Di tangan saya, novel karya pengarang Turki, Sibel
Eraslan ini sudah menghabiskan waktu empat jam bersama saya. Sesuai janji saya,
ada harga yang harus ditebus untuk membacanya. Sebuah catatan pembacaan.
Catatan kecil saja. buat yang meminjamkan buku ini dengan sepenuh hati.
Jangan anggap ini sebuah kritik ilmiah, kritik post
modern, atau sebuah tafsir atas kisah nabi. Ini murni adalah sebuah
interpretasi dan cara saya menghargai pekerjaan tangan Sibel Eraslan, dan
membacanya dengan sepenuh hati.
Buku ini adalah bagian dari serial 4 wanita penghuni
surga sebagaimana yang digambarkan dalam sebuah hadits sahih. Maryam, Asiyah,
Khadijah, dan Fathimah. Diterjemahkan dengan baik dari bahasa Turki pada 2013,
publik Indonesia menyambut dengan baik kehadiran novel ini.
Khadijah. Ibunda Kaum Muslimin. Ia menempati tempat
khusus dalam hati Nabi kita. Darinya, Nabi mendapatkan keturunan dan hingga
kini masih lestari nasabnya. Akan tetapi, sebagaimana diakui para sejarawan,
literatur maupun tradisi lisan pada masa sebelum hijrah atau kenabian
Rasulullah di Makkah, terbilang langka. Kelangkaan ini disebabkan berbagai hal.
Akan tetapi, bukan berarti hal ini tidak mungkin
dicari. Upaya-upaya untuk menebak dan mengisi ruang kosong dalam sejarah Nabi
inilah yang kemudian merangsang banyak penulis orientalis maupun muslim untuk
merekaulang kisah Nabi.
Saya kira, di ruang kosong inilah Sibel Eraslan
maupun pengarang lainnya bermain. Menjadi novelis memang seperti detektif.
Ketika ada suatu kejadian, misalnya Nabi menikahi Khadijah, maka imajinasi kita
berjalan. Siapakah penghulunya? Bagaimana suasana pestanya? Bagaimana sambutan
orang-orang Makkah di sana?
Khusus mengenai Ibunda Khadijah, literatur tentang
beliau cukup terbatas kecuali yang dituturkan oleh Nabi sendiri dan beberapa
orang. Sirah Ibnu Hisyam cukup lengkap mengulas tentang sosok beliau, akan
tetapi dirasa masih kurang sebagai data sejarah.
Persoalan mengangkat kisah Rasulullah menjadi sebuah
karya fiksi, atau kemudian para sahabat dan sahabiyahnya, merupakan persoalan
yang tidak gampang. Salah interpretasi akan berakibat serius pada hal-hal fikih
atau motif jihad. Apalagi, jika kita terpancing menulis sesuatu yang tidak
jelas kejadiannya terkait dengan diri Rasulullah.
Husain Haikal pernah mendapatkan ulasan cukup keras
dari Dr. Akram Dhiya’ Al-Umari. Karyanya, Hayatu Muhammad, dianggap terlalu
berusaha menarik garis tengah antara ulasan cendekiawan non muslim terhadap
kisah-kisah Rasulullah dengan penjelasan para ulama, utamanya dalam kisah-kisah
pernikahan maupun peperangan Rasulullah. Di sinilah, kehati-hatian menjadi
penting.
Tapi, lupakan tulisan saya di atas. Saya rasa
terlalu panjang jika kita membahas itu sekarang. Terus bagaimana dengan novel
Khadijah ini? lagi-lagi, mungkin Khadijah sendiri tak pernah membayangkan
dirinya akan menjadi tokoh sebuah novel.
Ketika sosok Sahabiyah dijadikan tokoh sebuah novel,
miss interpretation akan sangat mungkin terjadi. Terutama, hal-hal apa yang mendasari
motif tindakan beliau, atau mekanisme pertahanan ego yang bagaimana yang
terjadi dalam benak beliau sehingga mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang
ditulis dalam novel ini.
Nah, interpretasi atas tindakan Khadijah dalam novel
ini menarik, dan dari titik inilah kita akan membahasnya. Ya ampun. Sebetulnya
saya hendak menulis paragraf di atas tetapi butuh sekian paragraf untuk
mencapainya.
*
Tanpa mengecilkan peran Makkah, sebelum membahas
tokoh Khadijah dan Rasulullah, saya hendak mengupas apa yang ditulis Sibel pada halaman 5.
“Mekah, yang pada waktu itu merupakan pusat
(esperantos) baik bagi agama Yahudi, Nasrani, penyembah api, pagan, maupun
hanafi, seolah merupakan batu akik di
tengah-tengah cincin jalur perdagangan India, Eropa, dan Laut Mediterania...”
Dan sambungan pada halaman 7, “...Namun yang terjadi
sepanjang sejarah, Yaman dan Mekah adalah dua negara yang selalu bersaing."
Lalu ungkapan pada halaman yang sama, “Musim panas
sudah datang, kapan kita akan mengunjungi rumah peristirahatan yang ada di
Yaman?”
Di halaman-halaman awal, dengan mudah kita temukan
anakroni. Makkah, memang dijuluki Ibu Segala Kota. Akan tetapi ia tetaplah
sebuah kota kecil. Pusat kaum Yahudi dan Nasrani bukan di Makkah, tetapi di
Syam. Nasrani Arab berkumpul di Yaman atau Najran di Utara, sedangkan Yahudi
Arab yang terdiri dari Banu Nadhir, Quraidhah, Ghatafan, Qainuqa’, dan
lain-lain menetap di Yastrib dan Thaif.
Itu sebabnya, dalam kegiatan dakwah periode Makiyah,
kita tidak menjumpai interaksi dengan kaum Yahudi ataupun Nasrani dengan intens
sebagaimana yang ditemui di Madinah. Justru, itu pula sebabnya kaum Quraiys
tidak akrab dengan nabi baru atau ciri-ciri yang menyertainya, berbeda dengan
masyarakat Anshar di Makkah yang mendengar itu dari tetangganya, kaum Yahudi.
Makkah bukanlah suatu kota dengan pemerintahan, yang
kemudian punya motif tertentu untuk bersaing dengan kekuatan besar di
sekitarnya. Sebagai kota dagang, justru kepentingan para saudagar di Makkah
adalah membuat kota ini aman dan bersahabat untuk semua kubu. Jelas, kala itu,
sebagaimana diabadikan dalam Surat Rum ayat pertama hingga kedua, persaingan
Kerajaan Romawi dengan Persia begitu kuat dan Makkah bukanlah sesuatu yang bisa
disebut.
Penggambaran Makkah yang kurang hati-hati dari
Sibel, mungkin bisa dibandingkan dengan bab-bab awal yang dituliskan Ibnu
Hisyam dalam sirohnya, yang cukup menggambarkan struktur sosial serta
puisi-puisi yang menjelaskan keadaan Makkah pada waktu itu.
Justru dalam surat Al-Quraiys, dikatakan Allah
“mengamankan mereka dari rasa takut.” Ini dimaksudkan, posisi Makkah yang tidak
bersaing dengan kota manapun. Justru Yamanpun tidak berpikir menguasai Makkah,
karena itu akan menghambat dan memutus mata rantai perdagangan antar negara.
Sebab, Makkah justru hidup dari kebebasannya untuk
melintasi wilayah Persia maupun Romawi yang sedang bertikai sebagai agen dari
komoditas daerah-daerah yang dilintasinya itu. tak heran, leluhur Rasulullah,
para putera Qushay dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, memiliki perjanjian langsung
dengan Kisra, Kaisar Romawi, Najasyi Habasyah, dan penguasa Yaman sekaligus,
padahal daerah itu sedang bertikai.
Dalam surat Al-Quraisy pula kita akan menjumpai
istilah Ilaf dan Rihlah. Dr. Akram Dhiya’ Al-Umari dalam Shahih Sirah Nabawiyah
menjelaskan, bahwa rihlah atau perjalanan dagang Quraisy ini, jika musim panas
datang mereka akan berangkat ke utara, bukan ke selatan. Sebab, utara lebih
sejuk. Mereka akan ke selatan jika musim dingin tiba, dan menikmati udara
selatan yang lebih hangat.
Mungkin saja keluarga Khadijah dalam cerita ini
memiliki rumah peristirahatan di Yaman. Akan tetapi, musim panas bukanlah motif
yang tepat untuk menginterpretasikan keinginan mereka pergi ke Yaman. Anakroni
mengenai Makkah ini saya rasa sudah kelewat jauh dari gambaran seharusnya.
Secara khusus, kita akan menjumpai gambaran yang
lebih aneh lagi mengenai Makkah dan penghuninya. Digambarkan pada
halaman-halaman selanjutnya bahwa rumah Khadijah adalah sebuah bangunan dengan
pagar dan balkon, dan disinari banyak lampu pada malam hari.
Ini cukup aneh. Sebab tidak seperti gambaran di
negara lain, rumah di Makkah pada zaman Rasul tidak memiliki pagar, atau tidak
umum berpagar. Apalagi, dalam gambaran ini, seolah-olah Makkah adalah tempat
penuh pohon dan taman di mana-mana. Padahal, Makkah sendiri adalah daerah
kering dan tidak memiliki kesuburan untuk bisa ditumbuhi tanaman tertentu.
Nanti, pada halaman lain kita akan jumpai
keanehan-keanehan yang berlanjut. Misalnya, digambarkan bahwa disajikan “anggur
yang baru dipetik” di hadapan Khadijah. Pertanyaannya, di Makkah, adakah kebun
anggur? Jika ada, kenapa tidak ada profesi petani dan pekebun di Makkah?
Gambaran yang aneh tentang Makkah ini sebetulnya
mungkin hadir untuk melengkapi (memperindah) gubahan-gubahan puitik dalam
paragraf novel ini. akan tetapi, demikianlah karya sastra. Ia butuh rasa
puitika tetapi juga bergerak dalam batas keanggunan sebuah kenyataan.
*
Setelah sedikit mengulas mengenai gambaran kota
Makkah, kita akan mengulas mengenai diri pribadi Khadijah. Mengenai betapa
lemahnya Khadijah digambarkan dalam novel ini, saya jadi membayangkan beliau
radhiallahu ‘anh adalah sosok akhwat masa kini yang galaunya setengah mati
sampai keujung dunia ketiban bulan dan tenggelam di lautan api.
Misalnya, adegan yang cukup mengganggu didapati pada
halaman 114. “Pernahkah dirinya menuliskan dalam buku hariannya beberapa hal
untuk ia yakinkan sendiri di dalam jiwanya, seperti:...” mana ada buku harian
di zaman itu? Makkah, adalah tempat yang nirbaca dan nir aksara. Dan, tentu
jelas bahwa kala itu—silakan cari dalam literatur sirah yang ada—kertas
bukanlah barang umum di Makkah.
Pada halaman-halaman selanjutnya, asesoris untuk
mempersedih diri Khadijah dipenuhi anakroni yang melintasi ruang dan waktu
terlalu parah. “Seolah malaikat penjaga hari kiamat telah meniup
sangkakalanya...” mereka yang mempelajari ilmu tafsir sekaligus sirah akan
memahami, konsep kiamat, dan kemudian penjelasannya sebagai hari kehancuran
total dan kebangkitan, tidaklah dikenal dalam lingkungan Makkah Jahiliyah.
Bahkan istilah Shuur sebagai terompet tanduk yang
ditiup Israfil bagi kiamat tiba, adalah istilah yang asing sehingga banyak
muslim yang bertanya pada Rasulullah. Sekarang, bahkan Khadijah sudah
mempertanyakannya sebelum Muhammad diutus menjadi Nabi!
“Keadaan seperti inilah yang menjadikan sekujur
tubuhnya menggigil bagai terjangkit malaria....” ini lebih parah. Sebab, bahkan
penyakit khas tropis dibayangkan oleh benak Khadijah. Perumpamaan semacam ini
tidak akan muncul, jika benak Khadijah turut direkonstruksi dan dekonstruksi
secara normal dan dewasa.
Gagal rekonstruksi. Sebut saja begitu. Hal ini
kemudian ditambah lagi dalam paragraf puitik yang bagi saya terlalu
berbuih-buih, dalam halaman 124. “Bagi Khadijah, kini setiap benda telah
menuliskan huruf Mim. Setiap benih bunga mawar yang ia tanam di taman, setiap
anak biri-biri yang lahir di peternakannya, burung-burung yang sering hinggap
di pekarangannya, ikan-ikan yang ada di kolam taman rumahnya, di sisirnya yang
terbuat dari gading, di cincinnya yang terbuat dari permata, di penanya....”
Paragraf di atas menampilkan kecelakaan rekonstruksi
benak tokoh, yang bahkan lahir di jazirah Arab yang panas. Gambaran semacam di
atas, kemungkinannya sangat kecil untuk dibayangkan di benak seorang puteri
Quraisy yang biasa menghadapi gunung pasir dan kekeringan. Bahkan, dari mana
gambaran kolam taman rumahnya, atau benih bunga mawar itu hadir? Makkah adalah
sebuah kota kering yang bersih dari pohonan.
Rekonstruksi benak dan peristiwa mengenai diri
Khadijah lebih jauh lagi kerancuannya dalam bab Hikayat Sebuah Kendi, pada
halaman 180 hingga akhir bab. Khadijah digambarkan sebagai perempuan yang
begitu larut dalam kerinduannya. Bertentangan dengan kedewasaan yang telah ia
pertunjukkan selama ini.
Meski niat pengarang mungkin untuk membuat
dekonstruksi, tetapi caranya menggambarkan rindu terlalu kekinian, saya rasa. Apalagi,
puisi yang—digambarkan—digubah Khadijah dalam benaknya, pada halaman 184 hingga
186 untuk menggambarkan kerinduan, tidak match dikatakan sebagai puisi rindu
seorang perempuan dewasa padang pasir. Kita bicara mengenai kota di tengah
lintasan pasir, yang tidak mengenal bunga tulip, buku, bunga serunai, kijang,
bunga teratai, bulan April, dan lain-lain.
Tanpa puisi inipun, gambaran Khadijah yang
hujan-hujanan di balkon rumahnya sudah sangat aneh dan agak sulit dibayangkan. Meski begitu, caranya menempatkan puisi
mengingatkan saya pada buku-buku karangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Rekonstruksi suatu tokoh sejarah menjadi tokoh fiksi
novel, terutama tokoh yang berpengaruh bagi
sebuah agama, bagi saya musti ditempatkan secara adil. Selain
rekonstruksi fisik dan rekonstruksi lingkungan, jelas rekonstruksi benak pikir
begitu penting diperhatikan. Sebab, inilah yang kelak menjadi motif tindakan si
tokoh untuk berbuat dan berbicara. Apa yang dia ingat? Kenapa dia mengingat
itu? bagaimana dia mendapatkan ingatan itu?
Penggambaran ini kiranya juga mengancam pribadi
Khadijah sebagai tokoh utama dalam novel ini. sebab, Sibel membuktikan bahwa
wanita jauh di bawah laki-laki. Ketika wanita diterjang rindu, bahkan mereka
melakukan hal-hal aneh dan mungkin terkesan hiperbol.
*
Yang lebih asik dibahas sebetulnya mengenai
fakta—tepatnya perkiraan sejarah—mengenai usia Khadijah terhadap Tahun Gajah.
Sibel dengan berani menembak angka 15 tahun bagi Khadijah ketika peristiwa ini
terjadi. Tentu dengan—harapan saya—pertimbangan dan perhitungan yang matang.
Al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir menyebutkan
perbedaan yang banyak mengenai kapankah tahun lahir Nabi Muhammad terhadap
Tahun Gajah. Yang jelas, tidak satupun
mengarah pada tepat tahun gajah. Apa sebabnya?
Sebelum masa Hijrah yang menjadi pangkal penanggalan
islam dan Arab oleh Umar bin Khattab, bangsa Arab Quraisy tidak mengenal tahun.
Ini juga yang menjadi kesulitan dalam menetapkan usia berbagai tokoh, termasuk,
usia Khadijah sendiri. Mungkin, Sibel berasumsi begini: usia Nabi ketika
menikah dengan Khadijah, adalah 25. Usia Khadijah yang masyhur, adalah 40.
Maka, ada selisih 15 tahun. Artinya, ketika Tahun Gajah, usia beliau 15 tahun.
Praktis bukan?
Tunggu dulu. Para sejarawan tidak sepakat mengenai
ketepatan Tahun Gajah terhadap kelahiran Rasul disebabkan tidak akuratnya
penanggalan sebelum hijrah. Di tambah lagi, ada perbedaan mengenai usia
Khadijah ketika menikah dengan Nabi, yaitu 40, atau 28 dan dua pendapat ini
sama kuatnya. Ingat, pendapat yang masyhur atau terkenal belum tentu pendapat
yang benar.
Dan spekulasi usia Khadijah adalah 15 tahun saat
terjadinya Tahun Gajah, apalagi menempatkan Khadijah sebagai saksi dari
peristiwa itu, adalah keberanian yang beresiko. Dalam hal ini, kita tidak bisa
berlindung di balik tabir interpretasi sebuah novel yang bisa saja fiksi.
Sebab, sampai hari ini tidak ada kepastian kapankah tahun gajah itu terjadi
dalam penanggalan hijri maupun Masehi.
Akan tetapi, interpretasi cukup menarik ditemukan
pada gambaran bab Kabar Gembira, tepatnya di halaman 170. Pada Makkah
Jahiliyah, memiliki anak laki-laki adalah kebanggaan tak terkira bagi sebuah
keluarga. Apalagi, jika kemudian nama sang ayah bergelar menjadi “Abal Qasim.”
Gambaran Sibel cukup menarik, sebab Nabi Muhammad—sebelum menjadi Rasul—mendapatkan
kebanggaan dengan kelahiran Qasim, putera pertamanya.
Akan tetapi, kisah ini rupanya tak dibiarkan
bertahan lama menjadi keunggulan novel Sibel. Kisah diangkatnya Zaid bin
Haritsah ternyata tidak digarap dengan manis. Ia terburu-buru menggambarkan
Nabi Muhammad begitu saja mengangkat Zaid sebagai anak kandung dan
mengumumkannya di Ka’bah.
Padahal kita tahu, di balik itu ada sebuah kisah
panjang, ketika Zaid, kala itu masih
menjadi seorang budak, dicari oleh ayahnya yang ternyata tidak sengaja menemukannya
sebagai budak di Makkah. Akan tetapi, karena kebaikan Nabi, Zaid menolak
pulang. Dengan peristiwa ini, maka Zaid diangkat sebagai anak dan dikenal
sebagai Zaid bin Muhammad.
Dan kemudian memang, sayang sekali kisah keibuan
Khadijah terhadap Zaid, Ali, maupun anak-anak kandungnya kurang digarap. Justru
Sibel fokus berpepatah petitih dengan kisah cinta yang haru-biru antara
Khadijah dengan diri Muhammad muda. Sayangnya Sibel malah tidak bisa
mengendalikan sisi puitikanya sehingga Khadijah tampak semakin lemah, dan
semakin lemah untuk ukuran perempuan yang bisa menenangkan Rasulullah ketika
menerima tugas dakwah.
Dan justru, keunikann penggambaran—sekaligus
anakroni paling mengesankan—ada pada bab Yang Datang dan Tak Pergi. Pada
halaman 239, dituliskan bahwa seolah rumah Khadijah dan Muhammad adalah sebuah
madrasah. “Ketika kehilangan ayahnya di umur yang masih muda, dia dibesarkan
oleh Khadijah dan Al-Amin. Zubair pun bersama dengan anak-anak lainnya
didaftarkan di madrasah milik Khadijah.”
Saya tidak mengetahui apakah ini salah terjemah,
ataupun memang dibuat seolah-olah kita percaya bahwa di rumah Khadijah ada
sebuah madrasah, atau minimal kegiatannya seperti yang bisa dibayangkan hari
ini: beberapa anak kecil diajar mengaji atau calistung di rumah, setiap habis
maghrib.
Sebab, konsekuensinya serius. Berarti, tak hanya di
rumah Khadijah, maka di rumah-rumah lain ada sekolah serupa. Meskipun gambaran
ini nampaknya berlebihan, ini akan membuat kerancuan dalam rekonstruksi
masyarakat pada masa muda Nabi Muhammad. Gambaran mengenai sekolah ini muncul
lagi pada halaman 242.
Saya sendiri memang tertarik pada suasana rumah Nabi
Muhammad di Makkah. Bagaimana kemudian Zaid, Ali, Fathimah, Ummu Kultsum,
Ruqayyah, dan Zainab dibesarkan bersama dan diajari bermacam hal hingga menjadi
pribadi yang luar biasa.
Perselisihan gambaran Sibel dengan sejarah muncul
lagi terkait dekonstruksinya mengenai kisah tahannuts di Gua Hira. Dari teks
sejarah yang ada, kita tahu bahwa Uzlah dan Tahannuts untuk beribadah adalah
sisa peninggalan Nabi Ibrahim yang masih ada di Makkah pada zaman jahiliyah. Akan tetapi upaya merekonstruksi kisah pertemuan Muhammad dan Khadijah dengan
pelaku tahannuts lain, dan bagaimana interaksi mereka, merupakan gambaran yang
juga menarik, sekaligus berbahaya jika tidak dipikirkan masak-masak.
Utamanya, kisah uzlah ini merupakan kisah yang tidak
umum di tengah masyarakat. Memang sebagian orang Makkah punya tradisi uzlah
akan tetapi mengenai interaksi Khadijah dengan pelaku uzlah lain, tidak bisa
dipertanggungjawabkan.
Kita tetap harus memberikan penilaian adil. Saya
menikmati—dan terutama terhanyut—pada kisah bagaimana dramatisnya perubahan
rumah tangga Rasulullah pasca menerima kenabian. Jelas, pada usia 40, dengan
anak yang sudah dewasa, istri yang sempurna, tanggungjawab sebagai Nabi
menuntut revolusi. Anak-anak Nabi Muhammad yang tadinya adalah kembang, mesti
dihinakan oleh orang musyrik. Khadijah yang tidak pernah membayangkan cobaan
sedemikian kuat datang, mesti bersabar menghadapinya.
Muhammad; yang tadinya seorang yang sangat mulia di
Makkah, menjadi orang paling diburu dan diinginkan kematiannya. Sisi ini,
sangat baik digambarkan oleh Sibel. Betapa Khadijah dan anak-anak perempuan
beliau menghadapi ini semua dengan tabah. Betapa keluarga Muhammad, adalah
keluarga yang luar biasa.
*
Saya kira orang akan bilang, “Berlebihan. Nikmati saja
novel ini sebagai novel.” Bagi saya, inilah cara yang asyik menikmati novel
mengenai orang yang paling kita cintai, sosok Nabi Muhammad. Ketika menulis
mengenai sesuatu atau seorang tokoh yang
ada referensnya dalam segitiga makna Saussure di dunia nyata, bersiaplah
berhadapan dengan logika dan fakta sejarah.
Sebagai sebuah dekonstruksi, Sibel telah berani
menggambarkan yang tersembunyi dari teks-teks mengenai Khadijah dan masa-masa
periode Makkah. Akan tetapi, sisi hiperbol sebuah karya, menjebaknya menggambar
kisah itu keluar batas logika hingga anakroni menumpuk di dalamnya.
Harus sebagai apa kita menghadapi karya Sibel ini?
sebagai novel yang punya elastisitas terhadap penulisan sejarah, atau sebagai
teks interpretasi terhadap siroh Nabawiyah yang kaku dan amat ilmiah?
Sebab lagi-lagi ini kembali pada kebenaran kisah dan
kemudian aspek fikih setelahnya, yang muncul akibat luhurnya posisi kisah Nabi
terhadap agama ini. Sebagaimana diulas oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam Wahyul
Muhammady, para orientalis barat yang mengadakan penelitian terhadap siroh
nabawiyah tenggelam pada interpretasi yang anakroni, seperti menggunakan
standar masa kini untuk masa kerasulan Nabi Muhammad, ataupun mengadakan
kebohongan bagi menafsirkan hukum islam, dengan tujuan melemahkan kita.
Ini kembali pada etika, baik penulis maupun pembaca,
untuk menggambarkan diri pribadi Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Kiranya,
etika semacam ini juga absurd. Kita hanya bisa mengira-ngira motif dan jalan
pikiran tokoh-tokoh sejarah tanpa suatu pembenaran yang pasti. Kita saksikan
bagaimana Husain Haikal mengabadikan perdebatan mengenai kisah Gharaniq yang
menyertai turunnya surat An-Najm, atau seputar baiat Khilafah Abu Bakr
As-Shiddiq. Bagi pembaca Sibel, berhati-hatilah, sekaligus nikmatilah novel
ini.
Sepertinya di awal saya bicara soal mekanisme
pertahanan ego, yang sampai detik ini belum terbahas. Tapi biar saja. ini bukan
skripsi. Ini sebuah apresiasi. Mengenai pertahanan ego, saya rasa penggambaran
Khadijah memang kurang konsisten dan sisi perempuan yang dimiliki Khadijah,
sangat meledak-ledak. Sangat mudah rindu, dan penggambaran patriarkis lain.
Sibel adalah pengarang Turki. Maka caranya menulis,
dirasa lain dari karya Tasaro GK, dalam serial Muhammad 1-3, atau karya-karya
serupa. Perumpamaan yang ada di dalamnya memang segar. Khadijah menjadi sudut
pandang orang kedua pelaku utama yang menyaksikan secara close-up masa awal
Kenabian. Menakjubkan sekali, pengalaman batin wanita ini.
Cara Sibel bercerita memang akhwat banget, tapi saya
rasa aspek sejarah bagi mereka yang berekspektasi lebih, harus diperhatikan.
Dalam novel setebal 388 halaman ini, sesungguhnya kita bisa menulis ringkasan
ceritanya hanya dalam 15 halaman. Sisanya adalah luapan hiperbolik yang kurang
perlu, atau justru, itulah isi novel ini. apa salahnya, bukan.
Kehadiran sosok Berenis, Dujayah, dan lain-lain
merupakan keberanian, dan keindahan tersendiri dari Sibel, yang meskipun
terkesan lepas dari cerita utama, namun memperkaya khazanah novel ini. penokohan
mereka kurang tergarap, memang, karena bayang-bayang penggambaran ego dan id
Khadijah dalam novel ini—mungkin—menghantui dan membebani Sibel.
Untuk ukuran sosok sekaliber Nabi Muhammad, teks
sejarah yang ada terbilang kurang bisa dinikmati kalangan luas. Sejauh ini,
selain upaya dari Husain Haikal dalam Hayatu Muhammad dan KH. Moenawar Chalil
dengan Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, belum ada upaya penulisan sejarah.
Yang ada, penulisan bahan sejarah yang belum dirangkai sebagai bacaan yang
mengasyikkan.
Maka, upaya Sibel ini, termasuk juga Tasaro GK,
patut diapresiasi. Di tengah bacaan tentang siroh yang cenderung berat dan
parsial, hadir novel ini. Kita mungkin hanya kaget dengan keberanian Sibel
menginterpretasi kepribadian Khadijah dari berbagai sisi, namun di sinilah
justru terbuka peluang bahwa: ternyata sejarah Nabi kita sendiri mungkin belum
banyak dibaca. Belum banyak didekonstruksi sebagai kisah yang luarbiasa. Kita
masih menghadapinya sebagai bacaan berat yang tak layak didiskusikan di ruang
santai.
Ratusan kitab siroh sudah ditulis para ulama, dari
yang tidak kronologis sampai yang berupa kitab fikih. Tapi, belum banyak yang
ditulis sebagai sebuah saga, atau sebuah catatan penuh hikmah, agar
bahasa-bahasa itu sampai ke lubuk hati umat islam dengan lebih kuat. agar
anak-anak mencintai nabinya. Agar para ayah dan suami menirunya, tak hanya di
dalam masjid.
Bagaimana jika, dituliskan Nabi sebagai seorang
suami, Nabi sebagai seorang yatim, dan seterusnya: kemudian novel ini, Khadijah
sebagai sosok istri dari laki-laki luar biasa, apa yang ia rasakan, begitulah
interpretasi bermain di ruang sastra.
Lagipula, ini soal selera saja. shalawat, mari kita
panjatkan untuk Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya, shallu ‘alaih!
Daftar Bacaan:
Sibel Eraslan, Khadijah, Kaysa Media, Depok, 2014
Al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir
Sirah Ibnu Hisyam (The Life of Muhammad), terj.
Alfred Guillaume, Oxford University Press, Karachi, 1998.
Silsilah Hadits Sahih, Nashiruddin Al-Albany, Jilid
1-3
Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Husain Haikal
Shahih Sirah Nabawiyah, Dr. Akram Dhiya’ Al-Umari, 2010,
Jakarta, Pustaka As-Sunnah