Rabu, 14 September 2016

Betawi Bukan Pajangan Museum, Betawi Adalah Pemilik Sah Kota Ini


Puluhan tahun lalu, adalah seorang Habib keturunan Nabi kita, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam, Habib Utsman namanya, menjadi Mufti Batavia. Ia dikenal keras dan lurus dalam menjaga penerapan ajaran islam di Betawi yang kala itu tercampur khurafat. Pelan-pelan, ia bersihkan orang Betawi dan ia bacakan qur'an sebagaimana tahapan dakwah pada Surat Al-Baqarah, 151.
Di kemudian hari, beliau menurunkan seorang cicit-masih di tempat beliau berdakwah-Petamburan, Habib Riziek Syihab. Seorang dai pemberani yang sikapnya serupa dengan Umar bin Khattab dalam memerangi kebatilan.
Habib Riziek berjuang mendakwahi orang betawi dan akhirnya pada suatu titik, ia mendirikan Front Pembela Islam. Artinya, Sang Habib, adalah penduduk asli Jakarta, bahkan sebelum Jakarta bernama.
Namun, Gubernur DKI pada suatu waktu yang entah, menyebutnya "kasihan", ketika Sang Habib menginisiasi Konvensi Gubernur Muslim. Bahkan, media yang menjadi konco setianya, menghapus titel "Habib" dan hanya menulis "Riziek Syihab".
Lebih jauh lagi, saran-saran yang disampaikan para da'i dan habaib di dalam forum FPI, justru dikatakan "jual agama", "enggak usah munafik", dan bahkan "membawa Indonesia ke zaman sebelum sumpah pemuda"
Padahal, FPI adalah bentukan asli putra betawi, dan bisa dikatakan, gerakan ini adalah cermin bagaimana ekspresi keagamaan dan politik orang Betawi diwujudkan, bukan hanya melalui slogan-slogan bijak semata.
Di saat yang hampir bersamaan, ulama Jakarta berhimpun dalam satu wadah, Gerakan Masyarakat Jakarta, dan mengangkat seorang ulama asli Betawi, KH Fakhrurrozi Ishaq sebagai Gubernur Tandingan.
KH Fakhrurrozi Ishaq adalah murid dari Muallim Rasyid, yang merupakan murid dari salah satu enam guru betawi terkemuka, Guru Manshur Jembatan Lima: buyut dari Ustadz Yusuf Mansur.
Guru Manshur Jembatan Lima, adalah seorang dai pejuang, yang menyerukan "rempug!" (Berkumpullah!") Darinyalah istilah ini berasal. Setiap kali pihak kolonial hendak melakukan penindasan. Ia juga yang dengan berani mengibarkan bendera merah putih hingga berurusan dengan polisi belanda.
Terhadap ulama ini, Gubernur malah meremehkan dan menyepelekan.
Padahal, salah satu aksi Gerakan Masyarakat Jakarta pada 2015, adalah yang terbesar yang pernah diturunkan. Pada saat pelantikan KH Fakhrurrozi sebagai Gubernur Tandingan, tak kurang 100.000 orang betawi muslim hadir.
Pada zaman penjajahan Belanda, jamak diketahui para serdadu gemar meminum "beer". Ini merupakan khamr yang diharamkan islam. Maka, orang Betawi membuat alternatif minuman yang rasanya serupa, tapi justru menyehatkan: bir pletok.
Bir dalam bahasa Kreol Melayu Betawi, adalah bi'run, atau abyar dalam bahasa arab: mata air. Orang betawi begitu menjaga adab keislaman, sementara, Gubernur saat ini, berulangkali menyentak-nyentak kita dengan wacana pelegalan miras, dan kemudian beredar sebuah foto Gubernur menjamu tamunya dengan beer!
Apa artinya?
Berarti, orang betawi, sejak lama, adalah etnik yang sadar politik dan turut membangun kotanya. Adalah orang-orang yang tidak diam terhadap pergerakan politik yang terjadi di hadapan matanya!
Dan belakangan, kita dihenyakkan dengan tindakan Ahok yang akan mencabut hibah bermiliar-miliar, hanya karena Badan Musyawarah Betawi merekomendasikan beberapa tokoh sebagai calon pemimpin kotanya sendiri. (Ingat, APBD DKI jumlahnya Rp 66 triliun, Rp 373 miliar, Rp 687 juta dan Rp 377 ribu, sedangkan hibah kurang dari 5 miliar untuk Bamus)
Statemen-statemen Ahok, seperti "main politik", "Bamus Betawi Berpolitik", merupakan tindak pengucilan dan justru, sangat SARA.
Sepanjang sejarah, justru Bamus Betawi dibuat, untuk mewarisi ide Mh Thamrin, bahwa organisasi ini hendaknya memperjuangkan hak-hak dan kepentingan orang betawi, lalu meningkatkan harkat dan martabatnya.
Statemen-statemen Ahok dan kebijakan pemerintah sepanjang Ibukota dibangun, bisa dibilang cenderung memojokkan betawi.
Bukankah, sikap politik juga merupakan suatu hak dan identitas sebuah etnik? Pertanyaannya, apakah salah ketika Bamus menganggap gubernur muslim dan asli betawi, adalah solusi bagi peningkatan harkat dan martabat betawi?
Sebagaimana, orang Jogja bersikeras mempertahankan kesultanan sebagai pemimpinnya, atau orang Aceh menjunjung perdamaian dengan mengizinkan partai lokal. Sebagaimana, orang Papua kemudian menyuarakan hak-hak pribumi mereka, dan masih berhadapan dengan tentara.
Artinya, justru Ahok seperti hendak mengebiri hak politik etnik betawi!
Apalagi, statemennya sebagaimana dikutip tempo.co pada 6 September, "Fokus saja di Setu Babakan, tari-tarian, kalau itu kita dukung", jelas menganggap Betawi hanya sebagai komoditas budaya.
Betawi, adalah suatu etnik yang hidup. Dia punya hak politik, hak ekonomi, hak kesehatan, hak perumahan, dan hak sebagai manusia. Justru, pelanggaran terhadap UUD 1945 yang dituduhkan Ahok, justru dilakukannya sendiri pada orang Betawi.
Hal inilah yang agaknya justru merendahkan betawi sebagai barang pajangan ketika pejabat negara lain datang, atau hanya sebagai objek anggaran pariwisata. Budaya bukanlah soal gong, wayang, atau alat musik, tapi budaya adalah kristalisasi dan produk sebuah kehidupan.
Termasuk, sikap politik; yang merupakan cermin muaknya orang betawi pada pemimpin yang kasar, tukang gusur, dan kerap menyakiti hati ulama dan masyarakat. Inilah cermin bagaimana suatu etnik bergerak mempertahankan entitasnya di kota yang dibangun, nyaris menggilas penduduk aslinya.
Betawi, di antara etnik lain di pulau Jawa, adalah etnik yang dikenal apa adanya dan tegas, namun tidak kasar. Mereka sangat mengenal sopan santun, apalagi pada etnik lain.
Kita, musti berpikir kembali: siapa yang justru melanggar UUD 1945?
---
Amar Ar-Risalah
Sosial-Kemasyarakatan KAMMI Jakarta Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar