1
Akar dari segala bahasa, adalah tanda. Tanda-tanda itu dapat hadir di mana saja, menyimbolkan apa saja. Tetapi, selain tanda yang dikeluarkan oleh manusia, tak ada tanda yang dikeluarkan untuk berbohong dan sia-sia.
Mendung; adalah tanda atau bahasa langit akan datangnya hujan. Merah senja, adalah tanda malam akan menjelang. Sebuah dahan dipatahkan, lalu berbunyi "krek!" adalah bahasa bahwa ia telah patah.
2
Segala tanda-tanda bunyi, yang kita saksikan di alam, tidak melalui mulut manusia bukanlah tanda bahasa yang sia-sia. Tidak jahat, tidak pula baik menurut sesuatu pihak. Tidak berdusta, tidak pula memaksa. Segala bunyi bahasa yang kita dengar dari mulut manusia, dapat digunakan oleh nafsunya untuk memanipulasi orang lain.
Puisi sebagai sebuah gejala bahasa manusia, sudah tentu mengandung kotoran itu. Ia mengandung nois, ia mengandung kebohongan, ia mengandung ketidakjujuran. Akan tetapi, dapat juga ia menjadi puisi yang jujur, yang baik, yang alami.
4
Alam tak akan pernah berbohong. Kejujurannya itu mengakibatkan ia menjadi indah. Alam, adalah makhluk Allah yang berbahasa dengan hanya bunyi yang ia perlukan. Tak akan pernah dahan patah berbunyi sebagai raungan gunung meletus. Tak akan mau gemulung ombak bersuara sebagai angin yang menjangkiti rumpun bambu.
Saat kita menulis puisi, kebohongan-kebohongan hiperbola terus kita tulis atas kesepian yang tak seberapa, atas cinta yang tak indah-indah amat, atau rindu yang sebetulnya biasa saja.
5
Dengan begitu, sahabat, tulislah puisi yang alami. Puisi yang hanya melambangkan bagi sesuatu yang benar-benar diperlukan. Puisi yang tak pernah berbohong.
Tulislah puisi yang akan dibacakan di surga, kelak, saat engkau, penyair, telah memasukinya. Puisi itu, "la yasma'una fiha laghwa wa la kizzaba", tidak ada di surga itu kita akan mendengar perkataan sia-sia dan dusta.
6
Puisi itu, adalah puisi-puisi yang cermat membahasai apa yang perlu dibahasai. Segala perangkat keindahan, pada dasarnya hanyalah jalan pintas untuk memperindah bahasa puisi. Majas, kias, rima, irama. Itu semua hanya alat keindahan.
Tetapi, inti dari segala puisi, inti dari segala bahasa, adalah makna. Apa yang dilambangkannya. Kesepian apa yang dilambangkannya.
7
Barangkali kita terbiasa menulis omong kosong yang kita beri rima agar indah, atau juga kebohongan yang dipatut-patutkan dengan kata-kata arkais.
Itulah fungsi agama pada penyair. Mengembalikan puisinya pada kejernihan bahasa; mengembalikan bahasanya pada semurni-murninya tanda. Tanpa niatan memalsukan. Sebagaimana dahan patah, akan berbunyi sebagaimana dahan patah. Tak akan dahan patah, sampai hati memalsukan bunyinya.
8
Jujurlah. Agar puisi-puisi itu dibaca lagi di surga di hadapan penyairnya. Tempat yang tak akan dikatakan sesuatu, "illa qilan salaman-salama".
Puisi-puisi yang beruluk salam, yang indah. Sebab bila kejujuran itu tak disampaikan dengan indah, ia akan menjadi kejahatan. Bila keadilan dibahasakan tidak dengan bunyi-bunyi yang tepat, ia akan menjelma kezaliman. Itulah, itulah mengapa manusia mengkristalkan bahasa tuturnya menjadi puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar