Selasa, 13 Maret 2012

antologi kematian



kembali

masihkah aku ingin kembali
ketika detak itu sendiri membuat kita luka

adakah saat aku berkaca
siapa dia, kenapa mesti dia,

diri yang berbeda, bahasa yang berbeda
detak yang sama

dan apakah maknanya masih sama
apakah kau tak takut luka

lihat aku dengan terbuka!

bulan dan kematian

ketika mata kita tak lagi meraba
matanya berkelana ditepi jalan
beterbangan
mata dunia matanya
dan kita buta
sajak tengkorak
berserak

di pemakaman

saudaraku,
tanah yang meliputi wajahmu adalah kelak
tanah yang sama yang meliputi wajahku

adalah pasti

tanah ini pula saudara kita yang mati, 400, 4000 tahun yang lalu

saudaraku, kelak kaulah tanah itu

saudaraku,
aku memang berduka dengan berdebunya kau
tapi akupun kelak menjadi debu

kepulangan

ya, inilah rumah kelahiranku
tapi aku indu ibu meski tak rindu rumah

aku ingin rumah kelahiranku  menjadi rumah kematianku
kematian yang hangat dan di kelilingi orang-orang
tercinta
meski akan ada duka tapi aku bahagia
setidaknya aku cinta mereka

inilah rumah kelahiranku dan inilah rumahku
meski tak rindu rumah tapi aku ingin pulang

seketika, apakah rumah masih menyimpan kehangatan yang sama bagiku
meski aku sudah bukan yang dulu?

buat yang berduka

dalam sepi
bila yang kau damba hangatnya api
sahabat ini tiba bukan untuk ini

bila yang kau damba sebuah catatan yang rela
tergurat tanpa bisa bicara harus merasa
aku juga tiba tidak untuk merasa

namun dalam sepi
aku tak mesti larut dalam sepi
namun dalam sepi
aku turut nyalakan api, yang hangatnya
melelapkan diri; namun dalam sepi
sahabat bukan yang ada dalam sepi
tapi yang ada jauh hari sebelum ini

namun dalams epi
yang akan ditinggakan adalah yang meneguhkan pijakmu hingga
sahabat ini dengan tenang
meninggalkanmu dalam sepi

perhentian kedelapan

saudaraku
ketika perpisahan ini terjadi
jangan lagi dengan tangs kau berbagi

bila kau bersedih
begitu pula aku, temaram dalam pedih

tetapi perpishan ini indah
terlalu indah

saudaraku
setelahnya mari merdekakan hati kita
masa ini hanya milik kita yang merdeka
bukan milik siapa-siapa!

saudaraku bila kau ragu
ingatlah apa uang kita tuju,
ketika api, air, dan kita menjadi satu
ketika hatimu masih menjadi mataku
tanganmu masih menjadi perabaanku!

perapian III

KITA BERDIANG DI PERAPIAN INI
MEMAKAR SEPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar