Jumat, 14 Juli 2023

Resensi: QUEER MENAFSIR: TEOLOGI ISLAM UNTUK RAGAM KETUBUHAN



Judul Buku : Queer Menafsir: Teologi Islam Untuk Ragam Ketubuhan

Pengarang : Amar Alfikar

Penerbit : Gading

Tahun terbit : 2023

Tebal : xiv + 488 halaman 

QRCBN : 62-1359-4583-069


saat ini, penyebaran ideologi pro-LGBTQ mulai berani terang-terangan. Salah satunya, diwujudkan di ranah literasi. Mereka dan para pendukungnya terus berusaha menyajikan bahan literasi yang seakan ilmiah. Salah satunya, ditulis oleh Amar Alfikar, seorang trans yang berasal dari lingkungan pesantren.


Amar Alfikar, untuk sekilas diketahui, terlahir sebagai perempuan, namun bertukar identitas menjadi seorang lelaki dan kini sudah berkeluarga. Di tengah tajamnya perdebatan pro-kontra LGBT, dia menulis buku ini, yang judul utamanya adalah Queer Menafsir. 


Bahasan buku ini dimulai dari kisah Amar Alfikar yang mengenang pembelajarannya dulu di keluarga maupun di pondok pesantren, yang menurutnya amat berat dan tidak memberikannya kebebasan. Lalu, ia teringat kalimat Basmalah yang mengandung nama Ar-Rahim dan Ar-Rahman.


Menurutnya, sifat Ar-Rahim dan Ar-Rahman itulah yang harus jadi dasar dari sikap cinta kasih kepada sesama manusia, termasuk kepada kalangan transpuan dan Queer. Sebab, Allah Ar-Rahman berarti, yang Maha Penyayang dan tidak mendiskreditkan manusia hanya karena orientasi seksualnya berbeda.


Queer sendiri, dalam buku ini, dalam konteks keterasingan atau terdiskriminasinya, disamakan oleh Amar Alfikar dengan kata Ghuraba atau Yang Asing. Hadits Ghuraba yang dipakainya ini, menurutnya juga bisa dilekatkan dalam konteks Queer.


Sekilas, kalau kita baca buku ini, kita akan angguk-anggukkan kepala. Sekilas Islam mengakomodasi kalangan LGBT. Sekilas benar bahwa umat Islam menolak LGBT hanya karena salah paham kepada agamanya sendiri.


Kelemahan terbesar buku ini justru terletak pada, cara penulis untuk melakukan tafsir itu sendiri. Tafsir ayat dan hadits dalam buku ini sangat-sangat serampangan. Penulis tak ragu mencatut, misalnya kitab Al-Ibriz karya KH. Bishri Musthafa untuk membenarkan klaim penerimaan LGBT dalam Islam.


Akan tetapi, justru ironisnya mengabaikan tafsir KH. Bishri sendiri terhadap surat Hud mengenai kisah Nabi Luth ‘alaihissalam, yang mana, sikap KH. Bishri sangat tegas menolak. Ini hanya satu contoh kecil dari kitab tafsir ulama Nusantara. 


Kekacauan lain kita temukan pada tafsir Queer yang diasosiasikan dengan Ghuraba. Queer, berarti “aneh” atau “asing”, dan seringkali mengandung arti “keanehan yang dijauhi orang”. Di masa sekarang, Queer dikatakan juga untuk kelompok orang yang orientasi seksualnya tidak hetero, tetapi homoseksual atau yang memilih membedakan kelaminnya sendiri dari penjenisan lelaki dan perempuan.


Karena “keasingan” inilah, Amar Alfikar menganggap Queer juga adalah yang dimaksud dalam hadits:


“Agama ini bermula dalam keadaan asing, dan kembali dalam keadaan asing pula, maka beruntunglah orang-orang yang asing (Ghuraba)!” 


Padahal, hadits dari Nabi Muhammad ﷺ itu tidak berarti membenarkan pelaku penyimpangan. Bahkan ada sebuah hadits yang tegas sekali mengusir kaum banci dari rumah. Begitu juga dengan ayat-ayat yang berkisah tentang perbuatan kaum Luth dan dosa fakhisyah. 


Saya rasa, kekacauan buku ini tak perlu saya terangkan lebih lanjut. Cukuplah saja dibaca sebagai literasi memahami kaum LGBTQ, dan bagaimana mereka mencoba untuk mempengaruhi umat Islam. Kedepan, saya hanya akan--insyaa Allah--membantah argumen kaum ini terlepas dari tulisan Amar Alfikar.



Selasa, 05 Januari 2021

COVID-19: Sebuah Memoar


Bagian 1


Jumat; dua pekan lalu. Beberapa menit sebelum Salat Jumat, saya terbangun dalam keadaan letih dan sesak. 

Pening sekali kepala saya. Seusai mandi, bersegeralah saya ke masjid jami, menunaikan salat jumat. Seperti biasa:

Bawa sajadah milik sendiri. Hand sanitizer terbekal di saku; dan masker standar medis, yang bukan kain biasa. 

"Tak biasa letihnya," batin saya. Padahal saya sudah tidur cukup lama. Bersama Hamas, adik saya, masjid dituju. Dengan sepeda motor. 

Masjid RW saya masih menerapkan physical distancing, meskipun tak ketat. Saat itu masjid agak penuh, tapi saya dapat di aula utama, dan jarak antar bahu sekitar 15 cm saja. 

Sepulang dari sana, terasa lapar perut saya. Teringat; di rumah ayah  yang berjarak 5 rumah saja dari kediaman saya, saya menyimpan seplastik besar ikan asin. 

Saya bergegas. Plastik itu dibuka. Saya heran. "Tak busuk," padahal sudah cukup lama. "Tak ada aromanya pula, hebat betul boraks bekerja," batin saya lagi.

Dengan riang, saya menggoreng ikan itu. Sesekali, saya terbatuk. Lalu, saya siapkan sambal. Terasi tentu saja saya cari pertama kali. Saya curiga. "Kenapa terasinya juga tak berbau?"

Saya terdiam. Sementara, napas saya memang terasa berat sejak beberapa hari lamanya. Idzni, istri saya, saya ajak bicara. 

"Kamu larang aku tes swab. Tapi, aku kira, aku harus tes hari ini," kata saya. 

"Kenapa?"

"Aku nggak bisa nyium apa-apa," kata saya. "Ini ikan asin, coba cium. Bau nggak?"

"Ya bau lah!" kata dia. "Aku nggak bisa nyium bau apa-apa," kata saya. 

Istri saya tak banyak komentar Tapi kami ambil langkah cepat. Hari itu, kami putuskan. Istri dan anak saya, tetap di rumah ayah. Sementara saya pulang ke rumah sendiri, tanpa mereka. Saya tetapkan untuk isolasi mandiri. 

Halim, saya tatap sejenak. Ingin saya peluk, tapi saya urungkan. "Tidak, bagaimana kalau saya positif?" kata saya dalam hati. 

Sungguh. Keceriaan anak itulah, yang membuat saya tenang menjalani isolasi.

Itulah, hampir 20 hari lalu, terakhir kali saya melihat wajah anak saya secara langsung, dan wajah istri saya tanpa masker.

*

Lama saya mencari layanan swab. Saya tak pernah benar-benar perhatikan pengumuman, bagaimana prosedur pendaftaran, karena saya selalu berpikir: Aku aman.

Tapi saya salah. Allah takdirkan saya harus pontang-panting mencari layanan, karena kesalahan saya sendiri. Akhirnya, hari Selasa, 22 Desember, saya dicatat Puskesmas Jatijajar sebagai suspek. 

Kamis, 24 Desember, napas saya semakin sesak. Rasa pusing tiba-tiba lebih hebat daripada biasanya. Sementara, bersin dan batuk yang menyerang sejak semalam, meninggalkan rasa sakit yang tak wajar. 

Pagi itu, saya berangkat untuk swab. Di Puskesmas. "Jangan ke mana-mana lagi ya, Mas, isolasi di rumah. Setiap hari ada kuesioner kondisi, tolong diisi," titip petugasnya. 

Saya pasrah. Semoga, semoga hasilnya negatif. Sebab, begitu banyak hal yang harus saya kerjakan. Laptop saya tertinggal di kantor; pun pemesanan buku saya, Taman Kehidupan, memasuki tahap kedua.

*

Makin hari; makin berat pula napas saya. Dan herannya, rasa sakit kepala tak hilang berhari-hari itu. Hingga akhirnya, pada hari Senin, melalui whatsApp:

Surat hasil swab datang. Saya, dinyatakan positif. Dan anak istri saya terhitung melalui tracing. 

Sejak surat itu tiba; saya tidak merasa sedih, kaget, atau bingung. Saya sudah siap, karena beberapa dokter yang saya kenal pribadi memang mengatakan besar kemungkinan sejak awal saya sudah positif dengan gejala itu.

Tapi saya masih terpana; betapa akhirnya sebuah berita; virus, yang saya dengar setahun lalu, dari Wuhan, kini benar-benar menyentuh setiap ruang di rumah saya!

Istri saya menelepon. "Kak, gimana asmanya?"

"Aman," kata saya. Belumlah terasa penyakit bawaan sejak saya berusia 4 tahun itu akan ikut bermain-main. Belum ada tanda.

Tapi sejak Senin itu, sungguh, saya merasa sangat lelah dan mengantuk, tanpa melakukan apa-apa. Tanpa sadar, saat saya berkaca, "wah? Kenapa wajah saya kebiruan begini?"

Tapi, Puskesmas tetap menyarankan saya di rumah. Saya memilih ikuti arahan Puskesmas. 

Hari-hari sepi isolasi mandiri, membuat saya agak frustrasi. Saya tak biasa berdiam, menganggur, tanpa kegiatan.

Untunglah, beberapa kitab-kitab sempat saya simpan.

Dua kali sehari istri saya mengantar makanan. Kadang saya berhalusinasi. Saya bingung: ada makanan di sebelah saya, padahal saya tak merasa bukakan pintu yang terkunci. Sejak pagi.

"Nggak kok Kak, tadi kakak yang bukain," katanya, lewat WhatsApp. 

"Ya Allah," batin saya. "Seberat inilah rasanya COVID-19,"

*

Tak semua orang bisa bertahan. Saya bayangkan orang tua dengan dua-tiga penyakit bawaan, seperti asma, diabetes, atau stroke, bagaimana cara mereka bertahan?

Usia saya di bawah 30. Saya masih sangat muda. Tapi, kadang tangan saya bergetar karena lemasnya. Apa yang terjadi dengan orang berumur yang memang sudah lemah?

Suatu pagi Pak RT saya mengantar obat dari Puskesmas. 

Rupanya, Satgas lingkungan saya sudah dikabari. 

Tak lama kemudian, di grup-grup lingkungan rumah, ada broadcast resmi dari RT-RW:

"Mohon ketatkan protokol kesehatan..."

"Pasien positif isolasi mandiri bertambah..."

Saya termangu sebentar menatap layar HP. Biasanya, saya membaca lalu meneruskan broadcast semacam itu, kepada teman-teman yang hendak berkunjung ke rumah.

Tapi kini pengumuman itu justru dimaksudkan untuk saya 

Sementara, lama kelamaan saya tak lagi bisa fokus membaca buku. Saya sangat merasa... Linglung. "Apakah ini happy hipoxia, yang kerap dibilang di berita-berita itu?" batin saya. 

Saya tutup buku lagi. Saya mencari beberapa informasi kesehatan di situs-situs. 

"Pasien COVID-19 dengan comorbid TBC dan asma kemungkinan mengalami happy hipoxia, dan..."

Belum selesai saya membaca potongan kalimat dari sebuah situs, tanpa sadar saya tertidur.

*

Akhir Desember, mungkin 27 atau 28 Desember.

Dada saya terasa semakin berat dan agak sakit. Keterangan positif yang saya umumkan di status WhatsApp mengundang berbagai reaksi. 

"Kenapa tes sih? Udah tau bakal di-COVID-kan!"

"Masih aja percaya sama propaganda pemerintah,"

"Yaelah, dibisnisin itumah sama Faskesnya!"

Saya semakin pening. Maksud saya, agar orang-orang yang mungkin berinteraksi dengan saya segera swab. "Gratis di Puskesmas!" kata saya. 

Tapi, "orang-orang memang senang dengan sesuatu yang mudah terbakar," kata Aan Mansyur dalam puisinya. 

Saya menderita asma sejak kecil, dan saya hafal betul rasanya. Kali ini, sesak ini, sangatlah berbeda dengan asma. Saya memilih percaya dengan dokter. 

Karena saya tak tahu, harus percaya kepada siapa lagi, untuk urusan kesehatan, kalau bukan kepada Nakes?

Tapi saya cukup merasa terbantu. Banyak pula yang mengirim suplemen dan obat, dari berbagai sahabat.

*

29 Desember, 2020. Dimas, sahabat saya, yang selama ini mengurus instagram, dan pemesanan buku, sebelumnya mengabari bahwa buku-buku telah datang dari percetakan dan siap dikirim. 


"Tapi, hasil swab antigen ane kemarin, positif COVID-19, Bang..." katanya. 


Deg. Lengkap, satu tim saya terkena juga. Dimas mengaku baik-baik saja. Gejalanya tak parah. Apakah pengiriman buku harus ditunda?

Untungnya, ia segera menemukan tempat isolasi. Dan tanpa sepengetahuan saya, ternyata alamat pengiriman buku, adalah kantor tempatnya bekerja; bukan rumah kosnya.

Sehingga, Alhamdulillah, ratusan buku itu tetap ada yang bisa mengakses. 

Kami berembuk. Kami putuskan kembali menyewa jasa beberapa orang untuk mengemas dan mengirim ke dua ratus lebih alamat yang telah memesan.

Sedikit lega, hari itu saya bisa istirahat. Sungguh, badan saya terasa pegal. Padahal saya berusaha bergerak dan lakukan berbagai aktivitas.

Menjemur pakaian di teras belakang, atau sekadar menyapu. Tapi, tubuh saya tak kunjung mendapatkan kembali tenaganya.

Menjelang tengah hari saya putuskan untuk tidur lagi. Napas saya terus terasa berat.


*

Hari-hari berlalu. Rasa sakit di kepala belum hilang. Bahkan, saya sudah lupa, ini hari apa? Ini tanggal berapa?

Suatu malam petasan dan kembang api mengoyak udara yang dingin. "Ada apa ini?" kata saya. 

Membuka HP, banyak yang bikin status. Selamat tahun baru, katanya. "Hah? Tahun baru apa?"

Lewat tengah malam, setelah bergelas-gelas air hangat dan paracetamol, saya baru sadar. "Oh ya, ini 31 Desember, besok pagi sudah 1 Januari."

"Ya Allah," kata saya. "Begini ya rasanya".

Sekitar jam tiga pagi saya terbangun. Sengaja menunggu subuh, dalam keadaan agak pening saya cari buku-buku ringan. 

Sayang sekali waktu-waktu uzlah begini tak dipakai untuk membaca. Lagipula, kesibukan pekerjaan memaksa saya mengurangi jatah waktu membaca.

Saya menghindari melihat layar. Beberapa buku besar tentang keislaman saya baca. Tapi pikiran saya kalut. Tak satupun kata-kata itu bisa saya baca dengan jelas; mata saya agak berkunang-kunang.

Dan pikiran saya, seperti hanya bisa bekerja sekian persen. Akhirnya saya ambil saja beberapa buku tipis untuk dibaca di atas pembaringan.

Buku puisi dari Ajip Rosidi, Radhar Panca Dahana, dan beberapa lagi. 

Sebakda subuh itu, hasil swab anak dan istri saya, keluar. "Astaghfirullah," kata saya. "Oh iya ya, kemarin pagi mereka swab." saya kembali lupa peristiwa itu.

Dan yang lebih membuat saya khawatir, Halim, anak saya, dinyatakan positif. Begitu juga dengan ibundanya.

Beruntung mereka dalam keadaan baik-baik saja. Artinya, tanpa gejala. 

Saya bisa tenang sejenak. 

Namun artinya, ayah dan adik-adik saya yang satu rumah dengan mereka, juga masuk dalam tracing. Jadwal swab, didapatkan. 

Ruam-ruam mulai muncul. Kulit saya memerah di beberapa tempat; seperti alergi protein atau... Biduran. 

Tidak terlalu gatal, tapi cukup mengganggu.

Pagi itu, saya tertidur; dan terbangun beberapa saat sebelum Ashar. Astaghfirullah, kata saya lagi. Azan berkumandang. Saya tidak sarapan, sementara lagi-lagi makanan sudah ada di ruang perpustakaan saya.

Segera saya tunaikan dua salat siang itu. 

*

Saya sudah lupa rasanya berbagai makanan. Sepuluh hari itu, hanya asin dan sedikit manis; dan semua makanan terasa seperti kertas basah yang diberi bumbu. 


Saya lupa aroma sabun; aroma apapun yang biasanya mengganggu saya. 


Kaki dan tangan saya lebih sering terasa dingin meskipun tidak habis dari air. Suara saya sangat berat dan perlahan-lahan melirih. 


Akhirnya, sejak 1 Januari itu, saya terbaring saja. Urung mengerjakan banyak hal, urung membaca banyak lembar.


Sebelum saya tertidur lagi; saya sempat siapkan beberapa buku untuk dibaca, kelak, "nanti, saat pusing dan lemasnya hilang deh"


Kitab Al-Madkhul karangan Ibnul Hajj, Adab Fiddin, karangan Imam Ghazali, Ayyuhal Walad, juga Imam Ghazali, itulah tiga kitab tipis yang saya siapkan. 


Sementara, Fiqhus Sirah Syaikh Muhammad Ghazali, Sirah Ibnu Hisyam, dan Tafsir Ibnu Katsir saya tumpuk di dekat sajadah. 


Di HP, telah saya siapkan versi bahasa Arab dari kitab-kitab itu, kecuali tafsir Ibnu Katsir yang memang sudah ada bahasa Arabnya di rak saya. 


"Membaca Ghazali," batin saya, "jangan andalkan terjemahan."


Saya ingin membaca buku-buku itu. Isolasi mandiri inilah saatnya. Tapi kepala saya masih sakit. 


Lalu dalam keadaan sangat pegal, lelah, pusing, dan agak 'keleleran', saya kembali tertidur. Awal tahun yang sungguh kurang menyenangkan.


Kitab Adab Fiddin dan Al-Madkhul, saya taruh di sebelah bantal. Itulah dua benda terakhir yang saya lihat sebelum tidur, hari itu.

*

Dua tahun belakangan, 2019 dan 2020, biasanya saya melalui pergantian tahun di Pontianak, Kalimantan Barat.

2 Januari tahun lalu, saya ada di tepi sungai Kapuas. Salah satu sungai terbesar di Indonesia, hingga kapal-kapal besar pengangkut kayu atau minyak bisa berlalu. 

Rasanya bahagia sekali. Saya bisa pergi ke berbagai tempat; menyaksikan dai-dai yang seperti petani, menyemai kembang-kembang dakwah ini, meskipun banyak orang berusaha menebasnya. 

Tapi, bunga-bunga itu tetaplah tumbuh bersemi. Apapun yang terjadi.

Karena Allahlah yang mempergilirkan musim semi, dari musim dingin yang mencekam. Allahlah yang mengganti orang-orang zalim, dengan orang-orang yang lembut dan penyayang. 

Selepas dari sana, saya bersafari panjang: mengisi berbagai dauroh, di Sumbawa, Lombok, Jakarta, lalu menuju ke Bandung, hanya dalam beberapa hari saja. Tak terkira lelahnya, tapi saya bahagia. Kebahagiaan itu datang dari wajah-wajah para dai yang saya temui. Karena Allah.

Di Bandung itulah saya mendengar, bahwa pandemi, semakin nyata. Sampai di kota saya, Depok, dua kasus pertama.

Dari Bandung itu saya masih harus menuju ke Bandar Lampung, lalu ke Pangkalan Bun. Di penerbangan menuju Pangkalan Bun itu, saya satu seat dengan orang-orang asing. 

Selesai dari sana; pada hari terakhir, saya mengalami kelelahan dan demam tinggi. Tapi, saya abaikan. "Mungkin kelelahan," batin saya. 

Sekembalinya saya ke Depok, pemerintah menetapkan pembatasan kegiatan, tetapi belum PSBB. Yang jelas, sekolah-sekolah diliburkan, lalu berbagai kegiatan kantor, dirumahkan.

Saya mengira, wabah ini akan hilang pada bulan Ramadan. Tetapi tidak. 

Kini, hampir setahun setelah itu; wabah menyentuh rumah saya. Saya harus berpisah sejenak dengan Idzni dan Halim, anak saya. Rasanya luarbiasa. 

Penyakit ini, tak seperti yang tubuh saya kenal. Saya punya penyakit asma yang kerap kambuh; tetapi rasanya COVID ini lain. 

Lemah, kantuk yang sangat berat, pusing yang hampir seminggu tanpa henti, ruam, dan terutama, napas yang juga tak kalah beratnya saya alami. Radang tenggorokan silih berganti dengan batuk yang menyakitkan, tak seperti flu biasa. 

Semoga Allah memulihkan negeri ini. Saya, rindu semuanya.


(Bersambung)


Minggu, 26 Juli 2020

Sebuah Pesan Untuk Ikhwah

Akhirnya, ikhwah, sampailah kita pada hari ini. Ketika kita begitu sukar membedakan, manakah dakwah, manakah hasrat, ambisi, dan cita-cita pribadi semata yang tercampur kedalam kerja-kerja dakwah ini.

Sampai pulalah kita, pada masa-masa saat kepercayaan adalah hal yang paling mudah hilang dari jalan dakwah ini. Kita dipaksa bergantung hanya pada tangan sendiri. Kita dipaksa maklum pada dosa-dosa yang mewabah; yang penyebarannya tak bisa kita hentikan lagi.

Di mana-mana kita dengar orang meratap. Di segala arah, kita mendengar para pejuang kini mengeluh; menjadi orang yang teguh pada filosofi awal barisan ini dirapatkan, rupanya, rasanya sudah sama dengan menggenggam bara api.

Sebuah peristiwa besar mengguncang barisan ini. Sebagian berkata, ini sudah biasa. Sebagian lagi memilih diam. Tetapi, dalam hati semua orang, kita sebenarnya tahu:

Ini berbahaya. Orang sudah mulai tak percaya omong kosong rilis, atau betapa membualnya narasi-narasi undangan berkumpulnya kita, setiap beberapa bulan sekali.

Yang kita rindukan, adalah ketulusan dakwah, dan kejujuran amanah. Kita bosan, ikhwah, menyaksikan diamnya barisan ini pada ketololan dan kezaliman.

Kita bosan, ikhwah, pada orang-orang yang mulai mirip penjual janji yang setiap lima tahun sekali akan mengotori jalan dengan spanduk kampanye. Kita ini, ikhwah, ingin sekadar berdakwah tanpa atribut yang terlalu meriah.

Kita, ikhwah; adalah orang-orang yang berbaris karena percaya, gerakan ini ingin memenangkan islam, bukan memenangkan hasrat pribadi; atau sekadar menunjukkan betapa mahirnya orang perorang, daerah per daerah, ataupun marhalah per marhalah mana saat memimpin dakwah.

Kita percaya, ikhwah, bahwa barisan ini akan bersikap tegas pada kebatilan. Kita, bukanlah pelacur murahan yang dibayar segera setelah jasanya yang menjijikan itu selesai. Kita akan bergerak menyampaikan islam ini, meskipun kemiskinan, kelaparan, dan tekanan terus mengancam.

Yang butuh uang banyak, selalu adalah lambung dan lidah kita. Yang butuh undangan dan pengakuan penguasa selalu adalah kecilnya panggung kita di hadapan manusia.

Dengan atau tanpa barisan kita, ikhwah, Allah akan tetap memenangkan agama ini. Dengan atau tanpa bendera kita, Allah akan mengutus orang-orang yang tidak diam pada kemungkaran karena sudah keracunan harta dari kemungkaran itu, atau kakinya dibebani dengan dosa-dosa besarnya sendiri yang tak ia mintakan taubatnya.

*

Ikhwah, angkatlah kepalamu. Abaikanlah mereka yang menggonggongimu dengan ancaman kelemahan, atau kemiskinan.

Berpalinglah dari mereka yang menuduh, bahwa dakwah butuh biaya. Selalu, sahabat, yang butuh biaya adalah kelaparan kita, atau keinginan kita untuk hidup mewah sebagai pejabat-pejabat kecil di barisan ini.

Berhentilah ingin tahu kegaduhan apa yang muncul akibat racun-racun jabatan itu telah mengotori barisan kita.

Berhentilah ingin tahu kejahatan apa yang diperdebatkan jauh di atas sana. Pulanglah, ikhwah, ke bumi ini, ke tengah jalan panas dan sepi ini.

Ajaklah orang-orang kepada syaksyiyatul islam, kepada manisnya iman yang menyelamatkan kita dari kemurtadan, atau dari kesesatan zaman ini.

Ajaklah orang-orang bukan kepada seteru yang tak berguna, tapi kepada manisnya syahadat, yang membawa kita pada sebuah titik untuk memulai hidup yang baru.

Sebagai mahasiswa muslim, yang berpikir, dan bertindak merdeka.

Berhentilah menagih janji dari mereka yang mengaku mengurus barisan ini. Berjalanlah, peganglah tangan saudaramu, dan jagalah mutaba'ah harian mereka.

Teruslah salat bersama mereka, dan kembalilah puasa bersama mereka. Nasihatilah kembali saf-saf kita untuk bangun malam, dan menepati jumlah ayat yang kerap kita baca.

Bacalah Al-Qur'an kembali bersama mereka, perdengarkan lagi janji-janji Allah untuk menolong kita di saat semuanya menjadi berat. Saat semua orang menuding kita adalah teroris, pendusta, orang gila, atau apa saja agar kita berhenti memanggil orang pada kemenangan islam.

*
Kelambanan, kesenyapan, keheningan, dan kepengecutan, kini nyaris menguasai kita. Kita memasuki masa pandemi.

Di masa ini kita memerlukan kepemimpinan yang jelas. Kita membutuhkan panduan yang detail, tetapi ternyata kegamangan dan sikap diam terlalu jauh merusak barisan ini.

Tetapi, jangan peduli. Engkau, ikhwah, tetap memiliki barisanmu sendiri. Di daerahmu sendiri, di wilayahmu sendiri.

Seharusnya, ikhwah, kita mampu mengajak orang pada syumuliatul islam ini. Kepada manhaj yang sederhana ini. Memang, memang! Harusnya itu tugas yang sedang ribut itu. Harusnya ini kewajiban dari sebuah kepemimpinan.

Mengkaderlah. Ajaklah lagi orang kepada dakwah ini dengan atau tanpa narasi dari atas. Narasi kita, ikhwah, telah dirumuskan sejak kita belum ada di barisan ini.

Narasi itu ada pada prinsip dan paradigma barisan ini. Narasi itu masih terpasang rapi pada kredo dan visi misi barisan ini. Narasi itu bahkan telah dijelaskan di dalam manhaj barisan ini, dengan gamblang dan detailnya.

Mengkaderlah; ajaklah orang memenangkan islam. Ajaklah orang memerangi kebatilan, dan tak perlu peduli pada pertengkaran orang.

Kalau nanti orang menakut-nakutimu dengan kelemahan, atau menahanmu karena ancaman menyusutnya jumlah, atau tak lakunya idealisme dijual di zaman ini:

Berpalinglah. Berpalinglah. Kita tumpas generasi itu di ingatan kita. Kita basmi generasi itu dari percakapan kita.

Dan palingkan saja wajahmu pada generasi baru yang akan datang. Pada generasi yang haus ilmu; yang menemuimu, ikhwah, karena ingin bersalat dalam jamaah, karena ingin berdakwah dalam jamaah.

Palingkan wajahmu pada generasi yang baru ini. Yang mau membersihkan dirinya dengan barisan ini, bukan generasi yang justru mengotori dirinya bahkan saat sedang berdakwah.

Kita, ikhwah, adalah barisan dakwah, bukan barisan politik semata. Kita bukan barisan orang-orang yang suka main-main dengan firman Allah atau sumpah yang kita lakukan setiap kali kepemimpinan berganti.

Pengkhianat, sahabat, selalu akan mengintaimu dari belakang. Sedangkan para pengecut selalu akan membebani langkahmu dengan ketakutan mereka sendiri pada dirinya.


Percayalah pada janji Allah saja. Didiklah generasi itu, ikhwah, yang akan menggantikan kepemimpinan beberapa tahun kedepan.

Kita ubah kepemimpinan yang keracunan, yang lemah, pengecut, pragmatis, dan selalu lapar ini, dengan generasi kepemimpinan yang hanya takut kepada Allah, takzim kepada ulama, dan punya harga diri.

Yakinlah, ikhwah, Allah akan menggantimu dengan barisan lain, jikapun engkau tak lagi mampu menjelaskan siapa dirimu di hadapan musuh Allah.

*

Allah akan menggantimu kalau engkau sudah kikir. Sudah tak mau lagi berpeluh-lelah buat barisan dakwah. Allah akan menggantimu dari jalan dakwah ini, kalau engkau sudah merasa butuh selain Allah, sudah mengajak orang kepada selain Allah, di barisan dakwah ini.

Percayalah, ikhwah, akupun dibuat ragu, dengan apa yang terjadi belakangan ini. Tapi untuk Allah sajalah segala kerja ini, kita sampaikan.

Akupun dibuat menangis, dan terpojok karena kepercayaanku sendiri pada ketulusan dan kesucian sahabat-sahabat seperjuangan. Tetapi Allah akan selalu membuktikan, betapa fananya manusia. Betapa sementaranya manusia.

Kita panggil lagi orang-orang yang sudah berpencar itu kepada Allah saja. Kepada islam saja. Menangislah, menangislah, ratapilah nasib barisan ini.

Mereka yang mampu menangis, adalah orang yang masih memiliki rasa malu kepada Allah, yang selalu bertanya-tanya, sedang berdakwahkah kami ini?

Sedang memperjuangkan Allahkah kami ini?

Sedang menyerukan islamkah kami ini?


Menangislah, ikhwah, menangislah.

Panggil sajalah umat ini kepada kemenangan islam, bukan kepada hawa nafsu yang membuat dakwah tampak sekadar meriah.

Menangislah untuk sebuah barisan yang telah lama tidak memanggil orang membaca Al-Qur'an. Menangislah untuk barisan yang sudah lama tidak melawan musuh-musuh Allah, dan sekadar menjual jasa orasi, berhiaskan takbir, dengan harga murah.

Menangislah untuk perzinaan, homoseksual, dan kejahatan-kejahatan syahwat lain yang mulai merebak, dibiarkan, dan dimaafkan atas nama kekurangan orang.

Menangislah untuk percakapan kita di barisan ini, yang seakan-akan sudah jarang menyebut nama Allah, dan begitu ringan untuk menyebut aib saudara sendiri, atau menagih upah atas "jasa menyerukan orang kepada dakwah ini."

Menangislah, untuk berjalan lebih lama, pada dakwah ini.

Saudaramu,
Amar Ar-Risalah.

Kamis, 25 Juni 2020

Menuju Pembebasan Palestina

BAGIAN I
Sudah 1400 tahun lamanya, anakku, arus pergerakan dunia islam selalu dimulai dari arah barat. Selalu dimulai tempat matahari terbenam ke arah matahari terbit. Dari Barat, menuju Timur. Dari Afrika dan Timur Tengah menuju negeri kita, Indonesia namanya. 
Saat ini, anakku, sebagian besar ulama telah mengatakan Indonesia kita ini akan menjadi pusat baru gerakan islam. Maka, anakku, akan ada arus baru yang menjungkir balikkan dunia islam. 
Arus akan berputar. Arus akan berbalik. Dari Indonesia, di Timur, akan menuju ke Barat, mengejar matahari ke tempat terbenamnya, di Palestina.
Surat ini, anakku, aku tulis saat semua orang telah menyerah dan mengubur mimpinya. Saat semua orang telah meletakkan senjatanya dan memilih menaruh saja hidupnya pada kenyataan yang sebenarnya masih bisa mereka ubah dan mereka hadapi. 
Surat ini, anakku, adalah gambar kecil atas kunci-kunci pintu Masjidil Aqsha yang berhasil ayahmu temukan dalam pengembaraannya. Mimpi-mimpinya terlalu besar buat tubuhnya yang kecil. Tapi mimpi itu tak pernah boleh mati. Mimpi ini, adalah mimpi keluargamu. 
*
Keluargamu, akan terlibat untuk membebaskan Palestina. Untuk ketiga kalinya. Menjadi orang yang melanjutkan Umar bin Khattab dan Shalahuddin Al-Ayyubi. 
Telah hampir 80 tahun Baitul Maqdis dikuasai oleh Israel. Selain saudara-saudaramu di HAMAS, belum ada lagi muslim yang sedemikian berani membebaskan Palestina. Mereka mampu; tetapi dikalahkan oleh ketergantungannya kepada musuh-musuh islam.
Didiklah dirimu untuk bersikap keras kepada musuh. Jangan biarkan ada hadiah atau fasilitas musuhmu yang kaunikmati. Jangan biarkan dirimu punya alasan berterimakasih kepada musuh; meskipun kelaparan nyaris membunuhmu.
Kemiskinan, anakku, tidak pernah ada. Allah ciptakan untuk keluarga kita kekayaan atau kecukupan. Kemiskinan adalah bisikan setan yang membuat hatimu selalu merasa tidak cukup dan ingin memiliki apa yang tidak ditakdirkan Allah ada padamu.
Jangan ampuni kelemahan, anakku, kalau hanya muncul dari orang-orang yang memilih memaklumi kelelahan sebelum berjuang, atau kesakitan karena percobaan-percobaan melawan penindasan.
Tumbuhlah sebagai paku-pakuan di sela batuan; di sela dinding bangunan. Engkau mampu, engkau mampu; tetapi pikiranmu sendiri mungkin dikuasai oleh sejenis setan bernama pemakluman dan menyerah.
*
Di Asia Tenggara, anakku, peta dunia islam memang seakan-akan terputus dari sentral dunia Islam di Timur Tengah. Jalur panjang itu dipotong oleh negara-negara Asia Selatan dan Asia Tengah yang belum islam, tapi kunci pertama yang ayahmu temukan untuk membebaskan palestina, adalah kunci yang sama yang dirintis oleh Buya Hamka dan Muhammad Natsir, rahimahullah.
Kunci itu, adalah persatuan umat islam tiga negara besar melayu. Negara itu adalah Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Untuk satukan tiga negara besar itu engka perlu membedah apa saja yang menjadi elemenn-elemennya. Kondisi equilibrium dari empat elemen fitrah sebuah peradaban sebagaimana yang ada dalam kisah Thalut harus ada.
Keempat elemen fitrah itu adalah, Al-Maal atau harta, kekuatan politik berupa gerbong atau partai atau lokus kekuatan, poros keilmuan, serta al-Jismi atau militer. Semuanya harus ada di tanganmu, sebagai pucuk suara umat. Modal kita di empat negara ini sangatlah cukup. 
*
Ketika kunci-kunci persatuan 3 bangsa Islam di Asia Tenggara ini berhasil dibuka, maka target selanjutnya adalah membuka segel jalan yang panjang dan lapang menuju Timur Tengah. 
Di sekeliling tiga negara melayu islam ini, ada dua sarang laba-laba besar. Trans Pacific Partnership yang membelah Asia Tenggara dari utara, dari Jepang ke Australia, serta One Belt One Road Initiative yang membelah Asia Tenggara kita ini dari Barat ke Timur. Lewat Sumatera menuju Papua. 
Dua hal ini, anakku, menyekat kita dari persatuan islam dan juga dari sesama negara muslim lain. Kita disandera secara ekonomi. Dan mustahil mengharapkan pemerintah saja. Dua sarang laba-laba itu memang hanya menyekat secara ekonomi, tapi punya dampak besar secara politik dan militer. 
Anakku, sebuah jalur dagang selalu akan diiringi dengan perjanjian kerjasama negara-negara yang dilewatinya. Baik itu sebagai negara yang menitipkan barangnya di jalur itu, atau sebagai negara yang menjadi bandar tempat berakhirnya barang-barang itu.
Kini, semua negara islam memusatkan perjanjian dagang, militer, dan politiknya pada salah satu di antara dua laba-laba besar itu. Cina, atau Amerika.
*
Anakku, sebagai umat yang  baru nanti, persatuan tiga negara melayu—bila memang berhasil kita ciptakan—akan menghadapi kunci selanjutnya. Kunci itu, adalah kunci kekuatan ekonomi di pusat konflik Timur Tengah.
Kekuatan ekonomi itu, adalah ekonomi minyak. Saudi, Qatar, dan Iran adalah porosnya. Tiga negara itu berlainan pandangan politik. Mereka saling bertempur di medan perang. 
Kekuatan ekonomi minyak, anakku, selalu menjadi ciri khas negara yang miskin sumber daya agraris. Mereka tak punya laut yang kaya. Mereka tak punya hutan. Mereka tak punya makanan yang cukup. 
Sementara kekuatan ekonomi Melayu, ditunjang banyak sektor sehingga lebih stabil. Selain juga minyak. Kita punya jutaan hektar hasil bumi yang segar. Tabiat politik Asia Tenggara lebih ramah, sementara ekonomi minyak memaksa negara timur tengah bertabiat kasar karena tak punya sumber pemasukan lain selain minyak.
Inilah kunci kedua yang ayahmu temukan, anakku, kau harus memecah, atau memanfaatkan poros ekonomi minyak itu, dan jangan pernah tegak berdiri pada satu kekuatan ekonomi saja. Era minyak akan segera berganti. Mesin selalu akan menemukan bahan bakar baru.
Sementara perut orang akan selalu lapar. Ketelanjangan, selalu akan perlu ditutup. Itulah sumber kekuatan ekonomi Melayu dari jaman pertama manusia mendarat di negeri ini!
*
Anakku, di sekeliling Masjidil Aqsha, ada tiga kunci besar. Tiga kunci ini harus kau buka satu persatu. 
Kunci pertama. Kalau kau perhatikan peta. Kunci itu ada dii daratan Syam. Saat ini, daratan Syam masih dikuasai oleh Syi’ah dan Ahlusunnah yang tidak berpihak dengan Palestina.
Kunci pertama ini dipegang oleh Suriah, Jordania, dan Lebanon. Sementara, untuk membuka kunci pertama ini, engkau harus waspada pada negara-negara Asia Tengah yang mengelilingi mereka. Afghanistan, Iran, Turkmenistan, dan Azerbaijan. 
Jalur perdagangan dari negeri kita, anakku, yang didaratkan ke Asia, selalu melewati negeri-negeri itu. Engkau panjangkan tanganmu untuk membangun jalur itu, lurus menuju Baitul Maqdis. 
Tiga negara yang melingkari Palestina itu, yang mayoritas dikuasai Syi’ah, harus kau buat satu kepentingan dulu denganmu. Kalau mereka tak dapat kau ajak bicara, maka kuasailah mereka. Ubahlah cita-cita mereka.
Mereka diganggu dengan khawarij ISIS dan juga dengan Syi’ah yang begitu mencengkram umat islam di sana. Lakukanlah sesuatu dengan Syi’ah itu. Kau mulailah dari Iran. Dari Iran, kau pasang kakimu baik-baik di Afghanistan. Buatlah tiga negara cincin Palestina itu tak punya pilihan selain ikut membebaskan Palestina. 
Israel, anakku, tetap akan merasa aman selama tiga negara cincin itu masih sibuk dengan urusan Sunni-Syiah. Tetap Israel akan merasa aman bila pertempuran masih terjadi dengan sesama muslim belaka di Syam itu.
Syaikh Yusuf Qardhawi, atau Syaikh Mustafa Siba’I, anakku, pernah mencoba cara lain. Cara itu, adalah mendamaikan antara Sunni dengan Syi’ah dengan memanfaatkan ketokohan mereka, sekaligus besarnya pengaruh fatwa.
Tetapi mereka belum berhasil. Ijtihad mereka dan hasilnya memberikan gambaran padamu, bahwa Syi’ah memang bukan bagian dari kita. Bahkan, seribu tahun lalu, Shalahuddin Al-Ayyubi memulai pembebasan ini dengan menghancurkan Syiah di Mesir. 
Jangan engkau anggap remeh. Syiah telah menjadi kekuatan yang cukup besar. Mereka tak akan tingal diam dengan barisan kita yang utuh, kuat, dan besar. 
*
Kunci kedua. Anakku, dari Mesir dan Arab Saudilah, kunci ini akan kau dapatkan. Kunci keduamu ini masih ada dalam bayang-bayang Amerika. Bisnis perang dan minyak, masih menjadi isu utama. Anakku, Imam Hasan Al-Banna pernah mencoba membuka kunci Mesir ini tetapi belum berhasil.
Begitu juga dalam Sembilan puluh tahun usia gerakan Ikhwanul Muslimin, saat Presiden Mohammad Mursi yang saleh berkuasa; beliau belum berhasil. Sunatullah kekuasaannya masih belum dipenuhi. 
Di Mesir, anakku, ada Perbatasan Rafah. Perbatasan teraman dan terbebas untuk engkau menjaga bagian selatan dan barat Baitul Maqdis. Negara-negara islam di Afrika akan masuk melalui pintu ini. Kalau engkau ingin buka pintu Rafah ini, maka lakukan, lakukan sesuatu dengan Mesir!
Dulu, anakku, di zaman Shalahuddin Al-Ayyubi, berkuasa rezim Syi’ah, dinasti Fathimiyyah di Mesir. Shalahuddin merobek-robek rezim ini karena memang sekat yang dipasang begitu kuat, dan juga, kapan saja kau bisa dikhianati dari belakang bila pintu ini tak jadi milikmu.
Begitu juga dalam peristiwa Naksah. Perang Enam Hari, yang berlangsung tahun enampuluhan, Mesirah kunci kekalahan negara-negara Islam melawan Israel. 
Sementara Saudi, anakku, menunggu niat baik rakyatnya sendiri untuk bergerak. Kau tak bisa berharap banyak; tapi kau jangan menyulut peperangan apapun dengan Haramain, karena mereka, cepat atau lambat, akan berubah.
Kenyamanan palsu mereka yang dijaga dengan kekerasan,  lama kelamaan akan membuat generasi muda mereka sadar, ada yang tak beres di negeri mereka. 
Dari Pintu Rafah, anakku, pasukan besar dan logistic akan masuk, kelak, saat perang besar itu benar-benar terjadi.
*
Kunci ketiga, anakku, aku temukan di Laut Marmara. Kunci ini, tampaknya hanya melalui Turki saja bisa dibuka. Aku belumlah lagi melihat potensi kekuatan lain yang mana yang dapat membuka kunci ini.
Saat catatan ini ditulis, anakku, tahun-tahun terakhir Erdogan berkuasa, ada dalam kondisi sulit. Tak ada jaminan pada tahun-tahun kedepan kendaraan AKP, Saadet, dan lain sebagainya akan mampu memenangkan pertarungan di dalam Turki, atau juga melawan teroris komunis YPG.
Saat ini, militer turkipun masih bergantung pada kekuatan militer negara-negara Atlantik Utara, NATO. Bahkan, anakku, secara ekonomi, belitan One Belt One Road Initiative masih membelit Turki. 
Hari ini, sebuah rel kereta raksasa, dari Cina menuju London, membelah dunia ini melewati Turki. Tepatnya, di Kocaeli. Kalau engkau bisa melakukan sesuatu pada Turki, maka laba-laba besar Cina ini bisa kau pangkas.
Cina membutuhkan Turki. Tapi keterikatan Turki pada Amerika membuat kekuatan dagangnya goyah. Empat hari sebelum catatan ini ditulis, anakku, Turki mulai menggunakan standar mata uang Cina dalam kegiatan ekspor impor mereka.
*
Anakku. Di akhir kekuasaan Erdogan, Turki tampak ingin membangun basis ekonomi baru. Basis dunia islam. Di luar sistem minyak, sistem OBOR, atau juga TPP. Perjanjian dagang Indonesia dengan Turki kini resmi bebas pajak. Tetapi sayang sekali, para pedagang dan petani negeri kita belum merespon Turki sebagaimana merespon Saudi, Amerika, atau Cina. 
Tampaknya, anakku, jaringan pengusaha kita harus diyakinkan agar masuk pada poros baru ini. Sayang sekali waktu Erdogan tinggal sedikit. Sangat sedikit. Anakku, negeri kitalah penentunya.
Kalau gerbang Baitul Maqdis melalui Laut Marmara bisa engkau buka, maka pasukan laut dan bantuan yang besar mampu menjepit Israel. Tinggal selangkah lagi, pukulan akhir, kau mampu membebaskan Israel. 
*
Totalnya, anakku, ada lima kunci yang harus kita pecahkan. Biar ayahmu ulangi kunci-kunci itu: 
  1. Poros islam Asia Tenggara
  2. Pemerdekaan ekonomi islam dari minyak dan dua jaringan laba-laba
  3. Peleburan kepentingan negara-negara di sekeliling Syam
  4. Penyatuan visi antara Mesir dan Arab Saudi
  5. Pembukaan Laut Marmara melalui Turki
Kerahkanlah segala cara, anakku. Gunakanlah segala yang telah kau pelajari dari kepurbaan umat ini; satukan kembali Bahasa umat ini. Jadikan Bahasa Arab sebagai Lingua Franca sebagaimana Khalifah Walid bin Abdul Malik, bangkitkan kembali ekonomi Islam yang dimulai dari jaringan internal setiap negara yang bebas dari bayang-bayang OBOR maupun TPP, atau apa saja.
Lakukan apa saja berdasarkan lima kunci ini, anakku, dan jangan tergesa-gesa untuk membunuh!

BAGIAN II
Anakku. Mulailah pembebasan itu dari keluargamu. Keluargamu, adalah umat di negeri ini. Di tiga negara melayu ini. Kau jangan jadi orang yang melompati negerimu sendiri. Allah menyediakan banteng yang kuat, negara yang kaya, dan penduduk yang ramah di negeri ini. Mulailah dari sini. 
Mulailah, menegakkan pilar pertama dari sebua peradaban. Pilar itu, adalah bagaimana cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Ekonomi. Akhirnya, anakku, Allah memberi ayahmu petunjuk: 
Mengapa, mengapa para ulama di negeri ini, serratus tahun lalu, menyatukan bangsa ini dan membebaskan kita dari para penjajah, dengan kebangkitan ekonomi.
Itulah anakku, satu dari empat fitrah sebuah peradaban. Di mana tempat harta berputar, dan siapa yang mengatur perputaran harta itu, itulah anakku, itulah kepentinganmu di negeri ini, untuk jadi pijakan awalmu ke Palestina.
*
Para ulama, seratus tahun yang lalu, di negeri ini mendirikan Nahdlatut-Tujjar. Kiai Haji Wahab Hasbullah adalah porosnya. Artinya, kebangkitan para saudagar. Hari ini, dari Nahdlatut-Tujjar itu, kita mengenal sebuah gerakan besar. Nahdlatul Ulama namanya.
Nyaris di waktu yang sama, KH. Samanhoedi mendirikan Sarekat Dagang Islam. Poros pedagang Jawa dan akhirnya Muslim dari seluruh Nusantara bersatu melawan Cina, dan lain sebagainya.
Sementara, KH. Ahmad Dahlan, dengan berkah Allah dari Surat Al-Ma’un, mulai membina ekonomi umat. Dituntunnya umat menyatukan kekuatan, dididiknya umat di sekolah-sekolah.
Dari tiga gerakan itulah, sebagian besar gerakan islam di negeri ini mendapatkan tenaga dan semangat membebaskan orang dari penindasan. Semua itu, anakku, ternyata berhasil membebaskan kita dari penjajahan Belanda dan memberikan kita alasan hidup sebagai sebuah bangsa.
*
Di negeri ini, anakku, kalau kau mau segera membuka kunci itu, memang harus dimulai dari Al-Maal. Harta. Bukankah di negeri ini, selalu masalah keadilan harta menjadi alasan revolusi paling praktis?
Setelah engkau tuntas membangkitkan itu, kau bisa keluar dari pagar imajiner bernama TPP dan OBOR Initiative itu. Setelah kau tampil sebagai bangsa yang kuat dan mandiri, kau baru bisa membebaskan negeri lain dari dua sarang laba-laba itu.
Kau tidak membutuhkan apapun yang ditawarkan laba-laba itu padamu. Merekalah yang membutuhkanmu. Mereka akan datang meminta lautmu, meminta gunungmu, meminta isi tanahmu. Mereka akan datang meminta uangmu dengan janji untuk menegakkan kekuasaanmu jauh lebih lama.
Tapi kalau engkau berkuasa karena Allah saja, anakku, maka engkau tak butuh seorang manusiapun untuk berkuasa!
Dari titik inilah, anakku, jalan menuju Palestina terbuka lebar. Sangat-sangat lebar. 
*
Ada satu jalan kecil yang sempit, anakku, tapi jalan ini, dalam dugaan ayahmu, mampu menjadi jalan pintas membangkitkan ekonomi negeri ini. Jalan itu, adalah ekonomi syariah dan ziswaf.
Hari ini, filantropi Islam membuka era baru ekonomi negeri ini. Era ini, adalah era ekonomi syariah. Era zakat. Era infak dan sedekah. 
Anakku, ratusan, bahkan nyaris seribu triliun dapat dikumpulkan hanya dari kekuatan zakat, infak, wakaf, dan sedekah umat ini. Dana itu terpencar-pencar di ratusan lembaga zakat. Bahkan lembaga kafir dan munafik berlomba menadah dana itu karena besarnya sangat luarbiasa.
Kita, anakku, nyaris tidak lagi membutuhkan bank, sebagai ciri ekonomi dunia pasca perang dunia. Kita tak lagi butuh riba untuk menolong orang. Allah, anakku, Allah menepati janjinya di negeri kita. 
Allah akan menumpas riba, dan menyuburkan shadaqah. Allah telah penuhi janjinya, anakku, Allah telah penuhi janjinya!
Ayahmu, wahai Halim, telah menjauhkan dirinya dari bank sejauh-jauhnya. Ayahmu tak pernah membuka rekening apapun. Tak pernah uang ayahmu mengalir melalui bank manapun.
*
Gerakan filantropi islam dan ZISWAF itu, anakku, tinggal sedikit lagi untuk memperbesar jumlah uang berputar di sana dan menjadi oposisi bagi bank yang riba. ZISWAF akan menjadi lawan berat bagi riba.
Kalau engkau mampu menciptakan Baitul Maal sendiri, di mana ratusan triliun itu berputar tanpa melalui bank manapun, engkau tak lagi membutuhkan riba untuk membina negeri ini.
Pada dasarnya, jangan pedang yang kau hunus membebaskan Baitul Maqdis itu mengandung riba sedikitpun. Itu akan memperberat kakimu dan mengaburkan bidikanmu.
*
Di titik lain, anakku, suhu politik islam masihlah berbeda dengan suhu rakyat kebanyakan. Politik islam negeri ini masih menjadi konsumsi intelektual menengah ke atas. Berbeda dengan nasionalisme, marhaenisme, atau gerakan-gerakan bodoh lain yang berhasil menyederhanakan platformnya.
Selalu, anakku, masalahnya, adalah suara yang tak cukup di setiap musim pemilihan. Karena Bahasa yang kita gunakan masihlah Bahasa yang sulit. Bahasa Islam di kampus; bukan Bahasa islam di sawah dan ladang. Bukan Bahasa islam di hutan-hutan dan pertambangan.
Lagipula, para ulama, anakku, masih berpecah belah. Kita baru bisa bersatu kalau para ulama bersatu. Anakku, ulama generasimu dan generasi ayahmu harus bersatu. Itulah kuncinya, agar politik islam muncul dengan karakternya yang khas.
*
Anakku, saat Rasulullah berhijrah ke Madinah, golongan pedagang islam yang diwakili oleh sebagian kaum Muhajirin, pedagang Yahudi yang diwakili empat kabilah Yahudi, dan kaum tani, yang diwakili kaum Anshar serta suku-suku di sekitar Madinah, berhasil disatukan oleh islam.
Berbeda dengan komunis yang mendisrupsi keseimbangan antar elemen sebuah kota; islam justru membuat kerjasama antar kelas dan antar profesi menjadi sangat efektif. Sebuah pasar baru diciptakan oleh Rasulullah, karena pasar yang lama begitu kental dengan ketidakadilan.
Pasar lama itu, anakku, dikuasai Yahudi Madinah. Sementara, dengan kekuatan militer, Rasulullah berhasil menjamin stabilitas keamanan di sekeliling Madinah. Pendidikan terus berjalan, terus berjalan dengan biaya murah di Masjid Nabawi. 
Dengan bersenyawanya semua elemen itu; tanpa embel-embel perjuangan kaum tani, atau hanya persatuan para saudagar, keseimbangan terjadi di Madinah. Hanya kurang dari 20 tahun sejak hijrah terjadi, maka kuda-kuda Jenderal Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mengepung Jerussalem.
*
Penindasan, masih terjadi di negeri ini. Korporat-korporat besar mulai mengendalikan apa yang kita makan. Segala sesuatu di ladang kita dibeli dalam jumlah besar, dan para petani tak lagi punya pilihan ke pasar mana mereka akan menjual.
Lalu, hasil tani itu diolah, diberi kemasan dan merk dagang yang bagus-bagus. Kualitas terbaik dari ladang kita ada di kemasan-kemasan itu. Sementara di pasar rakyat, tinggalah hasil sortiran yang buruk, yang berulat, yang busuk.
Mau tak mau orang akan membeli produk-produk kapitalisme itu. Mau tak mau, orang dipaksa tunduk pada korporasi. Sementara petani, tidak menikmati naik turunnya harga. Mereka dikontrak bertahun-tahun dengan harga tetap; bahkan sebelum benih ditanam, hasilnya telah dibeli. Itu, anakku, diharamkan Allah.
Korporasi-korporasi itu akhirnya menguasai makanan umat islam. Dan tidak semua umat islam punya kecemburuan untuk membeli, atau menolak sebuah barang yang dia tahu apa kaitannya dengan urusan peradaban semacam ini.
*
Anakku. Umat ini membutuhkan cita-cita baru. Yang bukan sekadar menguasai negara lain, bukan sekadar menguasai dunia, bukan sekadar menampilkan diri sebagai pahlawan. Umat ini butuh cita-cita yang bukan sekadar pesanan penguasa agar tampak negara seakan-akan dalam keadaan damai semata.
Akan kutaruh mimpiku ini di mimbar Masjidil Aqsha, anakku, dan tugasmu untuk mengambilnya. Aku bukan siapa-siapa. Karena itu aku bebas menaruh mimpiku di mana saja. 
Akan aku lapangkan jalanmu menuju ke sana. Kalau hari ini, ada orang masih membanggakan nama organisasinya, nama harokah dan mazhabnya, itu tak ada artinya lagi buatku, anakku.
*
Halim anakku! Itulah catatan ayahmu malam ini. Ayahmu adalah pembaca peta. Peselancar angina. Seorang empu yang tahu ke mana arah matahari bergulir, dan seperti apa arus yang akan datang.
Saat fajar itu benar-benar tiba, dan berita besar itu diumumkan, maka aku tahu, kelaurga kita ada di pusat berita besar itu. 
Itulah catatan ayahmu malam ini. Kita, ada di malam yang sangat gelap dan panjang, yang merahasiakan jalan kita dari Baitul Maqdis. Tapi mata ayahmu sudah mampu meihat jalan itu dengan terang!

Minggu, 26 April 2020

Kebinasaan Diktator

1
Suatu hari; dari Masjid Nabawi yang sederhana, tenang, dan menyejukkan itu; orang-orang Yahudi menyaksikkan dari jarak dekat, apa yang dilakukan oleh Rasulullah.

Begitu tegak saf-safnya. Begitu tunduk wajah-wajahnya; begitu lirih tangisnya. Mengalunlah dari dada Rasulullah, ayat-ayat pertama Surat Al-Baqarah, tentang masa lalu leluhur mereka. Saat anugerah Allah; berupa hadirnya Rasulullah Musa, masihlah mengasuh mereka di gurun pasir yang luas.


2
Kenangan tentang suara Rasulullah, langsung dari jarak dekat, sahabat, bukankah itu pengalaman yang bahkan kita cari-cari dalam mimpi di zaman ini? Lalu hari itu, dari lisan Rasulullah berpendarlah dengan lembut, untaian kisah-kisah:

Tentang mereka yang diselamatkan dari kezaliman Firaun. Tentang mereka yang meminta makanan-makanan pasar saat Manna dan Salwa langsung diturunkan dari langit. Tentang "Kami tak akan beriman padamu, sebelum kami lihat Allah dengan jelas!"

3
Dan bertalu-talu suara Rasulullah, susul menyusul menguraikan hukuman apa yang silih berganti menimpa mereka: tentang Tanah Baitul Maqdis yang diharamkan, tentang sebuah gunung yang diangkat di atas kepala mereka sebagai sumpah, juga tentang petir yang menimpa mereka.

Al-Qur'an, yang menetes seperti hujan di subuh hari dari lisan sang Nabi hari itu, barangkali menyejukkan hati mereka. Akan tetapi kesombongan, kedegilan berpikir, dan tebalnya noda hati, bahkan membuat suara Rasulullah tak mampu menembus palung hati mereka.


4
Dari berulangkali mendengar suara Rasulullah itu, hati mereka belum juga terbuka. Malah mereka berkhianat, dalam perang Ahzab. Mereka mencoba membunuh sang Nabi, dan mempermainkan harga barang-barang pokok di Madinah.

Sahabat. Berturut-turut datang kembali hukuman itu; berupa pengusiran dari Madinah, berupa kebinasaan dalam Perang Khaibar, dan seterusnya.

Al-Qur'an yang engkau dengar sekarang, sedang mengajakmu merenung, tentang pola-pola perulangan masa lalu leluhur dan negerimu.


5
Bahwa di masa lalu negeri ini, sahabat, leluhur kita pernah menzalimi para ulama. Beriringan dengan itu, persekutuan leluhur kita dengan komunis; membawa mereka kedalam kehancuran. Lalu pada gilirannya, berkuasa pula leluhur kita yang lain, dan jatuh dengan sebab yang nyaris sama.

Hancurnya ekonomi. Ketidakpercayaan orang pada simbol-simbol dan kebijakan negara. Dan di saat yang sama, leluhur kita juga mendengarkan Al-Qur'an yang sama, yang didengar oleh kaum Yahudi.


6
Kehendak Rakyat Madinah, pada hari-hari saat kaum Yahudi mendengarkan Al-Qur'an, adalah berduyun-duyun kepada islam. Para pemimpin Yahudi dan pemimpin Munafik merasa; rakyat tidak di pihak sang Nabi.

Bahwa rakyat masih bisa ditipu. Pada saat yang sama, rakyat yang muak, berbondong-bondong mencari ideologi baru yang bisa menolong Madinah dari kehancuran. Dari kebodohan Munafik, dari ketidakadilan pasar Yahudi.

Dan jawaban itu, keadilan itu, mereka temukan dalam islam. Islam, menjadi ideologi baru dalam dada mereka.


8
Bahwa, sahabat, hancurnya sebuah kekuasaan yang mapan, selalu diawali dari ketidakpekaan penguasa, pada isi hati rakyatnya.

Andaipun sang penguasa peka, ada dua kemungkinan. Pertama, sang penguasa akan mengikuti isi hati rakyatnya. Atau kedua, mengatur-atur isi hati dan keinginan rakyatnya.

Di saat itulah, siklus munculnya diktator baru yang akan disusul dengan kehancurannya, akan dimulai.


9
Kediktatoran, adalah saat penguasa telah mengetahui zaman akan berubah, kehendak rakyat tidak di pihaknya, dan segala kebijakannya bertentangan dengan keadilan, akan tetapi ia tetap melawan dan mengabaikan semua kenyataan itu.


Itulah yang dimaksud pula, dalam suatu kesimpulan surat Al-Qamar: semua bangsa yang musnah, diawali dengan sikap "kazzabat", mendustakan peringatan.


10
Di negeri ini, peringatan itu telah nyata. Akibat dana-dana asing yang masuk, sejumlah keseimbangan alam dirusak. Sejumlah korban jiwa jatuh.

Akibat ketidakadilan yang menjadi sahabat dekat kita, rakyat merindukan suatu tatanan baru yang mampu mengembalikan keadilan tegak pada tempatnya.

Dan jawaban itu ternyata ditemui rakyat pada islam. Orang berbondong-bondong mengaji. Berbondong-bondong berpegang pada tiang masjid dan melupakan para pemimpin mereka.

Sebagaimana kehancuran kaum Yahudi dan Kaum Quraisy Makkah, bila sikap pendustaan dan kesombongan itu terus dipertontonkan:


Binasalah. Binasalah kediktatoran itu.

Minggu, 19 April 2020

Hari Esok Milik Islam

Suatu hari, dalam pengelanaan panjangnya, Ibnu Khaldun memandangi catatan-catatannya yang berserakan mengenai negeri-negeri.

Ia mencatat puluhan negeri yang usianya nyaris seratus tahun. Ia mencatat bagaimana bangkit dan runtuhnya generasi-generasi saat genap negeri itu memiliki empat generasi.

Generasi pertama; adalah pembangun. Generasi yang menciptakan dasar-dasar dan asas tegaknya bangsa itu. Generasi kedua, adalah yang melanjutkan pembangunan asas tadi.

Generasi ketiga, adalah masa ketika puncak kejayaan bangsa itu diraih. Malang menimpa generasi keempat. Selalu, generasi keempat adalah mereka yang menghancurkan tatanan pikiran yang dibangun oleh generasi pertama hingga ketiga.

Dalam ingatan Ibnu Khaldun pada saat itu membayang dengan jelas; tepat empat generasi setelah Rasulullah, dimulai dari gugurnya Umar bin Abdul Aziz seratus tahun hijrah, islam mencapai masa-masa krisisnya.

Puncaknya adalah: hancurnya dinasti Umayyah, dan bergantinya dengan dinasti Abbasiyah.

Malam itu, pikiran Ibnu Khaldun terus berkelana. Ia membayangkan bagaimana sebuah bangsa didirikan oleh generasi pertama, dan hancur begitu saja pada generasi keempat.

*

Sepanjang zaman, selalu; ideologi negara dan juga peradaban silih berganti menguasai Indonesia. Tepat empat generasi yang lalu, di masa kakek buyut kita, generasi pertama bangsa kita menyusun makna-makna peradaban menjadi sebuah kata: Indonesia merdeka.

Dan dari abu sisa perjuangan perang melawan penjajah itu; generasi pertama kita mengumandangkan lima sila bagi tegaknya asas kebangsaan.

Lalu munculah generasi kedua, yang melanjutkan tradisi pembangunan itu. Yang menghadirkan cara-cara baru membangun negara, setelah asasnya dibentuk, setelah asasnya diyakini secara bulat oleh semua orang.

“Bapak Pembangunan” nama pemimpin generasi ini. Soeharto, sebutannya. Berbagai tanda-tanda kehidupan tengah berjalan disebarkan secara merata. Listrik, jalan raya, dan sungai-sungai.

Sebagai puncaknya, muncullah generasi ketiga. Yang mendobrak gerbang demokrasi. Yang meratakan pembangunan. Yang menjalankan roda hukum yang menjaga amanah-amanah sampai pada tempatnya.

Generasi ini mengawali dengungnya dengan teriakan reformasi. Sebagai anak kandungnya muncullah dakwah kampus dan berbagai komunitas hijrah. Tahun 2000 adalah tonggak perubahan besar-besaran demokrasi di negeri ini.

Pemilu secara langsung diadakan. Di mana-mana rakyat bebas memilih kepala daerahnya.  Orang semakin mudah pergi dari satu kota ke kota lain, karena panjangnya jalan dibangun. Internet, hadir mengubah wajah peradaban negeri ini.

Di hari-hari belakangan ini lahirlah kita. Generasi keempat. Generasi yang dalam ramalan Ibnu Khaldun, barangkali akan menghancurkan sendi-sendi lama bangsa kita. Tetapi bagaimana?

Engkau, sahabat, telah menyaksikan tanda-tandanya. Tegaknya peradaban yang dibangun generasi ketiga itu; dan kini dilanjutkan oleh generasi keempat, tengah menuju kehancuran.

Seiring gegap gempita berita besarnya keuntungan perusahaan-perusahaan yang berbisnis dengan cara baru, yaitu Startup Digital berbasis aplikasi, kita juga melihat betapa kemiskinan terus menggila.

Cara bisnis baru dibuat. Berbasis investasi; dan dengan kualitas pebisnis yang lebih pengecut dari sebelumya: mempekerjakan orang tanpa ikatan yang jelas, dan menyebut mereka sebagai mitra.

Ketika para mitranya diterpa kemiskinan, maka para pebisnis itu akan mengais simpati masyarakat. Masyarakatpun berbondong-bondong menolong mereka. Masyarakat lupa bahwa mereka adalah pekerja yang harusnya jadi tanggungjawab perusahaan.


Muncul lagi jenis bisnis baru. Bisnis pendidikan namanya. Orang mengkapling-kapling ilmu, lalu menjadikannya paket untuk dijual dengan harga mahal. Belum lama ini kita lihat salah satu pebisnis pendidikan itu diangkat menjadi staf khusus presiden, lalu menyalahgunakan jabatannya di masa karantina wabah, untuk menambah besar bisnisnya.

Zaman baru ekonomi yang dijanjikan datang melalui era ekonomi digital, malah menjadi zaman penindasan baru. Menjadi zaman ketika bahkan cara hidup orang diatur-atur oleh perusahaan yang berhasil memaksa negara melegalkan tindakannya itu, Karena besarnya modal yang dimiliki.

Hukum adalah teror jenis baru yang tidak lagi diperkuat dengan senjata; tapi dengan stigma. Hukum terus diciptakan untuk melegalkan kejahatan. Kalau dulu fungsi hukum itu untuk memberikan ketenangan, sekarang untuk melegalkan para pengacau ketertiban.

Negara tak lagi mampu membagi-bagikan dan mengelola tanah, air, udara, dan orang-orang yang ada di dalamnya. Segala sesuatu menjadi daerah teritori korporasi. Keadilan, sebagai satu-satunya kata sifat yang disebut dua kali dalam Pancasila, tidak lagi ada.

Di saat-saat inilah, orang mulai meragukan Indonesia dan Pancasila. Sebuah survey yang dibuat oleh Cyrus pada 2019, jelas menyebutkan bahwa:

13 persen lebih responden yang ditanya, jelas menginginkan tegaknya syariat islam di Indonesia. Di luar itu, ada 29,1 persen orang setuju penerapan perda syariat islam.

Survey lain di tahun yang sama dari LSI yang tak kalah keras; menyebutkan bahwa orang yang pro-pancasila hanya tersisa 75,3 persen dari contoh survey.

Sahabat sekalian. Angka ini tidak main-main. Kita harus memahami bahwa orang mulai tidak percaya kepada Indonesia. Sebabnya sangat jelas; sebagaimana sebab orang tidak percaya kepada Hindia Belanda:

Ketidakadilan adalah dampak umum berjalannya sebuah negara. Ketidak pastian hukum, mencapai titik terendahnya. Kita, rakyat, dibuat biasa dengan permainan kotor politik.

Sementara itu, di kalangan rakyat bawah, negara nyaris tak ada. Harga-harga adalah wewenang tengkulak; sementara jumlah uang yang beredar adalah urusan usaha tangan rakyat sendiri.

Pemilu adalah sejenis permainan lain. Ketika semua orang mengeluarkan uang untuk berkuasa, dan menggunakan kebohongan sebagai alat perjuangan.

Sahabat sekalian. Inilah kita, generasi yang terdampar di era generasi keempat; generasi yang beruntung menyaksikan hancurnya sebuah bangsa. Generasi yang kelak akan dengan gagah berdiri di atas puing-puing generasi sebelumnya yang gagal.

*

Di atas segala kebingungan yang melanda empat generasi ini, ada segolongan orang di setiap generasi yang menyerukan hal yang sama. Mereka tak banyak. Mereka selalu dibasmi.

Mereka selalu berakhir dengan pembunuhan; pemenjaraan, penghilangan, atau rangkaian undang-undang bagi menangkap orang dengan alasan apa saja.

Mereka, adalah orang-orang yang dari zaman ke zaman selalu meneriakkan syariat islam. Mereka adalah orang yang dengan berbagai cara berusaha meyakinkan orang bahwa islam adalah jawaban paling rasional bagi negeri ini.

Pada generasi pertama, para ulama di tubuh NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan Sarekat Islam dengan lantang menyerukan islam sebagai pokok-pokok tegaknya bangsa Indonesia. Sebab islam mampu menyatukan api perjuangan orang melawan penjajahan.

Sebab islam membuat jutaan orang rela mati menghadapi para tentara; meski hanya dengan senjata rumah tangga.

Perjuangan generasi pertama melahirkan kesatuan gerak orang Islam di bawah Masyumi. Mereka bertempur di atas bangunan negara yang baru dibentuk. Di atas parlemen. Melawan fatamorgana Komunisme, dan tipuan bodoh ala nasionalisme.

Apa hasilnya? Kehancuran. Inflasi terjadi; sementara melalui berbagai jejak tulisan yang tertinggal kita tahu: pembunuhan demi pembunuhan terus terjadi. Kekacauan merebak di mana-mana.

Perjuangan generasi kedua disambung pula dengan Dewan Dakwah Islamiyah, Muhammadiyah, NU, dan lain-lain di samping gerakan islam yang sudah ada.

Mereka mesti berlunak hati menghadapi kepemimpinan generasi kedua yang bercorak militer. Dari kampus ke kampus, dari desa ke desa. Mereka berusaha meyakinkan orang bahwa menggunakan jilbab; membaca Al-Qur’an dan kemudian hukum islam:

Adalah cara mencari keadilan dan menuntaskan kezaliman yang terjadi. Akhirnya, generasi kedua tuntas menjalankan tugasnya. Reformasi terjadi. Bangsa kita mencapai kejayaannya. Demokrasi dibuka seluas-luasnya.

Dimensi perjuangan muslim tidak lagi hanya melalui politik; tetapi ke segala penjuru. Orang sudah banjir jilbab. Orang sudah gemar menghafalkan Al-Qur’an. Mulai muncul satu lapisan masyarakat yang gemar membandingkan keadilan dengan panduan islam.

Nahasnya, Pancasila menjadi senjata bagi generasi ketiga. Untuk melegalkan segala kejahatan generasinya. Generasi keempat menyaksikan itu semua dari jarak dekat.

Generasi keempat itu, sahabat, adalah kita. Orang-orang yang lahir di masa generasi ketiga. Orang-orang yang hari ini berusia di bawah tiga puluh tahun, dan sudah tidak lagi mengetahui bagaimana dan untuk apa bangsa ini dibangun.

Kita hanya mengetahui apa yang dilakukan generasi ketiga. Bagi generasi kita, kejahatan-kejahatan generasi ketiga, adalah asosiasi paling mudah bagi makna kata negara.

Sahabat sekalian. Jelas. Generasi kita, adalah generasi perusak yang dijanjikan Ibnu Khaldun itu. Generasi kita, adalah generasi yang disiapkan bagi menghabisi kegagalan-kegagalan generasi pertama hingga  ketiga itu.

*

Hari ini, pada generasi kita; kita jumpai identitas baru, tanda pengenal keislaman baru yang tidak dimiliki oleh orang-orang generasi ketiga:

Pertama. Kita begitu mudah menghafalkan Al-Qur’an.  Generasi kita dipenuhi para penghafal Al-Qur’an. Generasi kita, adalah generasi yang dekat sekali dengan sumber hukum islam. Berbeda dengan generasi sebelumnya.

Kedua. Generasi kita juga disesaki dengan banyaknya  orang yang memahami Bahasa Arab. Kita bukan lagi generasi yang dengan senang hati mempelajari Bahasa inggris agar sukses; atau belajar menyetir agar cepat bekerja.

Kita, generasi keempat, menguasai Bahasa hukum islam. Kita menguasai Bahasa, yang dengan itu keadilan islam ditata dan dibina. Kita mengetahui bagaimana proses islam diakarkan menjadi hukum-hukum dengan sederhana.

Ketiga. Kita bukan lagi generasi yang malu-malu menampilkan islam. Perjuangan generasi kedua dan ketiga untuk menggunakan jilbab; kadang berujung penindasan; atau juga perjuangan mereka mengendap-endap menuju tempat belajar islam; tidak lagi kita alami.

Sebagian besar di antara kita tidak lagi memiliki penghalang berupa keluarga yang belum mengenal islam. Bahkan di beberapa kota, telah jamak orang memilih pemimpin berdasarkan tanda-tanda keislamannya.

Terutama; sekarang islam berubah menjadi merk politik baru. Bila engkau ingin terpilih di kota, maka gunakan identitas islam, meskipun identitas islam itu palsu. Inilah awal roda gigi zaman baru  yang bergulir.

Keempat. Ciri lain yang sekarang kita miliki adalah: islam sebagai pandangan hidup. Kita memilih pemimpin, memilih calon suami atau istri, juga memilih tempat pekerjaan dan tempat belajar ilmu-ilmu, tidak lagi dengan pandangan-pandangan jahiliyah semata.

Kita tidak lagi sekadar memperhitungkan berapa potensi uang yang ada; atau luasnya jaringan. Generasi keempat, sahabat, adalah generasi yang gagah berani menghadapi segala hambatan kemiskinan, kelaparan, dan rasa malu, demi menjaga harga diri islam dalam hatinya.

Kita memilih pemimpin, menyerukan tegaknya hukum, atau juga memilih wakil rakyat dengan pandangan islam. Akhirnya itu menjebak partai paling secular sekalipun untuk menggunakan busana muslim atau tanda-tanda Bahasa islam lain.

Kita menolak atau menerima calon suami, menyelenggarakan keluarga, dan menjaga pergaulan, dengan pandangan hidup islam. Itu suatu gejala, yang dapat kita sebut sebagai fajar shadiq kebangkitan islam..

Sahabat sekalian. Generasi kita telah menunjukkan identitasnya dengan jelas, betapapun ada pihak-pihak yang mencoba menghapusnya. Ciri khas generasi keempat; adalah ciri yang jelas akan menunjukkan datangnya revolusi.

*

Semua pemimpin dari setiap generasi, sahabat, kalau engkau telisik lebih dalam: selalu berusaha menghancurkan islam. Atau bila tidak; mereka masih muslim, punya kasih sayang kepada umat islam, tetapi dikendalikan oleh setan-setan pembenci islam di dalam pemerintahan.

Sejak zaman Belanda, Partai Komunis, Orde Baru dengan LB Moerdani, hingga sekarang di era aktor-aktor non lembaga negara mengendalikan pemerintahan; islam selalu dihancurkan. Islam selalu dipukul, islam selalu diinjak.

Kelihatannya orang akan berkecil hati. Kelihatannya sebagai tukang kebun yang lesu, kita akan kecewa, karena selalu taman bunga islam ini dihancurkan oleh orang-orang yang berpesta di atasnya.

Akan tetapi, sahabat. Kisah itu bukanlah tentang kisah hancurnya islam. Tiga generasi telah mencoba menghancurkan islam selama lebih dari tujuh puluh tahun usia negeri ini.

Atau kalaupun dihitung sejak masa sultan-sultan dunia lama, telah nyaris seribu tahun orang coba menggali dan mencabut islam dari tanah gembur negeri ini.

Tetapi, islam tidak pernah kalah. Islam tidak pernah hancur. Kalau benar generasi pertama hingga generasi ketiga berhasil menghancurkan islam; maka hari ini ciri-ciri islam generasi keempat tak akan pernah ada. Tetapi Allah membongkar semuanya.

Mereka, sahabat, hendak memadamkan cahaya Allah. Tetapi Allah malah mengobarkan lagi cahaya itu, hingga menerangi timur dan barat, meskipun orang-orang ingkar itu tidak suka.

Janji itu telah jelas. Matahari sebentar lagi terbit dari negeri ini. Hari esok adalah milik kita. Milik generasi keempat yang akan berubah menjadi generasi pertama di zamannya. Kita, sahabat, adalah generasi penghancur dunia lama.

Kita adalah generasi yang akan menyusun tatanan baru di atas reruntuhan tatanan lama. Tatanan baru itu jelas bernama islam saja.

Hari esok itu, sahabat, telah jelas. Kita hanya harus tegak berdiri sebagaimana para pahlawan muslim generasi pertama, kedua, dan ketiga di negeri ini telah tegak dengan gagahnya melawan penindasan.

*