Rabu, 15 April 2020

Mental Set Seorang Instruktur (2)

Untuk Instruktur Kalimantan Selatan


Assalamu alaikum, instruktur. Malam ini saya akan sampaikan seputar mental set. Hal-hal yang berkaitan dengan loyalitas kita kepada gerakan ini.


Sebelum itu, mari berpikir. Apa itu dauroh? Mengapa kita harus mengajak orang berangkat dauroh? Mengapa orang tak hendak berangkat dauroh?



Mengapa di KAMMI menggunakan sistem dauroh?


Mengapa orang berbondong-bondong masuk ke dalam jamaah ini, lalu mengapa pula ada sekelompok orang keluar dari kammi?


Instruktur. Saat antum mengasesmen pada momen ekspektasi kelas; ada hal penting yang ditulis sebagai harapan semua orang, pada DM 1. Harapan itu adalah:

"Ana ingin mengenal islam, ana ingin berjuang untuk islam, ana ingin bergerak di barisan islam."

Maka, orang-orang itu dengan penuh harap, mencoba menyerap apa yang ditawarkan oleh imat pada saat dauroh. Mereka mencoba membandingkan antara gaya penyampaian, susunan acara, gerak gerik panitia. Semua akan berujung pada satu kesimpulan akhir:


Apakah saya akan bergabung ke dalam kammi?


*
Lalu, ada sebagian dari mereka, jawabannya adalah Ya. Mereka menganggap, kammi menjawab kebutuhan mereka tentang islam.


Mereka percaya bahwa kammi mampu menjaga amalan ibadah mereka. Mereka percaya bahwa kammi mampu menjaga salat mereka. Puasa mereka. Bacaan Al-Qur'an mereka. Dan lain sebagainya.



Lantas; dauroh demi dauroh diadakan, dan merekapun lebih intens lagi berinteraksi dengan instruktur sebagai sumber ilmu primer dalam dauroh.

Mereka, memahami kammi dari dauroh. Di antara mereka, ada yang memandang dauroh sebagai masjid. Satu-satunya tempat mereka salat berjamaah tanpa terlambat.


Ada di antara mereka yang memandang dauroh sebagai tempat mabit: tempat mereka salat qiyamul lail sambil meneteskan air mata.

Instruktur sekalian. Demi menjawab kebutuhan orang atas dauroh semacam itu; dibuatlah Manhaj Pengaderan. Dibuatlah serangkaian Indeks Jatidiri Kader (IJDK). Dibuatlah berbagai macam standar dauroh:

Bahwa dauroh adalah soal hijab yang dijaga. Bahwa dauroh adalah soal hapalan wajib yang mesti disetor. Bahwa seakan-akan engkau memasuki tempat dauroh sebagaimana memasuki masjid. Kau buka alas kakimu. Kau buka jaketmu yang terlalu mencolok.

Kau tahan tertawamu yang tak perlu. Kau tahan urusan sindir menyindir. Kau tahan dendammu kepada para pengurus lain. Sebab engkau sedang memasuki sebuah tempat ibadah. Ya, sebuah tempat ibadah, bernama dauroh!


Demi memastikan dauroh sebagai tempat datangnya ampunan Allah dan berkah itulah; korps ini dibuat. Demi menjaga agar nama Allahlah yang disebut dalam dauroh, maka dibuat khusus sebuah dauroh mencetak instruktur. TFI namanya.


Itu sebabnya, untuk datang TFI, haruslah seorang itu AB 2. Bukan, bukan masalah pencapaian bacaan yang setinggi langit; pergerakan yang progresif, atau soal buku-buku tebal yang mampu ia habiskan dalam sepekan.

Tapi soal kualitas akidah dan keimanan yang memang, dibatasi oleh standar AB 2. Bahwa dia harus punya hapalan sekian. Bahwa dia harus paham fikih salat. Bahwa dia harus paham fikih muamalah sehari-hari.


Bahwa dia harus paham fikih prioritas. Dia harus hafal dua juz Al-Qur'an. Dia harus pula punya kebiasaan qiyamul-lail.


Bila tidak; bila IJDK instruktur saja tak terkontrol, maka jangan harap di dalam dauroh ampunan akan turun dan berkah akan datang.


*

Akhi, ukhti sekalian instruktur Kalimantan Selatan.


Ana pernah datang ke sebuah dauroh. Jauh di pelosok kota. Dua hari perjalanan dari Jakarta. Sesampainya di sana, ternyata para pemateri akhirnya membatalkan kedatangan. Walhasil, saya mengisi sebagian besar materi selama empat hari.

Di sana; termasuk ketua KAMMDA, pengurus daerah hanya empat orang dan semuanya akhwat. Kuat. Hebat.


Mereka menyelenggarakan semuanya: cari penginapan, cari pemateri, hingga merangkap semua perangkat. Tak ada satupun keluhan di sana. Tak ada sedikitpun kejengahan kepada mereka yang tak hadir.


Tapi bukan itu yang mau saya ceritakan. Di hari kedua dauroh, sekretariat yang mereka pinjam dari seorang ustadz, ternyata terjual. Sang Ustadz memang menjualnya. Akan tetapi, pembelinya memaksa untuk mengisi rumah di malam itu.


Apa yang terjadi? Mereka berempat mengosongkan sekretariat. Tanpa mengeluh. Mereka meninggalkan lokasi dauroh; dan "mengungsikan" barang-barang kammda ke rumah kos mereka masing-masing.

Saya akhirnya menghandle hari kedua hingga usai dauroh. Tapi saya bahagia. Mereka tak sama sekali mengeluh tentang kejadian itu.


*
Akhi, ukhti, instruktur sekalian. Ini semua soal bagaimana kita mendengar panggilan dakwah itu.


Saat semua orang memilih pergi, ternyata antum dipilih oleh Allah untuk beringan kaki dan datang ke dauroh.


Saat semua orang ditahan Allah bahkan untuk menjawab panggilan dauroh; antum dipilih oleh Allah untuk menjadi instruktur.



Berbahagialah. Dan syukuri saja, dengan memastikan bahwa di dalam daurih:

Ibadah masih terjaga. Nama Allah masih disebut, dan ukhuwwah masihlah utuh.


Tak perlu menyindir mereka yang tak menjawab. Tak perlu membatin mereka yang tak datang.


sebab, pahala dauroh ini memang hadiah khusus untuk mereka yang datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar