Rabu, 15 April 2020

Yusuf Qardhawi dan Dauroh

Suatu hari, Syaikh Yusuf Qardhawi, dalam sebuah catatan keberangkatan daurohnya mengenang saat-saat jamaahnya dibangun.

Ia pergi ke sebuah dauroh di tempat yang jauhnya begitu entah. Biasanya, pihak markas daerah akan memberinya bekal. Tetapi kali ini, tidak. Uang di sakunya, hanya cukup untuk biaya berangkat.

Saat itu, Syaikh Qardhawi muda, yang berusia 20-an tahun, mengira markas daerah yang mengundangnya akan membiayai. Iapun berangkat. Dengan semangat sederhana. Dengan cita-cita yang masih sederhana. Yang tak dikotori hasrat jabat-menjabat, negosiasi biaya politik, apalagi mencari panggung dan lain sebagainya.

Sesampainya di lokasi dauroh, seperti biasa, ia memandu Ikhwah di sana. Ia memandu pembinaan ruhani maupun intelektual. Dan, hari itu, saatnya ia pulang.

Syaikh muda itupun berangkat ke stasiun dengan diantar oleh Ikhwah di sana. Markas daerah itu belum juga memberi bekal pulang. Sementara, uang yang dimiliki syaikh telah habis untuk berangkat dan makan selama perjalanan.

Ternyata, sesampainya di stasiun, sang Syaikh ditinggal. Tanpa dibekali. "Aku tak pernah mengharapkan dibekali atau dibayar," kenang Syaikh berpuluh tahun kemudian.

"Akan tetapi saat itu, aku sangat berharap bisa pulang."

Akhirnya, sang syaikh, pura-pura menetap di stasiun sampai pengantar pergi. Syaikh, mulai berjalan melangkah. Berjalan kaki. Dalam kisahnya itu, saya lupa apakah tertulis 12 mil atau 12 KM. Tetapi, beliau benar-benar berjalan kaki.

"Aku tak melapor ke markas daerah asalku. Akupun tak enak meminta kepada akh pengantar itu." katanya. "Aku malu bila memberatkan orang lain saat berdakwah."

Bahwa, keikhlasan sang syaikh hari itu, yang barangkali membuat nama beliau sampai ke negeri ini. Yang membuat nasihat-nasihat dan buku beliau disampaikan Allah ke tangan kita, puluhan tahun setelah dauroh itu.

Begitulah. Instruktur, saat diminta berangkat, berangkatlah. Alamatkanlah perjalanan pergi dan pulangmu hanya kepada Allah.

Kisah Syaikh Qardhawi ini saya temukan dalam memoarnya. "Kenang-kenanganku Bersama Ikhwanul Muslimin."

Tetapi, sebagaimana itu. Beliau merasa terundang oleh panggilan Allah ke tempat-tempat itu. Tempat umat sedang penuh harap untuk memperbaiki dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar