Rabu, 31 Agustus 2016

Gundah Hati Seorang Pria

Pria itu termangu. Tak seorangpun tahu apa yang ia pikirkan. Jenazah korban perang Shiffin begitu besar jumlahnya.
Apakah kenangan demi kenangan terus berebut bicara dalam hatinya?
Berpuluh-puluh tahun lalu; ia adalah pemuda sederhana yang mengikuti agama sepupunya, di kala kecil. Ketika sepupunya itu lari dari kejaran Quraisy dan berhijrah, ialah yang menggantikan tempatnya di pembaringan agar Quraisy menyangka sepupunya itulah yang terbaring: maka ia dipukulidengan hebat.
Satu per satu sahabat-sahabatnya menunjukkan iman dan kepahlawanan. Ia menyaksikan detik demi detik perang melawan kemusyrikan: Badar, Uhud, dan Khaibar.
Ia tak ragu-ragu mengayunkan pedangnya sebab yang dilawannya adalah orang yang musyrik.
Tak lama, sepupunya itu, Rasulullah, meninggal. Dan hari itu, bertahun-tahun setelahnya, ia memegang tampuk tertinggi kaum muslim: Amirul Mu'minin.
Sahabat-sahabat terbaik dan kepercayaannya sudah wafat jauh sebelum ini. Abu Bakar. Umar. Abu Ubaidah. Khalid bin Walid. Utsman bin Affan.
Dan pada masanya, Zubair bin Awwam, Thalhah, dan baru saja, Ammar bin Yasir.
"Seandainya aku mati 20 tahun lalu!" Katanya pada Hasan.
Kenangan-kenangan tentang Makkah dan Madinah yang damai bersama sahabat-sahabatnya, apakah mengganggunya?
Kini dua pasukan besar baru saja menyelesaikan perang di Shiffin, dan yang paling mengganggu, adalah kenyataan bahwa kedua pasukan itu adalah pasukan muslim!
Kini yang ada dihadapannya, sedikit dari orang yang ia kenal, dan mulai generasi kedua Islam menunjukkan perannya: generasi Tabi'in.
Betapa sepi Makkah. Betapa sepi Madinah. Betapa sepi Kufah. Ia menyaksikan fitnah beredar di antara manusia tapi tak bisa berbuat banyak.
Adakah ia merindukan sahabat-sahabat lamanya?
Adakah ia merindukan berlalu lalang di Madinah, dan bertemu sahabat-sahabat yang ia cintai, tanpa fitnah dan dendam sedikitpun, karena Allah?
Adakah ia merindukan kedamaian-kedamaian itu, meskipun kini generasi sudah berganti, dan ia berada di titik puncak pemerintahan?
Pria itu, Ali bin Abi Thalib, radhiallahu 'anh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar