Lalu sajak suara Sang Wiji Thukul ditiupkan kedalam rahim seorang ibu,
Sebelum
sempat sajak itu dikenal bangsa manusia, berlakulah takdir kepada
Petapa yang memberontak itu, Wiji Thukul, ia gugur terkena senjata
Prabhu Astawesi, yang mampu memusnahkan tubuh hingga atom-atomnya dalam
perang Reformasi.
Prabu Astawesi akhirnya tewas dihajar 100. 000
kesatria yang bergabung menjadi satu, dibawah pimpinan Ratu Rais. Ia
digantikan Mahapatih Selira, yang memiliki jurus untuk dapat menciptakan
sesuatu dari ketiadaan dan dapat terbang.
Lalu sajak suara Sang Wiji Thukul ditiupkan kedalam rahim seorang ibu.
Tak
berapa lama lahirlah sajak itu, dari rahim perempuan yang bukan
perawan. Dibawah sebatang pohon kelapa dan di depan rimbunan bambu
kuning, tanah yang seperti mahkota, Sang Penyair memberinya nama. “hai
anak perempuan bukan perawan, berilah nama pada puteramu: Bima, sebab ia
akan menjadi agung”
“Ia akan diutus sebagai budak firman-firman para penyair baru yang jumlahnya lima, akulah penyair yang pertama”.
Genaplah
puisi penyair lama yang pertama, bahwa penyair akan meniupkan firman
pada seorang ibu dan menjadi putera yang bernama Bima, sebab ia adalah
agung, akan menumpas segala kebatilan di nusantara, membeli pertamax,
memiliki NPWP, dan menunggu bus di halte. Yang terpenting, dia akan
memerangi penguasa kejam dan korup yang akan datang sesudah penyair
ketiga. Ini semua didapat Ibu Bima dalam secarik surat dari Sang
Pertama.
“Genaplah sajakku, dan akulah sang kematian yang moksa, selamat tinggal, giliranlah penyair kedua yang terjanji akan datang!”
Penyair
pertama melakukan moksa, jalan kematian dengan menghilangkan wujud.
Berpindah langsung ke dimensi ruh para para penyair. Bergabung dengan
penyair-penyair yang sudah lebih dulu moksa, seperti Ki Sapardi, Ki
Sutardji, Mahapatih Chairil Anwar, dan Empu Goenawan.
Suatu pagi,
Bima yang telah remaja, melihat sosok raksasa diliputi cahaya putih
menggantung di awang-awang. Ia berlari berteriak kedalam rumah.
Tiba-tiba, cahaya putih agung itu bersabda “jangan takut, Bima, akulah
untaian sajak kedua, akulah penyair kedua, yang akan menggenapi usiamu”.
Diliputi kesilauan, cahaya itu hangat dan menerangi sekeliling.
Sesaat,
Bima dan ibunya terpana. Cahaya besar itu mengecil dan berubah menjadi
wujud pria setengah baya, mengenakan pakaian merah dan membawa sebilah
papan batu seukuran bungkus rokok yang mampu melakukan segala sesuatu
dan dapat menghubungkan pikirannya dengan manusia dari penjuru dunia.
“Aku akan melatihmu berbicara dengan sabda dan firman, agar genaplah nubuat yang kedua: bahwa kamu akan membeli pertamax saja”.
“Bukan
premium, bukan minyak tanah. Tidak pula kamu membawa kereta wimana
tanpa kuda tanpa hak dan melanggar jalan milik orang lain”,
tambahnya.Dimulailah latihan mengendarai wimana. Setiap kali Bima ingin
membeli bahan bakar bukan pertamax, ia terkena kutuk satu orang miskin
akan mati. Setiap liter. Pernah ada ia didemo satu kelurahan lantaran
seorang guru mati, ternyata gurunya adalah juga warga miskin yang perlu
uang.
Juga, setiap kali ia melanggar moral di jalan raya, pasti
ada saja miliknya yang hilang. Pernah satu ketika, ia mengambil hak
pengendara wimana yang dipersilakan jalan oleh cahaya hijau dengan
menyerobot jalan, tetapi sesampai dirumah ia kehilangan separuh kamar
mandinya. Kamar mandinya menjadi tanpa dinding.
Kutukan yang
ditimpakan penyair kedua meskipun kejam, memang berhasil mendidik Bima
untuk selalu membeli pertamax dan tidak melanggar jalan lagi.
Akhirnya, lima tahun berlalu dan tibalah penyair kedua akan moksa. Ia bersabda,
Wahai Bima inilah saatnya kita berhenti berjumpa
Aku selesai memahamkan kedalam dadamu hak manusia
Keselamatan untukmu, kelak dimasa depan kita
Mengapa aku hanya mengizinkanmu membeli pertamax dan bukan minyak
Lantaran didalam pertamax terdapat nyawa-nyawa rakyat
Didalam minyak terdapat nafas-nafas
Jika engkau membeli minyak itu adalah pengisi tenaga nyawa rakyat, binasalah mereka
Tewaslah mereka bergelimpangan seperti daun terbakar dengan bensin
Jika engkau membeli pertamax maka engkau membebaskan nafas mereka dengan harga yang setimpal
Mengapa aku melarangmu melanggar rambu jalan raya
Sebab jalan raya bukan milikmu
Bukan milik mereka tetapi milik kamu dan mereka
Mengambil jalan berarti mengambil hak orang lain yang berjalan diatasnya
Semoga kamu memahami, sekaranglah aku moksa
Menghilang di keremangan hidup atas dunia
Genaplah sajakku, dan akulah sang kematian yang moksa, selamat tinggal, giliranlah penyair ketiga yang terjanji akan datang!”
Menghilanglah
seperti asap ditiup angin, tubuh penyair kedua berbau harum seperti
pandan. Sebelumnya, ia meninggalkan petunjuk bahwa penyair ketiga akan
datang sepuluh hari lagi.
Zaman penyair kedua adalah zaman Prabu
Pandita Jubah Ireng. Ia membawa ajaran bahwa semua agama sama. Ia juga
ingin membubarkan perwakilan rakyat, dan timbullah lagi kekuatan
terpendam kesatria-kesatria menggulingkannya. Ratu Awan, keturunan
Prabhu Kusno, menjadi penggantinya.
Jumat itu, bangkitlah penyair
ketiga, bersembul dari dalam tanah dihadapan Bima, ketika Bima sedang
memberikan pengajaran kepada teman-temannya tentang pentingnya membeli
pertamax. seperti bangkitnya mayat yang terpendam. Kulitnya keras, lalu
melembut terkena angin.
Bima terpana, lalu menghaturkan sembah
kepadanya “engkaulah pasti Guru Penyair Ketiga, yang dijanjikan penyair
kedua, datang untuk membimbing hamba”
“Akulah yang ketiga dari yang lima, akulah Sang Pemungut Pajak, yang mengajarimu tentang hak raja dan hak rakyat seutuhnya”
Esok
harinya, Bima menerima pelatihan dari Sang Ketiga. “Bima, engkau akan
aku pahamkan tentang hak. Mulai sekarang, apabila engkau tidak
menyisihkan hartamu untuk negara, sedikit saja, maka hidupmu akan
dipersulit oleh tanganmu sendiri, berlakulah kutuk ini mulai sekarang
dan tak dapat dilepas hingga lima tahun!”
Bima berpikir, langkah
pertama adalah datang ke kantor kecamatan mengurus surat pajak. Tetapi,
ia lupa memakan ayam di restoran besar yang belum pernah bayar pajak
karena milik seorang jenderal bintang lima. Ketika ingin keluar, ia
mendadak terkunci, ia menarik-narik gagang pintu tak mau terbuka juga,
tetapi tak ada yang mau menolongnya. Ia mencari cara, tak juga ketemu.
Berjam-jam ia mencari cara, akhirnya satpam restoran memberi tahu “Mas, lihat tulisan di pintunya, “Geser”, bukan “tarik”…”
Teringatlah Bima tentang kutukan Sang Ketiga dan berjanji tak akan mengulanginya lagi.
Ia
menjadi pemuda yang taat pajak, ia disayangi orang-orang disekitarnya
dan juga ketua RT, RW, dan Lurah sebab ia menyumbang bagi pendapatan
APBD. Semua orang sayang padanya.
Pada tahun kedua bangkitnya Sang
Ketiga, Negeri mengadakan pemilihan raja. Yang terpilih adalah Prabu
Saget. Dengan terpilihnya Prabu ini, genaplah ramalan Sang Pertama,
bahwa Prabu kejam dan korup akan muncul dan awalnya datang dengan cinta
kasih yang fana.
Prabu Saget berarti Bisa, ia selalu mengatakan Negeri Bisa. Entah Bisa berarti mampu atau Bisa berarti racun ular.
Ia
berperang melawan pembelot negeri timur, negeri Beranda, yang memiliki
senjata berupa Kanon. Kanon adalah kata-kata yang memadat menjadi
peluru.
Tetapi prabu itu memilih berdamai, dan berunding di kota
Hell Sins Key. Kedamaian sementara tercipta, tetapi karena dosa-dosa
perang lama, jatuhlah siksaan alam dan Tuhan pada negeri Beranda.
Lautan menjulurkan tangannya dan menyapu daratan. Ratusan ribu
penduduk mati dan membusuk tak terurus. Negeri Beranda menjadi rata
seperti gurun pasir.
Tak berapa lama, Kerajaan Jaya, bawahan
Negeri, ditimpa gempa bumi besar, banyak penduduk yang mati sebagai
tumbal atas kebohongan Prabu. Belum cukup, gempa itu membuka gerbang
Neraka, dan dari gerbang itu, yang muncul di kota Dadosratu, menyembur
kutukan Timun Mas. Kota itu tenggelam dalam lumpur hitam dan mendidih.
Entah mengapa Prabu itu terpilih lagi menjadi penguasa kedua kalinya.
Lima
tahun berlalu, tibalah Sang Ketiga wafat. Jalan kematian moksa. Ketika
itu, ia mengabungkan tubuhnya dengan badai besar Kumbang dan menjadi
guratan kata-kata diatas pasir pantai,
Anakku Bima tiba saatnya
Sang Keempat akan tiba dan Sang Raja menjadi haus darah
Tutupilah kulitmu dengan logam agar giginya tak mampu menembus darahmu
Sang Keempat bukan muncul dari tanah atau cahaya, ia dari dalam air
Akan meringankan amarahmu, mengajarimu menungu bus di halte
Bayarlah pajak, sebab itu hak warga miskinmu
Jangan ada lagi yang mati karena engkau lupa bayar pajak
Ingatlah, Nomor Pokok Wajib Pajakmu
Selamat tinggal, Bima
Beberapa
bulan, ketika banyak tetangga Bima sudah membayar pajak, Bima
mengunjungi samudera. Tak terduga bangitlah sang Keempat, dari dalam air
bercahaya biru dan membawa kendi berisi air suci. Ia membawa perisai
dan pisau besar.
Bima dan teman-temannya terpekur, terpana dan
menghaturkan puji “engkau adalah untaian kata Sang Ketiga, yang akan
mengajari kami bertahan hidup di zaman ini”
“Wahai Sajak yang ditiupkan, engkau sudah menjadi besar, saatnyalah aku membimbingmu menunggu bus di halte”
Bima
dibawa menuju kota besar, ibukota negeri yang bernama Madain, karena
kota itu berlapis lapis. Di kota itu terdapat jalur naga yang bersusun
bertingkat tujuh, memilin seperti bunga semanggi.
“disinilah Bima,
engkau akan memahami cara menunggu bus di halte. Engkau akan ku
masukkan ke Universitas Negeri Madain, sebab disana engkau harus menaiki
bus. Bukan bus khusus, tetapi bus para kawula. Bus para punakawan. Bila
engkau melanggarnya, kutukan atasmu adalah kematian akan tercipta
didepan matamu, bukan karena engkau tetapi takdir mengehendaki”
Setiap
hari Bima pergi ke universitas menaiki bus. Ia jatuh cinta kepada rekan
sekelasnya, Dewi Fatimah. Mereka berdua memadu kasih teramat dalam,
seperti berada pada taman impian. Bima berjanji jika selesai belajar ia
akan melamar Dewi.
Satu hari, Bima terburu-buru. Ia terlambat
bangun! Ia segera menuju jalan raya, tetapi karena halte jauh ia
menyetop bus, tidak di halte!
Disaat bersamaan, ada pengendara
wimana dua roda tidak siap, dan bruakk! Terjadilah kematian tepat
didepan mata Bima. Dan itu, rupanya Dewi Fatimah!
Bima menangis,
ia berduka dan meraung-raung menyayat hati para pelayat. Ia tersadar,
bahwa menunggu bus di halte bukan perkara tertib lalu lintas, tetapi
perkara keselamatan cintanya sendiri. Ia berjanji tak akan lagi
melanggar sumpah.
Lima tahun pula telah berlalu, telah genap
Nubuat penyair keempat. Ia telah mengajarkan banyak hal pada Bima. Kini,
Bima pun telah menjadi pria muda, bertanggung jawab, bayar pajak, dan
taat lalu lintas.
Tibalah saatnya Penyair melakukan ajian kematian moksa.
Bima anakku
Telah genap masa aku memahamkanmu menunggu bus di halte
Bukan karena iseng tetapi tunggulah di halte sebab itu adalah hak orang lain
Nyatanya kematian terjadi tanpa kutuk
Damaikanlah Negeri dengan gerakan menunggu bus di halte, dengan memiliki NPWP, dan dengan membeli pertamax
Niscaya orang miskinmu akan makmur
Orang kayamu akan bertambah subur
Saatnya Sang Kelima datang, ia datang dari arah bintang
Ia tak akan mengajarimu apapun tetapi ia akan menjadi senjatamu
Akan ada perang besar melawan Prabhu
Siapkanlah dirimu, berkatlah engkau!
Kematian moksapun terlaksana, dan penyair Keempat sirna.
Masa-masa
selanjutnya tanpa Keempat Penyair amatlah mengerikan. Bima bersembunyi,
ia takut terkena tulah bencana. Pembantaian demi pembantaian terjadi,
kasus demi kasus menghabiskan kas negara. Pertama, adalah kasus Bank
Seabad Jaya, uang sejumlah 6, 7 Triliun digelapkan oleh pegawainya,
menyeret pula Sang Prabhu. Tak lama, terungkaplah punggawa Prabhu,
menggelapkan dana pesta memanah, namanya Janjiagama. Ia melarikan diri
ke negara Selatan. Sebelumnya, segerombolan cicak berhasil membunuh
buaya besar di sungai, dan pertempuran itu juga berhasil mengasingkan
Raja Buaya Coklat. Ini membuat sungai menjadi keruh.
Belum cukup,
rentetan siksa dari Pencipta datang silih berganti, Ibukota terlanda
banjir 7 meter. Tasikmlayu terlanda gempa, dan yang terparah adalah
Padhang. Ribuan orang tewas. Gunung Merapi mengamuk, mengeluarkan
tentara domba-domba api yang kumal. Ia menghanguskan banyak desa.
Puncaknya,
seorang Resi melakukan ritual bakar diri, sebagai bentuk keprihatinan.
Namun tak lama, Sang Prabhu kembali membantai Petapa Mas Sauji, dan
membunuh saudara-saudara Bima dalam pertemuan di Pelabuhan.
Ditengah
kericuhan Negari seperti itu, tanda-tanda nubuat akan segera
terlaksana. Sebentar lagi masa pergantian Prabhu, dan semua pihak sibuk
menyiapkan bakal Prabhu berikutnya. Spanduk-spanduk terpasang. Prabhu
juga sudah mempersiapkan operasi militer. Panser. Tank. Ambulans. Tak
lupa, taksi untuk melarikan diri jika terjadi sesuatu.
Akhirnya,
Penyair Kelima datang bersama Bima, ia berkehendak memecah suara rakyat
Negeri. Saat itulah rupanya Prabhu juga tengah mengadakan gelar Bala
Tentara besar, untuk menghadang lawan-lawannya, agar kemenangan tetap
padanya.
Bima yang telah dicintai penduduk kotanya, melakukan mbalelo,
pemberontakan besar-besaran atas nama hak rakyat. Rakyat sudah jemu,
mereka butuh pemimpin yang melaksanakan hak, mendapatkan hak sewajarnya,
dan juga memulihkan hak seluruh rakyat. Ini masalah hak!
Bima,
dipersenjatai Tubuh Sang Kelima, bertempur melawan Prabhu Saget dan 50.
000 tentara, ya, sajak yang ditiupkan itu akhirnya benar-benar menjadi
sekam yang terbakar dalam lubuk hati setiap rakyat. Dalam 2014!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar