Minggu, 19 April 2020

Hari Esok Milik Islam

Suatu hari, dalam pengelanaan panjangnya, Ibnu Khaldun memandangi catatan-catatannya yang berserakan mengenai negeri-negeri.

Ia mencatat puluhan negeri yang usianya nyaris seratus tahun. Ia mencatat bagaimana bangkit dan runtuhnya generasi-generasi saat genap negeri itu memiliki empat generasi.

Generasi pertama; adalah pembangun. Generasi yang menciptakan dasar-dasar dan asas tegaknya bangsa itu. Generasi kedua, adalah yang melanjutkan pembangunan asas tadi.

Generasi ketiga, adalah masa ketika puncak kejayaan bangsa itu diraih. Malang menimpa generasi keempat. Selalu, generasi keempat adalah mereka yang menghancurkan tatanan pikiran yang dibangun oleh generasi pertama hingga ketiga.

Dalam ingatan Ibnu Khaldun pada saat itu membayang dengan jelas; tepat empat generasi setelah Rasulullah, dimulai dari gugurnya Umar bin Abdul Aziz seratus tahun hijrah, islam mencapai masa-masa krisisnya.

Puncaknya adalah: hancurnya dinasti Umayyah, dan bergantinya dengan dinasti Abbasiyah.

Malam itu, pikiran Ibnu Khaldun terus berkelana. Ia membayangkan bagaimana sebuah bangsa didirikan oleh generasi pertama, dan hancur begitu saja pada generasi keempat.

*

Sepanjang zaman, selalu; ideologi negara dan juga peradaban silih berganti menguasai Indonesia. Tepat empat generasi yang lalu, di masa kakek buyut kita, generasi pertama bangsa kita menyusun makna-makna peradaban menjadi sebuah kata: Indonesia merdeka.

Dan dari abu sisa perjuangan perang melawan penjajah itu; generasi pertama kita mengumandangkan lima sila bagi tegaknya asas kebangsaan.

Lalu munculah generasi kedua, yang melanjutkan tradisi pembangunan itu. Yang menghadirkan cara-cara baru membangun negara, setelah asasnya dibentuk, setelah asasnya diyakini secara bulat oleh semua orang.

“Bapak Pembangunan” nama pemimpin generasi ini. Soeharto, sebutannya. Berbagai tanda-tanda kehidupan tengah berjalan disebarkan secara merata. Listrik, jalan raya, dan sungai-sungai.

Sebagai puncaknya, muncullah generasi ketiga. Yang mendobrak gerbang demokrasi. Yang meratakan pembangunan. Yang menjalankan roda hukum yang menjaga amanah-amanah sampai pada tempatnya.

Generasi ini mengawali dengungnya dengan teriakan reformasi. Sebagai anak kandungnya muncullah dakwah kampus dan berbagai komunitas hijrah. Tahun 2000 adalah tonggak perubahan besar-besaran demokrasi di negeri ini.

Pemilu secara langsung diadakan. Di mana-mana rakyat bebas memilih kepala daerahnya.  Orang semakin mudah pergi dari satu kota ke kota lain, karena panjangnya jalan dibangun. Internet, hadir mengubah wajah peradaban negeri ini.

Di hari-hari belakangan ini lahirlah kita. Generasi keempat. Generasi yang dalam ramalan Ibnu Khaldun, barangkali akan menghancurkan sendi-sendi lama bangsa kita. Tetapi bagaimana?

Engkau, sahabat, telah menyaksikan tanda-tandanya. Tegaknya peradaban yang dibangun generasi ketiga itu; dan kini dilanjutkan oleh generasi keempat, tengah menuju kehancuran.

Seiring gegap gempita berita besarnya keuntungan perusahaan-perusahaan yang berbisnis dengan cara baru, yaitu Startup Digital berbasis aplikasi, kita juga melihat betapa kemiskinan terus menggila.

Cara bisnis baru dibuat. Berbasis investasi; dan dengan kualitas pebisnis yang lebih pengecut dari sebelumya: mempekerjakan orang tanpa ikatan yang jelas, dan menyebut mereka sebagai mitra.

Ketika para mitranya diterpa kemiskinan, maka para pebisnis itu akan mengais simpati masyarakat. Masyarakatpun berbondong-bondong menolong mereka. Masyarakat lupa bahwa mereka adalah pekerja yang harusnya jadi tanggungjawab perusahaan.


Muncul lagi jenis bisnis baru. Bisnis pendidikan namanya. Orang mengkapling-kapling ilmu, lalu menjadikannya paket untuk dijual dengan harga mahal. Belum lama ini kita lihat salah satu pebisnis pendidikan itu diangkat menjadi staf khusus presiden, lalu menyalahgunakan jabatannya di masa karantina wabah, untuk menambah besar bisnisnya.

Zaman baru ekonomi yang dijanjikan datang melalui era ekonomi digital, malah menjadi zaman penindasan baru. Menjadi zaman ketika bahkan cara hidup orang diatur-atur oleh perusahaan yang berhasil memaksa negara melegalkan tindakannya itu, Karena besarnya modal yang dimiliki.

Hukum adalah teror jenis baru yang tidak lagi diperkuat dengan senjata; tapi dengan stigma. Hukum terus diciptakan untuk melegalkan kejahatan. Kalau dulu fungsi hukum itu untuk memberikan ketenangan, sekarang untuk melegalkan para pengacau ketertiban.

Negara tak lagi mampu membagi-bagikan dan mengelola tanah, air, udara, dan orang-orang yang ada di dalamnya. Segala sesuatu menjadi daerah teritori korporasi. Keadilan, sebagai satu-satunya kata sifat yang disebut dua kali dalam Pancasila, tidak lagi ada.

Di saat-saat inilah, orang mulai meragukan Indonesia dan Pancasila. Sebuah survey yang dibuat oleh Cyrus pada 2019, jelas menyebutkan bahwa:

13 persen lebih responden yang ditanya, jelas menginginkan tegaknya syariat islam di Indonesia. Di luar itu, ada 29,1 persen orang setuju penerapan perda syariat islam.

Survey lain di tahun yang sama dari LSI yang tak kalah keras; menyebutkan bahwa orang yang pro-pancasila hanya tersisa 75,3 persen dari contoh survey.

Sahabat sekalian. Angka ini tidak main-main. Kita harus memahami bahwa orang mulai tidak percaya kepada Indonesia. Sebabnya sangat jelas; sebagaimana sebab orang tidak percaya kepada Hindia Belanda:

Ketidakadilan adalah dampak umum berjalannya sebuah negara. Ketidak pastian hukum, mencapai titik terendahnya. Kita, rakyat, dibuat biasa dengan permainan kotor politik.

Sementara itu, di kalangan rakyat bawah, negara nyaris tak ada. Harga-harga adalah wewenang tengkulak; sementara jumlah uang yang beredar adalah urusan usaha tangan rakyat sendiri.

Pemilu adalah sejenis permainan lain. Ketika semua orang mengeluarkan uang untuk berkuasa, dan menggunakan kebohongan sebagai alat perjuangan.

Sahabat sekalian. Inilah kita, generasi yang terdampar di era generasi keempat; generasi yang beruntung menyaksikan hancurnya sebuah bangsa. Generasi yang kelak akan dengan gagah berdiri di atas puing-puing generasi sebelumnya yang gagal.

*

Di atas segala kebingungan yang melanda empat generasi ini, ada segolongan orang di setiap generasi yang menyerukan hal yang sama. Mereka tak banyak. Mereka selalu dibasmi.

Mereka selalu berakhir dengan pembunuhan; pemenjaraan, penghilangan, atau rangkaian undang-undang bagi menangkap orang dengan alasan apa saja.

Mereka, adalah orang-orang yang dari zaman ke zaman selalu meneriakkan syariat islam. Mereka adalah orang yang dengan berbagai cara berusaha meyakinkan orang bahwa islam adalah jawaban paling rasional bagi negeri ini.

Pada generasi pertama, para ulama di tubuh NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan Sarekat Islam dengan lantang menyerukan islam sebagai pokok-pokok tegaknya bangsa Indonesia. Sebab islam mampu menyatukan api perjuangan orang melawan penjajahan.

Sebab islam membuat jutaan orang rela mati menghadapi para tentara; meski hanya dengan senjata rumah tangga.

Perjuangan generasi pertama melahirkan kesatuan gerak orang Islam di bawah Masyumi. Mereka bertempur di atas bangunan negara yang baru dibentuk. Di atas parlemen. Melawan fatamorgana Komunisme, dan tipuan bodoh ala nasionalisme.

Apa hasilnya? Kehancuran. Inflasi terjadi; sementara melalui berbagai jejak tulisan yang tertinggal kita tahu: pembunuhan demi pembunuhan terus terjadi. Kekacauan merebak di mana-mana.

Perjuangan generasi kedua disambung pula dengan Dewan Dakwah Islamiyah, Muhammadiyah, NU, dan lain-lain di samping gerakan islam yang sudah ada.

Mereka mesti berlunak hati menghadapi kepemimpinan generasi kedua yang bercorak militer. Dari kampus ke kampus, dari desa ke desa. Mereka berusaha meyakinkan orang bahwa menggunakan jilbab; membaca Al-Qur’an dan kemudian hukum islam:

Adalah cara mencari keadilan dan menuntaskan kezaliman yang terjadi. Akhirnya, generasi kedua tuntas menjalankan tugasnya. Reformasi terjadi. Bangsa kita mencapai kejayaannya. Demokrasi dibuka seluas-luasnya.

Dimensi perjuangan muslim tidak lagi hanya melalui politik; tetapi ke segala penjuru. Orang sudah banjir jilbab. Orang sudah gemar menghafalkan Al-Qur’an. Mulai muncul satu lapisan masyarakat yang gemar membandingkan keadilan dengan panduan islam.

Nahasnya, Pancasila menjadi senjata bagi generasi ketiga. Untuk melegalkan segala kejahatan generasinya. Generasi keempat menyaksikan itu semua dari jarak dekat.

Generasi keempat itu, sahabat, adalah kita. Orang-orang yang lahir di masa generasi ketiga. Orang-orang yang hari ini berusia di bawah tiga puluh tahun, dan sudah tidak lagi mengetahui bagaimana dan untuk apa bangsa ini dibangun.

Kita hanya mengetahui apa yang dilakukan generasi ketiga. Bagi generasi kita, kejahatan-kejahatan generasi ketiga, adalah asosiasi paling mudah bagi makna kata negara.

Sahabat sekalian. Jelas. Generasi kita, adalah generasi perusak yang dijanjikan Ibnu Khaldun itu. Generasi kita, adalah generasi yang disiapkan bagi menghabisi kegagalan-kegagalan generasi pertama hingga  ketiga itu.

*

Hari ini, pada generasi kita; kita jumpai identitas baru, tanda pengenal keislaman baru yang tidak dimiliki oleh orang-orang generasi ketiga:

Pertama. Kita begitu mudah menghafalkan Al-Qur’an.  Generasi kita dipenuhi para penghafal Al-Qur’an. Generasi kita, adalah generasi yang dekat sekali dengan sumber hukum islam. Berbeda dengan generasi sebelumnya.

Kedua. Generasi kita juga disesaki dengan banyaknya  orang yang memahami Bahasa Arab. Kita bukan lagi generasi yang dengan senang hati mempelajari Bahasa inggris agar sukses; atau belajar menyetir agar cepat bekerja.

Kita, generasi keempat, menguasai Bahasa hukum islam. Kita menguasai Bahasa, yang dengan itu keadilan islam ditata dan dibina. Kita mengetahui bagaimana proses islam diakarkan menjadi hukum-hukum dengan sederhana.

Ketiga. Kita bukan lagi generasi yang malu-malu menampilkan islam. Perjuangan generasi kedua dan ketiga untuk menggunakan jilbab; kadang berujung penindasan; atau juga perjuangan mereka mengendap-endap menuju tempat belajar islam; tidak lagi kita alami.

Sebagian besar di antara kita tidak lagi memiliki penghalang berupa keluarga yang belum mengenal islam. Bahkan di beberapa kota, telah jamak orang memilih pemimpin berdasarkan tanda-tanda keislamannya.

Terutama; sekarang islam berubah menjadi merk politik baru. Bila engkau ingin terpilih di kota, maka gunakan identitas islam, meskipun identitas islam itu palsu. Inilah awal roda gigi zaman baru  yang bergulir.

Keempat. Ciri lain yang sekarang kita miliki adalah: islam sebagai pandangan hidup. Kita memilih pemimpin, memilih calon suami atau istri, juga memilih tempat pekerjaan dan tempat belajar ilmu-ilmu, tidak lagi dengan pandangan-pandangan jahiliyah semata.

Kita tidak lagi sekadar memperhitungkan berapa potensi uang yang ada; atau luasnya jaringan. Generasi keempat, sahabat, adalah generasi yang gagah berani menghadapi segala hambatan kemiskinan, kelaparan, dan rasa malu, demi menjaga harga diri islam dalam hatinya.

Kita memilih pemimpin, menyerukan tegaknya hukum, atau juga memilih wakil rakyat dengan pandangan islam. Akhirnya itu menjebak partai paling secular sekalipun untuk menggunakan busana muslim atau tanda-tanda Bahasa islam lain.

Kita menolak atau menerima calon suami, menyelenggarakan keluarga, dan menjaga pergaulan, dengan pandangan hidup islam. Itu suatu gejala, yang dapat kita sebut sebagai fajar shadiq kebangkitan islam..

Sahabat sekalian. Generasi kita telah menunjukkan identitasnya dengan jelas, betapapun ada pihak-pihak yang mencoba menghapusnya. Ciri khas generasi keempat; adalah ciri yang jelas akan menunjukkan datangnya revolusi.

*

Semua pemimpin dari setiap generasi, sahabat, kalau engkau telisik lebih dalam: selalu berusaha menghancurkan islam. Atau bila tidak; mereka masih muslim, punya kasih sayang kepada umat islam, tetapi dikendalikan oleh setan-setan pembenci islam di dalam pemerintahan.

Sejak zaman Belanda, Partai Komunis, Orde Baru dengan LB Moerdani, hingga sekarang di era aktor-aktor non lembaga negara mengendalikan pemerintahan; islam selalu dihancurkan. Islam selalu dipukul, islam selalu diinjak.

Kelihatannya orang akan berkecil hati. Kelihatannya sebagai tukang kebun yang lesu, kita akan kecewa, karena selalu taman bunga islam ini dihancurkan oleh orang-orang yang berpesta di atasnya.

Akan tetapi, sahabat. Kisah itu bukanlah tentang kisah hancurnya islam. Tiga generasi telah mencoba menghancurkan islam selama lebih dari tujuh puluh tahun usia negeri ini.

Atau kalaupun dihitung sejak masa sultan-sultan dunia lama, telah nyaris seribu tahun orang coba menggali dan mencabut islam dari tanah gembur negeri ini.

Tetapi, islam tidak pernah kalah. Islam tidak pernah hancur. Kalau benar generasi pertama hingga generasi ketiga berhasil menghancurkan islam; maka hari ini ciri-ciri islam generasi keempat tak akan pernah ada. Tetapi Allah membongkar semuanya.

Mereka, sahabat, hendak memadamkan cahaya Allah. Tetapi Allah malah mengobarkan lagi cahaya itu, hingga menerangi timur dan barat, meskipun orang-orang ingkar itu tidak suka.

Janji itu telah jelas. Matahari sebentar lagi terbit dari negeri ini. Hari esok adalah milik kita. Milik generasi keempat yang akan berubah menjadi generasi pertama di zamannya. Kita, sahabat, adalah generasi penghancur dunia lama.

Kita adalah generasi yang akan menyusun tatanan baru di atas reruntuhan tatanan lama. Tatanan baru itu jelas bernama islam saja.

Hari esok itu, sahabat, telah jelas. Kita hanya harus tegak berdiri sebagaimana para pahlawan muslim generasi pertama, kedua, dan ketiga di negeri ini telah tegak dengan gagahnya melawan penindasan.

*


2 komentar: