yang bunyinya indah. Kita lebih senang menulis sesuatu yang cepat populer, sampah yang menghibur, dan bualan-bualan yang membius. Tapi, itu bukan puisi. Bahkan barangkali itu bukan bahasa.

10
Saya tidak hendak memberat-beratkan orang, atau menakut-nakuti orang agar tak menulis puisi. Tapi tolong pahami, bahwa  "bahasa" bukan hanya sekadar igauan kosong yang kebetulan punya makna, dan lantas kita bilang itu arbitrer. Lalu saat kita rangkai itu jadi puisi, kita katakan pengarang telah mati.

sedang, yang "allamahul bayan" adalah Allah. Yang "allama adam al-asma" adalah Allah. Lalu mengapa kita menggunakannya, seolah-olah bahasa tidak punya makna kemanusiaan, sebagaimana penjelasan Adam kepada Malaikat?

11
Kata-kata, bahasa yang digunakan tidak untuk mencegah manusia berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, tetaplah bahasa.

Puisi yang tidak ditulis untuk mencegah itu semua, atau tidak dengan kesadaran "bahasa merupakan anugerah Tuhan kepada manusia" juga tetaplah puisi.

Tetapi, itu bukanlah puisi, yang kita buat. Itu bukanlah puisi orang yang memahami ketuhanan. Itu bukanlah puisi yang memahami bahasa sebagai asal-muasal dirinya.

12
Berbahasalah. Dan cegahlah kerusakan serta pertumpahan darah itu. Namailah segala sesuatu untuk menjawab pertanyaan:

Apakah Adil itu? Apakah damai itu? Apakah nama bagi ketiadaan keadilan itu? Apakah nama bagi ketiadaan kedamaian itu? Namailah semuanya dengan puisi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar