Pada tanggal 2 April
2012, kelas A hingga E mengunjungi pementasan Opera Batak, yang dilangsungkan
di Gedung 2 FIB Universitas Indonesia. Acara ini berjalan sekitar 3 jam, dari
pukul 13.30 hingga 16.00 WIB. Bertindak sebagai pembawa acara adalah Ibu Titi
Gomo Attas, dan seorang mahasiswa UI jurusan Sastra Indonesia menjadi pemeran
tamu. yang menyeponsori adalah Dewan Kesenian Jakarta, bekerja sama dengan Pusat Latihan Opera Batak atau PLOT.
Teater Opera Batak ini
langsung datang dari Medan, dan sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa Universitas
Negeri Medan. Ada satu orang mahasiswa dari ISI Jogjakarta, dan dimentor oleh
Zulkaedah Harahap, yang bergelar Nai Angkola Saripada Tuan Boru Parungutungut
Namanguhal Opera Batak, dan Alister Nainggolan yang bergelar Ompu Datu Panggual
Tuan Banner Namanguhal Opera Batak.
Pementasan diawali
dengan pemutaran film dokumenter karya Thompson HS yang memenangkan 2
penghargaan nasional di Bali dan Festifal di FE UI. Disutradarai oleh diam
sendiri, ini adalah upaya menyokong teater Opera Batak itu sendiri.
Opera Batak, menurut
Zulkaedah Harahap, sebetulnya berawal dari keprihatinan Tilhang Oberlin Gultom,
yang melihat menipisnya pemahaman dan kepedulian orang Batak sendiri, khususnya
Toba, kepada budaya asli Batak pada 1920an. Maka, untuk mendekatkan kembali
seraya memasyarakatkan budaya ini, dibentuklah grup terdiri dari tiga orang,
diberi nama Tilhang Parhasapi. Awalnya, mereka hanya memainkan musik dengan seruling,
kecapi, dan sejenis alat musik membran khas Batak.
Pada zaman Jepang
mereka berganti nama menjadi Tilhang Batak Hindia Tonil, dan menambah 3
personil lagi. Disini, mereka mengalami pergeseran genre, dari penampilan musik
langsung menjadi semacam teater musikal diselingi komedi khas Batak, dan durasinya
mencapai 2 malam. Pada zaman orde baru,
mereka berganti nama menjadi Tilhang Serindo, dan mencapai puncak keemasan pada
tahun 1970an, dimana muncul puluhan grup Opera Batak.
Mereka mengalami
kemunduran, seperti penuturan Alister sendiri, memiliki 3 sebab utama.
Pertama, faktor
lingkungan ekonomi. Setiap pementasan, mereka mengandalkan pembelian tiket dan
sumbangan dari penonton, seperti saweran dalam budaya sunda. Lama kelamaan,
penonton berkurangdan terdesak oleh media televisi dan kesibukanlain, sehingga
pemasukan untuk membiayai aktor-aktris sebagai profesi menjadi hilang-jika
tidak dapat disebut berkurang-dan beralih kembali menjadi petani. Diakui, pada
beberapa pementasan juag tersangkut masalah birokrasi yang seringkali lebih
mahal dari pendapatan mereka sendiri. Alister sempat memimpin sebuah grup, namun kandas karena masalah ini.
Kedua, timbulnya
kebijakan sekolah formal yang mewajibkan kehadiram sang urid secara kontinu. Siswa
disini, adalah generasi muda dari tetua Opera Batak, sehingga mereka tak dapat
mengikuti mobilisasi teater ini jika ada pementasan. Bukan berarti sekolah itu
penghambat, tetapi ini sebagai faktor tenggelamnya penerus Opera Batak.
Ketiga, terbatasnya
orang-orang yang sanggup dan mau melestarikan Opera Batak ini. Opera Batak,
adalah teater transisi dari teater tradisi lisan menuju teater moderen. Generasi
sekaran lebih tertarik pada teater moderen yang bernuansa sureal dan tekno,
sehingga meninggalkan Opera Batak ini sebagai khasanah budaya.
Dalam usahanya untuk
menggali budaya ini, Tilhang mendalami folklor, yaitu legenda, kisah, dan
keyakinan masyarakat Batak setempat yang menjadi adat. Telah berhasil
diinventarisir dalam bentuk naskah sekitar 150 cerita, seperti Si Jonaha.
Si Jonaha ini,
sebetulnya merupakan tokoh yang ada di setiap daerah, di Sunda kita mengenal
ada Si Kabayan, di Melayu kita kenal Pak Belalang, dan sejenisnya.
Batak sendiri terbagi
menjadi beberapa etnik, seperti Karo, Simalungun, Toba, dan Pakpahan. Berkaitan
dengan ini, sistem aksara Karo yang mengenal huruf Ka, Si Jonaha ini tereja menjadi Jinangka, Si
Jinangka. Dengan beberapa persesuaian maka terejalah menjadi Jonaha. Ia begitu
melegenda, sampai seorang peneliti yang membantu pementasan ini menemukan 73
versi cerita Si Jonaha, tetapi ada satu kerangka yang sama.
Si Jonaha dgambarkan
sebagai pemuda tampan (dalam cerita asli), sudah beristri, dan memiliki kecerdikan
(kalau bukan kelicikan) untuk mengelabui rekan bisnisnya.
Dia ini sebetulnya
personifikasi, wujud dari etos warga Batak yang diharapkan, memiliki kecerdikan
otak dalam berniaga. Dalam sifatnya yang lain, banyak orang mengenalnya sebagai
bijak yang memilii kekuatan magis, mampu merawat tanah hanya dengan memainkan
kecapi. Kita lihat kemiripan ceritanya dengan yang beredar di Sunda, kisah
asalmula Cianjur. Dia tidak hanya memainkan kecapi, tetapi sebetulnya merawat
tanah dan ladang pada malam hari ketika semua orang tertidur pulas.
Masyarakat Batak tempo
dulu memang sangat mengagungkan kekuatan fisik dan harta, sehingga cerita Si
Jonaha atau Jinangka ini cepat populer.
Pentas hari itu dimulai
dengan alunan seruling dan kecapi, berirama cepat namun padu, khas Batak. Lalu tokoh
Amak, yang diperankan Zulkaedah, maju menyanyikan lagu kerinduan kepada Jonaha
yang tidak kembali kerumah, dan dia sendiri mendengar isu Jonaha sudah mati, di
tanah seberang.
Di dusun Amak, sedang
berlangsung pesta muda-mudi namun Jonaha tak jua hadir, bertambahlah gelisah
hati Amak. Satu ketika, datang 2 pemuda, mendengar kesedihan Amak, dan bersedia
membantu, meski dengan imbalan.
Mereka berkelana 3 hari
3 malam mencari Jonaha menuju Samosir, melewati Tigaras. Karena mereka
ketinggalan kapal, akhirnya mereka mencuri perahu milik penduduk setempat.
Sampai disini,
pementasan dipotong dan diselingi dengan musik dan banyolan. Lihat persamaannya
dengan sisipan cerita Punakawan dalam budaya Sunda dan Jawa.
Fragmen cerita
dilanjutkan, dengan 2 pemuda itu bertemu sebuah warung kopi, dan menggali
informasi dari pemilik warung. Si pemilik warung menyatakan Jonaha pembohong,
sebab suatu ketika, seorang juragan bernama Pandorap memberikan hutang kepada
Jonaha, dan ketika tenggat waktu Jonaha mangkir, disambangilah rumah Jonaha
oleh Pandorap.
Sampai disana, Jonaha
mengelabui dengan bertutur kata halus dan mengajak Pandorap berburu dengan
sumpit sakti, yang mampu menembak burung dan melemparnya langsung ke kuali
santan dalam kondisi sudah disiangi. Burung santan, kebetulan adalah kesukaan
Pandorap.
Meski Pandorap merasa
heran, tetapi ia tertarik kepada Sumpit Jonaha ini, dan bersedia membebaskan
hutangnya, ditukar dengan sumpit ini. Tetapi Jonaha bermuslihat, melebihkan “kesaktian”
sumpit, sehingga Pandorap menukarnya dengan 3 batang emas. Yang terjadi
sebenarnya, Jonaha bekerja sama dengan istrinya. Istrinya dari awal telah
menyiapkan burung yang siap dimasak, dan dengan isyarat tertentu ia melemparnya
kedalam kuali.
Jonaha lalu segera
berpindah kearah barat, tutur pemilik warung itu.
Kedua pemuda tadi
segera berjalan menuju barat samosir dan menjumpai seorang pria dan
keluarganya.
Salah satu pemuda itu
memperkenalkan diri, menyebutkan namanya, marahlah si pria, karena ia salah
kira. Ternyata, nama si pemuda sama dengan nama rekan Jonaha yang pernah
mengelabui desa tempat si pria tinggal.
Disini, diselipkan
tokoh pandir, seperti petruk dalam punakawan. Digambarkan menjadi orang dungu,
berpenampilan kampung dan berwajah bodoh.
Akhirnya, lagi-lagi
karena kebutuhan zaman, pementasan diakhiri seperti dipaksakan dipotong untuk
durasi dengan tarian Dimapuli, tarian untuk mengantarkan pulang diiringi lagu
ciptaan Zulkaedah sendiri yang dicampur bahasa Jawa dan Minang.
Dari uraian pementasan
diatas, setidaknya ada beberapa hal yang harus kita perhatikan lebih lanjut
sebagai usaha pelestarian Opera Batak ini.
Pertama, timbul pertanyaan,
apakah usaha pelestarian ini pada akhirnya hanya menjadikan Opera Batak dan
folklor yang ada menjadi artefak hidup, sekedar dihadirkan menjadi pajangan
tanpa mendalami aspek moral yang ada didalamnya? Setiap folklor nusantara
memiliki ciri khas, yaitu adanya pesan moral. Melihat teater lain, seperti
Ketoprak dan Ludruk dari Jawa, Lenong dari Betawi, dan lain-lain, mereka
menjadi populer, lestari hingga sekarang, namun nilainya sebagai pelestari
nilai positif suatu budaya menjadi hilang. Pertunjukan-pertunjukan itu hanya
dipandang sebagai hiburan dan lawakam komedi semata, dan mengarahkan opini
pemirsa bahwa budaya dareah merupakan sesuatu yang lucu.
Kedua, pelestarian Opera
Batak selama ini terpaku pada biaya dari pemerintah daerah Sumatera Utara. Seperti
yang diungkapkan Zulkaedah, pemerintah memberikan dana pelatian setiap tahun
untuk mencetak penerus Opera Batak ini. Apabila hanya tergantung dari
pemerintah, bukankah ini berarti mengesampingkan Opera Batak sebagai lapangan
kerja entertain yang independen?
Dengan kata lain, tidak
akan ada kemajuan! Perkembangan yang terjadi, kalaupun ada, hanyalah
perkembangan yang sifatnya mendukung pemerintah. Pada masa transisi, justru
teater-teater tercipta sebagai alat penangkal propaganda dan pemersatu rakyat
dari penjajah yang kala itu menjadi pemerintah, bahkan hingga era kedua orde.
Kesenian hanyalah alat,
seharusnya kesenian justru menjadi alat untuk menyuarakan isi hati yang mampu
mengingatkan kita tentang perkembangan yang mungkin terjadi di masa depan,
terlepas searah atau tidaknya kita dengan pemerintah.
Lagi-lagi, dibutuhkan
usaha bersama dari segenap elemen masyarakat baik Batak sendiri maupun bangsa
Indonesia secara umum, untuk melestarikan Opera Batak dan nilai yang terkandung
didalamnya, bukan hanya sebagai usaha untuk menghadirkan kembali artefak
sejarah menjadi nyata.
Seperti yang dikatakan
Zulkaedah di awal film dokumenter, Opera Batak adalah bentuk keprihatinan
Tilhang atas memudarnya nilai asli Batak di kalangan masyarakat asli Batak
sendiri, bukan sebagai bentuk hiburan semata. Diharapkan, dengan lestarinya Opera
Batak ini, lestari pula nilai positif dan etos kerja masyarakat Batak yang lekat
dengan kecerdasan, kekayaan, dan kesehatan yang baik.
Perkembangan teater
transisi daerah, pada akhirnya juga terbentur pada masalah dana, dan lagi-lagi
ini dapat dijawab dengan: hadirlah di setiap pementasan, dan apresiasilah
sepantasnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar