I
Sanad, menunjukkan betapa adabmu kepada sumber ilmu. Sebab, pengetahuan saja bisa kau dapat dari media sosial.
Tapi sanad, memastikan ilmumu benar, adabmu benar, dan kau dikenal oleh lingkungan tempat ilmu itu dikembangkan.
II
Dalam dunia puisi, adakah yang semacam itu? Ada. Seseorang disebut penyair bukan karena dia menulis puisi. Penulis puisi, berbeda dengan penyair.
Dia mengandung tiga makna. Mengabdikan dirinya untuk puisi, lalu lahir dan turut terlibat dalam ekosistem budaya, dan ada orang bersaksi bahwa karyanya bernilai. Orang ini, disebut sebagai "kritikus sastra".
III
Para "penyair" di zaman sekarang, rata-rata adalah mereka yang viral. Bukan mereka yang punya sanad. Apa maksudnya? Tak ada pertanggungjawaban dalam karya mereka.
Padahal, puisi adalah sebuah ilmu. Bukan cuma racauan semata. Ilmu puisi semacam ini, harus dipertanggungjawabkan. Puisi-puisi kita, harus dikaji secara ilmiah. Dalam sebuah metode "kritik sastra", dan pula, harus mau kita terlibat dalam "pengembangan budaya"
IV
Mengapa Umar bin Khattab mengatakan, pengajaran puisi berdampak kepada keberanian orang? Sebab, puisi adalah sebuah sikap.
Puisi yang jujur selalu adalah puisi yang melawan sesuatu. Puisi yang baik, adalah selalu yang di atas kata-kata, tak hanya bicara diri dan segala keakuannya, tapi mengabadikan usaha manusia di suatu zaman melawan sesuatu.
Itu sebabnya, ada "Angkatan sastra."
V
Jadi, bukan masalah segera membukukan puisi, atau ikut lomba, menang, lalu kau jadi pembicara di mana-mana. Atas puisi-puisi yang kau bikin setengah sadar dan ternyata dianggap bagus.
Hari ini, ada istilah baru. "Poet-shaming" atau penghinaan pada puisi. Para penulis puisi mula dan baperan, yang tak paham sastra membela racauan-racauannya dan mencoba melawan tatanan keilmuan dan sanad sastra Indonesia yang hampir mapan.
VI
Kau harus punya sanad kata. Kau belajar pada pakar linguistik, kau belajar makna sebuah kata. Bahwa kata "Cinta" misalnya, berasal dari bahasa Sanskerta. Maknanya, berkaitan dengan "kepada sesuatu yang fana" dan berkonsekuensi pada "kekhawatiran dan kekecewaan."
Lalu, kau menggunakan itu untuk Tuhan. "Tuhan, aku cinta padamu." dia cinta kepada Tuhan tapi masih kecewa. Sedangkan, kekecewaan hanya didapat dari kefanaan, karena yang kita cintai itu suatu saat pasti hilang. Tapi Tuhan tidak.
VII
Muncul sekelompok orang yang menulis dengan mematah-matahkan sintaksis. Padahal dia harus memahami bagaimana Bahasa Indonesia bekerja. Perubahan kelas kata: bagaimana cara kata kerja berubah menjadi kata sifat? Bagaimana kata "kucing" bisa berubah jadi kata kerja dengan mengubah posisi sintaksisnya atau dengan menambah imbuhannya?
Itulah pentingnya sanad sastra. Agar pembaca puisi Indonesia tak melulu membaca sampah. Agar kita tak hanya baca tulisan yang seolah-olah saja puisi.
VIII
Saat Ibnu Abbas, radhiallahu'anhu, seorang sahabat Nabi yang paling menguasai ilmu tafsir itu luang atau bosan, ia biasa berkata, "berikan aku buku puisi."
Aisyah radhiallahu'anha, istri Rasulullah, dikisahkan menghafal 18.000 bait syair. Apa implikasinya? Penguasaan mereka atas bahasa, membuat Ibnu Abbas mampu memahami Al-Qur'an. Setiap kata, setiap konteks dan makna cerita dalam Al-Qur'an sehingga tafsirnya kuat. Aisyah, dengan penguasaannya kepada kata, dipilih Allah untuk menyampaikan hadis dalam jumlah luarbiasa.
IX
Orang yang dekat dengan sanad puisi, menghargai adab berpuisi, dan menghargai para penyair, niscaya Allah akan memberinya suatu tugas tertentu berkaitan dengan bahasa.
Ibnu Ishaq, salah satu penyusun kitab induk dalam ilmu Sirah, adalah seorang kritikus sastra. Bila kita baca Kitab Sirahnya dari riwayat Ibnu Hisyam, beliau kerap memberi komentar pada sajak para sahabat Nabi: "ini baitnya tertukar. Ini diksinya janggal, kemungkinan ditambah oleh orang lain...."
X
Mulai hari ini. Belilah sebuah buku puisi. Dari seorang penyair. Bacalah pelan-pelan, dan bukalah kamus besar bahasa kita.
Mulai hari ini, berhenti anggap puisimu bagus, dan belajarlah adab kepada puisi dan dunia sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar