Rabu, 21 Maret 2012

Mengenal Dasar islam

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh...

بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ


Memahami Tauhid Sebagai Perintah Allah Terbesar

Berkaitan dengan wajibnya seorang hamba mengenal Allah—yakni untuk bisa benar-benar beribadah dengan pemahaman yang benar—maka seorang hamba pun harus mengetahui ibadah apa yang sangat diperintahkan Allah ta’ala kepada hamba-Nya. Perkara tersebut adalah tauhid.

Syaikh At-Tamimi, penulis kitab Ushul Tsalatsah, mendefinisikan tauhid sebagai pengesaan Allah dalah hal ibadah. Makna tauhid sendiri secara umum adalah pengesaan Allah dalam rububiyah, uluhiyah, dan nama serta sifat-sifat Allah. Untuk itu sebagian ulama membagi tauhid menjadi tiga macam, yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Adapun penjelasan masing-masingnya adalah sebagai berikut:

  1. Tauhid rububiyah adalah keyakinan tentang keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah Ta’ala sebagai satu-satunya Pencipta seluruh makhluk, Penguasa dan Pengatur segala urusan alam, Yang memuliakan dan menghinakan, Yang menghidupkan dan mematikan, Yang menjalankan malam dan siang, serta Yang maha kuasa atas segala sesuatu.
  2. Dengan demikian, tauhid rububiyah mencakup keimanan kepada tiga hal, yaitu: (1) beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala secara umum, seperti menciptakan, memberikan rizki, menghidupkan, mematikan, dan lain-lain; (2) beriman kepada qadha dan qadar Allah Ta’ala; (3) beriman kepada keesaan Dzat-Nya.

  3. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam tujuan perbuatan-perbuatan hamba yang dilakukan dalam rangka taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah. Seperti, berdo’a, bernadzar, menyembelih kurban, bertawakkal, bertaubat, dan lain-lain.
  4. Kemurnian tauhid uluhiyah hanya akan diperoleh dengan mewujudkan dua hal mendasar, yaitu: (1) seluruh ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah Ta’ala saja, bukan kepada yang lainnya; (2) dalam pelaksanaan ibadah tersebut harus sesuai dengan syari’at Allah Ta’ala.

  5. Tauhid asma’ wa shifat adalah keyakinan tentang keesaan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya yang terdapat di Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai dengan meingimani makna-makna dan hukum-hukumnya (konsekuens-konsekuensinya).

    Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam tauhid asma’ wa shifat adalah sebagai berikut:

    (1) Harus menetapkan semua nama dan sifat Allah Ta’ala, tidak menafikan (meniadakan) dan tidak pula menolaknya . 

    (2) tidak boleh melampaui batas dengan menamai dan mensifati Allah Ta’ala di luar nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya .  

    (3) tidak menyerupakan nama dan sifat Allah Ta’ala dengan nama dan sifat para makhluk-Nya . 

    (4) tidak boleh (dan tidak memungkinkan) untuk mencari tahu kaifiyah (bagaimananya) dari sifat-sifat Allah tersebut .  

    (5) beribadah kepada Allah Ta’ala sesuai dengan konsekuensi nama dan sifat-Nya.
Keimanan seseorang kepada Allah Ta’ala tidak akan utuh sehingga berkumpul pada diri-Nya ketiga macam tauhid di atas. Tauhid rububiyah seseorang tidak akan berguna sehingga dia ber-tauhid uluhiyah. Sedangkan tauhid uluhiyah seseorang tidak akan lurus sehingga dia bertauhid asma’ wa shifat. Singkatnya, mengenal Allah Ta’ala saja tidaklah cukup kecuali seseorang tersebut benar-benar beribadah hanya kepada-Nya. Sedangkan beribadah kepada Allah Ta’ala tidak akan terwujud dengan benar tanpa mengenal Allah Ta’ala.
Mengenal Allah Sebagai Rabb

Secara bahasa, kata Ar-Rabb bermakna pemelihara. Dari kata Ar-Rabb ini terkandung beberapa makna yang lain semisal Al-Malik (penguasa), Al-Mudabbir (pengatur), Al-Mutasharrif (pengatur)dan Al-Muta’ahhid (pemelihara).

Penulis kitab Ushul Tsalatsah, Syaikh Muhammad At-Tamimi lebih memilih makna Ar-Rabb sebagai pemelihara. Sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab beliau

ربي الله الذي رباني، وربى جميع العالمين بنعمه

“Rabbku adalah Allah yang memeliharaku dan memelihara seluruh alam semesta dengan nikmat-Nya…”
Kata Ar-Rabb juga bermakna ma’bud (sesembahan). Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai manusia, sembahlah Rabb-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” QS. Al-Baqarah: 21)

Mengenai makna Rabb dari ayat di atas, Imam Ibnu Katsir mengatakan:

الخالقُ لهذه الأشياء هو المُسْتَحِقُّ للعبادةِ

“Sang Pencipta segala sesuatu adalah Dzat yang berhak disembah.” Hal ini selaras dengan tujuan diutusnya para Rasul yaitu untuk menyeru kaumnya agar hanya menyembah Allah saja dan tidak menyembah selain-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu’” (QS. An-Nahl: 36)

Mengapa penting bagi kita untuk mengenal Allah sebagai Rabb? Seorang hamba harus mengenal Rabbnya yang Maha Suci lagi Maha Tinggi yang diperoleh melalui kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, baik itu berupa keesaan, nama-nama, maupun sifat-sifat-Nya. Dia adalah Rabb dari segala sesuatu dan Penguasanya, tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Dia dan tidak ada Rabb yang berhak diibadahi, melainkan Dia semata. Oleh karena itu kita wajib mengetahuinya agar kita benar-benar bisa mengabdi kepada-Nya dan dengan pengetahuan yang benar.

Mengenal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
  Mengenal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk suatu kewajiban setelah seorang hamba mengenal Allah subhanahu wa ta’ala. Para ulama mengatakan wajib karena Rasulullah menjadi perantara seorang hamba dengan Rabbnya. Karena hanya melalui Nabi, kita bisa mengetahui dan mengenal syari’at dan hukum-hukum yang telah Allah tetapkan. Bahkan seorang hamba tidak akan mengetahui bagaimana cara beribadah yang benar kepada Allah kecuali melalui wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibadah itu sendiri bisa diterima jika telah memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas karena Allah ta’ala dan mengikuti sunnah Rasulullah.

Beliau adalah Muhammad Bin Abdullah Bin Abdul Muthalib Bin Hasyim. Hasyim berasal dari suku Quraisy dari Arab. Negeri Arab sendiri berasal dari keturunan nabi Isma’il bin Ibrahim Al-Khalil ‘alaihima as-salam.
Selain Muhammad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki banyak nama lain, sebagaimana sabda beliau shallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Jubair Bin Muth’im.
إِنَّ لِى أَسْمَاءً ، أَنَا مُحَمَّد ، وَأَنَا أَحْمَدُ ، وَأَنَا الْمَاحِى الَّذِى يَمْحُو اللَّهُ بِىَ الْكُفْرَ ، وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِى يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِى ، وَأَنَا الْعَاقِبُ

“Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama. Aku Muhammad dan aku Ahmad, aku Al-Maahi (sang penghapus) karena Allah menghapuskan kekafiran dengan diriku. Aku adalah Al-Haasyir karena manusia digiring ke hadapanku dan aku adalah Al-‘Aaqib (sang penghujung).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-‘Aaqib adalah yang tiada lagi nabi setelah beliau. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain di shahih Bukhari.
Nabi shallallahu’alaihi wasallam dilahirkan di Makkah dan tinggal di sana selama 53 tahun, sebelum dan sesudah diutus menjadi nabi. Kemudian hijrah ke Madinah dan menetap selama 10 tahun di sana sampai beliau wafat pada tahun 11 Hijriah.

  • Wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah serta menyebarkan dakwah tauhid di sana selama 10 tahun, dan tatkala Allah menyempurnakan agama Islam dan mencukupkan nikmat-Nya kepada orang-orang mukmin, beliau akhirnya dipanggil menghadap Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mulai sakit di akhir bulan Shafar dan awal bulan Rabi’ul Awwal.
    إِنَّ اللَّهَ خَيَّرَ عَبْدًا بَيْنَ الدُّنْيَا وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ ، فَاخْتَارَ مَا عِنْدَ اللَّهِ
Sesungguhnya ada seorang hamba dari hamba-hamba Allah disuruh memilih di antara dunia dan apa yang ada di sisi Allah, maka ia memilih apa yang ada di sisi Allah.”
  •  
  • يَا أَبَا بَكْرٍ لاَ تَبْكِ ، إِنَّ أَمَنَّ النَّاسِ عَلَىَّ فِى صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبُو بَكْرٍ ، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً مِنْ أُمَّتِى لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ ، وَلَكِنْ أُخُوَّةُ الإِسْلاَمِ وَمَوَدَّتُهُ
Jangan menangis wahai Abu Bakar!” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang paling terpercaya dalam persahabatan dan hartanya bagiku adalah Abu Bakar. Seandainya aku bisa mengambil kekasih selain Tuhanku, maka aku akan menjadikan Abu Bakar (sebagai kekasihku), tetapi ia adalah kekasih dan teman karib dalam Islam.” (HR. Bukhari)
    Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian memerintahkan Abu Bakar untuk shalat mengimami kaum muslimin. Dan pada hari Senin, dua belas atau tiga belas Rabi’ul Awwal tahun kesebelas hijriah, panggilan Allah pun tiba. Beliau akhirnya meninggal pada hari itu. Kaum muslimin pun dilanda kegoncangan dan kegelisahan.
    Abu Bakar kemudian naik mimbar lalu memuji Allah dan berkhutbah,
      مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ
    “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Dan barangsiapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah selalu hidup, tidak mengalami kematian.” Kemudian Abu Bakar pun membacakan ayat,

      { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ إِلَى الشَّاكِرِينَ }
    Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?”(QS. Ali Imran: 144)

      إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
    Sesungguhnya kamu akan mati, dan sesungguhnya mereka akan mati pula.” (QS. Az-Zumar: 30)
      Maka tangis kaum muslimin semakin menjadi-jadi, karena mereka sadar bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar telah meninggal dunia. Jenazah beliau kemudian dimandikan bersama pakaian yang beliau kenakan untuk menghormatinya. Kemudian dikafani dengan tiga helai kain kafan putih suhuli tanpa disertakan di dalamnya baju dan sorbannya.Insya Allah kita lanjutkan..............
      Semoga Allah Ta'ala Merahmati kita semua .... Petunjuk bagi Hamba Allah Ta'ala yang mengikuti AgamaNya....

      Tidak ada komentar:

      Posting Komentar