Minggu, 11 Maret 2012

Tawwaba

Kota itu kecil saja, dengan sungai yang permai membelah di tengahnya. Barat, dan Timur. Di Timur warga bekerja sebagai peternak dan petani. Tanahnya lebih subur, hawa segar, dan di sela setapak terdapat bunga-bunga memperharum udara. Ada kolam besar di sisi masjid, tidak bertembok, seperti oase ditengah keramaian.
            Masjid Timur amatlah indah, kubahnya berbentuk bunga teratai disaput hijau mutiara. Tingkat tiga, dengan jendela besar arsitektur timur tengah. Menara azannya menjulang seperti pohon kelapa memuncaki tebing karang.
            Jika senja mulai tiba, kau bisa lihat bocah-bocah berkejaran seperti anak ayam berkotek ramai menuju masjid. Mereka semua ceria.
            Di Barat, ada gedung besar balaikota. Tua, gagah terlihat. Dibuat dari bata hitam terkuat. Di dekatnya, Lapangan Akbar terbentang dengan pohon besar membingkainya. Rumah-rumah berdiri seragam dan bercat putih terang, jalan raya tersusun padat dari kayu dan batu.
            Masyarakat damai, agama merekapun namanya Damai. Bukan dibawa Nabi, tetapi para tetua bergelar datuk dan pangeran menulis kitab setengah suci. Itulah dasar ajaran mereka yang disarikan dari agama-agama zaman kuno kota. Masjid dan gereja adalah simbol keagungan zaman dulu, dan hanya digunakan untuk ibadah semata, baik satu atau semua agama. Bagi mereka, salib hanyalah simbol hubungan dengan Tuhan, ke atas, dan hubungan dengan manusia, ke sisi, tetapi masing-masing tidak beriringan. Bersaliban, bersilangan, bertemu ditengahnya, bukan sepanjang alurnya yang akan lurus menuju ke atas. Masjid dan azan hanyalah panggilan bagi hati yang ingin kesana. Ke sana. Yang tidak? Ya tidak. Biarkan mereka, urusan mereka dengan Tuhan. Tidak usah diingatkan, Tuhan menciptakan Adam pertama kali sendirian, tidak kolektif, tidak bersosial itulah, bukankah awalnya manusia memang hidup sendiri-sendiri, bahkan tanpa istri? Bila masyarakat mencoba hidup bersama sebagai sistem, banyak kepentingan yang bertabrakan. Cedera batin. Cedera kepentingan. Yang utama, melanggar fitrah kesendirian Adam. Agama hanya pantas diletakkan dalam hati mereka, bukan untuk dipraktekkan, sebab masyarakat akan terlalu takut terjadi kerusuhan antar agama.
Gereja utara setia mendentangkan lonceng lembutnya, bernyanyi atas runtuhnya Babel sebagai ratapan atas mereka yang ingin melihat Wajah Tuhannya secara langsung, sementara Masjid Timur selalu mengumandangkan azan dengan irama Nahawand, irama laghu yang tinggi dan meliuk-liuk rumit , seperti tarian suara di telinga memanggil-manggil kita.
            Seratus tahun sejak kota ini ada, belum pernah ada perang atas nama aliran kedamaian dan kasih yang mereka anut, “Tuhan jangan pula menggangu perdamaian kita, bila ajaran ribuan Nabi masa lampau kota ini merusak tata damai, kasih, dan toleransi”
            “Bahwa kebebasan mutlak diciptakan Tuhan Yang Satu untuk beragama, dan bahwa Tuhan Yang Satu tidak mutlak menjadi milik semua agama. Kerinduan pada Tuhan, seperti kerinduan yang sama pada anasir-anasir kebenaran hakiki, adalah sama pada setiap manusia. Kebenaran menjadi dambaan karena perkembangan kehidupan menghasilkan kesalahan-kesalahan baru, setelah timbul kebenaran-kebenaran lebih tinggi. Dunia cepat berubah, begitu pula nilai-nilai kebenaran didalamnya, sebagai mana dulu bumi itu benar datar, sekarang bumi itu benar bulat dan bundar seperti bola. Jalannya pemerintahan adalah berasas kebenaran tinggi, bukan tertinggi, karena kebenaran itu sendiri selalu dipertinggi oleh pencapaian-pencapaian manusia. Kebenaran ada pada Qur’an, ada pada Bible, Talmud, Taurat, Zabur, Veda, bahkan Kitab lain, karena semuanya mereferensikan Wujud Kebenaran yang Satu: Tuhan. Dan Tuhan memerintahkan  murid-muridnya di bumi untuk menaati pemimpin yang juga murid Tuhan”, dalam satu fragmen.
            “Angkatan bersenjata adalah alat diantara banyak alat kebenaran menemukan kebenarannya. Hukum adalah benar, yang salah adalah menyalahi hukum dengan tidak menaatinya. Alat pemerintah. Bahwa angkatan bersenjata mendapatkan tempat sebagai penegak kebenaran-kebenaran yang sedang diyakini sebagai kebenaran relatif”, dalam fragmen lain.
            Tetapi ada satu yang mengganjal, semua warga bebas beribadah. Tanpa bertanya dan mengganggu agama lainnya. Tetapi, hidup mereka hanya demi kebebasan kota. Tuhan hanya alat dan fasilitator, bila ada kitab yang menyalahi undang-undang, harus di revisi lewat konsili agar kedamaian dan ketertiban punya suara. Ini sudah asas umum, disahkan undang-undang turunan peraturan kota.. Produk manusia, sedang manusia itu produk Tuhan, maka undang-undang ini mestinya sama dengan Produk Tuhan. Tuhan mempercayakan kita menjadi pemimpin dunia. Tuhan percaya. Sedang Ia Maha Sempurna. Seseorang tidak akan percaya kepada yang tidak dipercaya kesempurnaan amanahnya. Banyak juga masyarakat menentang ini, tetapi apa daya, media dan pemerintah terlalu dalam mencampuri urusan dalam hati mereka. Tak punya gigi.       
            Sabtu itu, hari sebentar lagi malam. Sembilan orang guru berkumpul dalam majelis rahasia di tepi kota. Mereka lelah dalam tatanan ini. Yang salah tetap dibiarkan salah dengan alasan ketertiban dan HAM. Hujan turun rintik-rintik, dingin, membuat mereka lebih betah berada dalam ruangan untuk berdiskusi.
            “Kamu punya Tuhan?”, Tanya seorang berambut ikal.
            “Punya,”,  jawab si sorban hijau.
            “Berapa?”, serbunya lagi.
            “Satu, kata orang-orang juga satu”.
            “Lalu berapa cara menggapai Dia?”,
            “Mestinya juga satu, tapi...”,
            “Mestinya satu. Kota ini punya banyak cara, dan katanya semua benar”, sambarnya bernafsu.
            “Kebenaran dan kepastian, bukan? Tidak ada yang bisa memastikan. Tidak ada yang salah, yang ada mendekati benar dan pasti.”
            Sembilan wajah itu terdiam. Seorang menyeringai,
            “Kalau begitu, mestinya satu cara yang kita percaya, tapi… huh, pemerintah itu berlagak Tuhan saja”,
            “Tidak bisa, kita semua sama, tujuan kita sama. Bukankah Tuhan kita seharusnya sama? Bukankah dari tata cara inilah Tuhan telah mengenalkan saudara kita yang bernama Surga dan Neraka, posisi dan negasi. Bukankah semua agama menuju kesana? Masalah ada yang tidak percaya pada agama lainnya, toh tidak akan saling merusak kesucian agama yang lain itu, kesucian agama bukan dari konsepsi manusia, tetapi konsepsi agama itu sendiri”, yang berkacamata mencoba menawarkan konklusi.
            Orang kesembilan berkata, “bahwa Tuhan Yang Satu bukankah tak menjadi milik kita saja, tetapi milik mereka juga?”,
            “Lantas? Bukankah kita dilarang mengingatkan mereka yang menyimpang? Sedangkan ada kewajiban itu dalam agama kita. Memang betul, kebenaran terletak pada cara kita memahami konsepsinya. Tetapi pasti hanya ada satu yang benar”, Tanya seorang lain.
            “Mestinya hanya ada satu cara. Agama ini tentu bukan bergerak dalam batas-batas ketiadaan, tetapi dalam keadaan. Kenyataan! Apabila agama hanya ada dalam hati, sekarang kau lihatkah hati mereka? Lebih jauh lagi: Tuhan dalam hati mereka? Tidak, mestinya, agama yang benar adalah agama yang bergerak dalam batas-batas kenyataan dan diatasnya lagi, sumber segala kenyataan. Agama, adalah di alam kenyataan dan mesti dinyatakan dalam kenyataan pula, bukan dalam hati, sebagaimana Kenyataan Tuhan, karena Tuhan menciptakan kita dialam kenyataan”, tegas si sorban itu.
            “Besok, kita ke perpustakaan, cari dimana Tuhan yang asli seharusnya kita yakini. Kita cari dimana cara Tuhan yang asli, yang Ada, yang Pasti, yang memastikan yang mana agamanya”.
            Esok hari, di perpustakaan pusat kota yang berbentuk piramida besar, mereka membaca ensiklopedi kitab suci. Di kota itu, abad ilmu sedang populer, penerjemahan marak, tetapi mereka tak punya naskah asli kitab suci, mereka hanya punya terjemahan dan fragmen tafsir dari para tetua, datuk dan pangeran.
            Tetua Yahya berkata, agama yang benar adalah agama yang Lurus, agama yang selamat. Tetua Yuhanna berkata, harus ada yang mati menebus kesalahan kita dimasa lampau, dan menghadap Dia di Surga demi melapangkan jalan kafilah kita kelak. Semua Tetua mengarah kepada satu kesimpulan: hanya ada satu cara yang benar menuju Tuhan dan pasti diterima.
“Ini tidak benar, berarti kota kita salah? Berarti ada yang salah dan ada yang benar. Ada kepastian! Sudah kubilang, Tuhan itu Pasti, maka yang ada seharusnya kita mendapat jaminan kepastian agama Tuhan yang asli!”,
            “Kita telah temukan kitab asli Tetua, meski hanya fagmennya, murid Utusan Tuhan yang asli. Tuhan terang mewartakan kebenaran dan kesalahan, kepastian antara ya dan tidak. Berarti ada yang salah dan benar, seperti bila aku lelaki tentu bukan abu-abu lagi aku bukan wanita. Ada kebenaran ,mutlak bahwa akulah lelaki, pemilik organ lelaki, tak punya rahim dan payudara montok, tak punya kebawelan. Sudah tentu, Tuhan itu pasti, sebagai mana kita mengidentifikasi kepastian ini makhluk dari makhluk lainnya. Ini kucing dan ini anjing, tidak ragu. Tentulah kepastian hanya diciptakan oleh Kepastian pula, bukan keremangan”.
“Inilah rupanya agama kita! Oh! Tuhan adalah Maha Benar, maka yang mencapaiNya tentulah mencapai kebenaran itu. Dia Maha Benar, maka Benar yang mana lagi yang kita sangsikan darinya? Dialah Sang Kepastian itu.hanya ada satu cara yang benar untuk mencapai Dia yang Benar. Kau tahu? Seperti, bila kamu ingin menuju aku, jalan terdekat adalah lurus kearahku, bukan memutari aku berulang kali”, jawab si kacamata tegas.
“Ah! Ini! Inilah fragmen ajaran Tuhan yang asli. Tuhan menciptakan kita sambung menyambung, Hawa bagi Adam, karena Tuhan tidak menciptakan Adam demikian bodoh. Ia hendak memahamkan Ayah Kita, bagaimana rasa kesendirian, agar kelak tak menjadikan kesendirian itu sebagai tradisi. Ia mengutus Hawa untuk menghapus kesendirian itu. Sistem Adam dan Hawa, keterikatan antar manusia. Tegasnya, antar masyarakat ada kewajiban saling mengikat. Dengan apa? Tali! Dengan Tali Tuhan Kebenaran. Baiknya, mengikuti jejak-jejak tetua, mereka diutus Yang Benar sebagai Utusan Pembawa Risalah. Kita utus saja diri kita”, kata seorang lain.
            Ada yang menyahut, “Tuhan memfirmankan bahwa tebarkanlah kebenaran sebagai berita gembira dan ancaman. Inilah keaslian kota kita, agama Barat Sungai dan Timur Sungai, serta yang ada diantaranya!”.
            “Ya! Tebarkanlah!”

            Tiga hari berlalu, mereka berusaha mengajarkan agama asli yang mereka dapat di perpustakaan, Barat dan Timur yang asli. Mereka susun fragmen kitab yang baru, pembaruan ajaran. Kitab Tawbah, berisi asal-usul cara Tuhan, dan jalan menuju Tuhan itu sendiri. Sistem masyarakat menjadi titik utama kitab ini. Dari rumah ke rumah, mulut ke mulut, antar diskusi dan perdebatan. Ada yang menolak, ada pula yang hanya simpatik.
            Cara ini namanya Tawaba. Ada 12.000 pengikut, yang berusia sebaya. Mereka menjadi komunitas baru kota. Tawaba, artinya kembali pada bahasa kuno mereka. Kembali pada Kebenaran lama, kebenaran pertama, awal, dan akhir. Kembali pada cara-cara lama yang sah dimata kebenaran hakiki. Bukan sah dimata kebenaran relatif. Karena pemerintah mendakwakan diri sebagai  satu di antara banyak anasir kebenaran, kebenaran-kebenaran kecil menuju kebenaran utama.
 Pemerintah bukanlah kebenaran itu sendiri, tetapi alat. Cuma alat kebenaran. Pemerintah memang menaungi kedua agama itu, tetapi membiarkan aliran-aliran baru, dan lebih jauh lagi: menyamakannya dengan ajaran lama. Terang saja Tawaba menetangnya.
            Ini sampai ke telinga hulubalang kota, Shufi. Ia beranggapan bahwa agama baru ini mengancam kota, karena memandang agama mereka paling agung. Tidak boleh ada agama yang paling agung! Ia segera mengadakan perundingan dengan mereka namun gagal. Direncanakan pembuatan keputusan pelarangan, sebagai ajaran sesat dan Setan. Kelompok itu sekarang dicap perusak tatanan, perusak ketertiban masyarakat. Hari-hari berlalu,  masyarakat mulai menyadari ada yang salah dalam tatanan mereka, ada yang rusak. Shufi melalui gerakan intelijen menebarkan keyakinan pada masyarakat agar menghindari cara-cara Tawaba. Seminar-seminar dan redoktrinasi diadakan. Pemerintah melalui dinas-dinasnya, terutama penerangan militer, memaksakan opini masyarakat.
            Masyarakat lalu mengadakan kelompok kecil untuk melawan dan mengikis aliran pembaruan yang sesat itu, aliran pemurnian yang hanya sebenarnya dianggap sesat. Awalnya sederhana, pembakaran-pembakaran spanduk semata.
            Hari itu, pawai akbar berlangsung sebagai hari raya Tawaba. Mendadak masyarakat bersembulan dari segala arah, melempari mereka dengan batu dan kayu.
            Kota Barat dan Timur mencekam, karena demonstran anti dan pro Tawaba memenuhi kota. Ada yang sembunyi di gorong-gorong, di puncak pohon, dan di balik pilar-pilar. Ada pula yang terang berteriak. Kota menjadi amat ramai karena kerusuhan itu. Beberapa membakar ban dan sisa barang yang dirampas. Ada juga yang menyundul-nyundul lonceng gereja dengan galah dan melempari dengan petasan besar, tepat di engselnya agar menggema seperti gema perang.
            Kepolisian bersenjata tajam dan api memagari lapangan besar di dekat Masjid Timur. spanduk bergelimpangan. Bau asap dan gas air mata. Ada pula bekas darah bercampur abu. Lonceng gereja jatuh menimpa bocah kecil yang sedang berdoa. Batu-batu sekepalan tangan berserakan, bekas dilempar oleh orang-orang yang tak membawa senjata perkelahian.
Medan ini menjadi medan pertempuran! Di hari ketiga, menara masjid Timur runtuh dilabrak panser kota Barat. darah memancar lagi entah darimana. Tiba-tiba, empat desing peluru membahana, ada yang tewas! Ya, ada yang tewas! Ada yang tewas buat Tuhan mereka. Demonstran mundur, ribuan polisi berbaris memagar di Jalan Perdamaian, jalan terbesar di sana. Beberapa orang menyeret tubuh mati demonstran ke trotoar, membebatnya dengan kain jaket berlumuran darah.
            Matahari baru tiba, embun belum lama turun.
            Sembilan ribu Tawabin yang tersisa merangsek, membawa spanduk menuntut semua mengikuti cara mereka mengenal Tuhan. Melanjutkan pawai dengan suara serak, memanggil –manggil manusia kepada Yang Kalau Tidak Salah Adalah Kebenaran. tidak kenal lelah. Sayang sekali, pada saat-saat mulai terang cahaya matahari yang terlampau hangat, batalion utama tiba, dibawah Shufi.
Sontak, demonstran berhamburan menyelamatkan diri dari amukan tentara-tentara yang membawa senapan besar. Berhasil didesak, mereka terkumpul di pinggir-pinggir jalan, di bekas beranda bangunan yang belum hancur. Sisanya melarikan diri sejauh mereka bisa. Berantakan. Panser dan mobil berlapis baja berjalan angkuh.
                        “Tak ada yang boleh terlampau percaya dengan caranya menyembah Tuhan, semua cara sama!”, sambut Shufi melalui pengeras suara. Di atas panser.
 “Mulai sekarang, cara Tawaba menyembah Tuhan adalah terlarang menurut tangan Undang-undang dan Hak Asasi Manusia, hak yang jua diciptakan Tuhan! Hak itu mencakup kebebasan memahami, sebenar apa Dia!”
“Serahkan diri Anda baik-baik, kami hentikan kekerasan. Serahkan!”
            Muka-muka demonstran kosong, bersaput debu kehitaman. Seperti dipengaruhi racun kejut yang mengaliri darah mereka. Mereka lelah, mencari kebenaran itu. Kebenaran! Yang tertinggi. Yang dapat memberi tahu, siapa mereka dan siapa yang memberi nama. Selebaran-selebaran dari beberapa yang menjadi anggota LSM bertebaran. Isinya, penolakan dan penuduhan pelanggaran ham kepada Sembilan Utusan, HAM itu merata, menjamin semua orang memeluk agama manapun dan menggantinya seenak dia mau.
            Kesembilan utusan yang kini dianggap tetua baru ditangkap, diborgol dan ditendang. Di giring ke mobil besi.          
            Tertunduk lesu, mereka hanya berdoa sepanjang perjalanan. Tatanan kota Damai rusak sebab agama asli tak mendapat ruang di sini. Dimana letak Tuhan di sini? Masyarakat kita, apakah tidak tahu cara Tuhan yang asli? Bukankah, semua agama tidak sama dan kita tetap harus percaya kita lebih Tinggi? Agama disisinya, bukankah hanya satu? Jika semuanya sama, kenapa lantas kita jangan beragama, tetapi bertuhan saja?  Ya, mereka tahu, memang HAM menjamin pelaksanaan agama sebebas-bebasnya. Tetapi sepanjang pengetahuan mereka juga, setiap penyimpangan mestilah dicegah.
            Penjuru kota rata dan runtuh seperti di telan angin besar siksa. Menyisakan area kecil pertempuran demonstran dan masyarakat bersama polisi yang berbaris. Demonstrasi dan pertempuran melawan masyarakat menghancurkan bagian terbesar kota itu. Walikotanya tak ada di tempat, sedang melawat ke seberang benua, mencari kebenaran juga, yang tersimpan di sela-sela wisatanya. Hujan turun rintik namun asap-asap sisa kerusuhan masih terlalu besar untuk padam. Anjing dan kucing melipat telinga, menahan suara, mencari tuannya yang hilang dalam reruntuhan perang. Bau darah. Bau selongsong. Bau knalpot panser. Bau abu. Bau rokok bercampur hangus. Bau benar-benar perang.
            Pengadilan bagi para tetua digelar, dan pemerintah sepakat menjatuhkan hukuman mati atas tuduhan merusak ketentraman kota, melanggar undang-undang kebebasan beragama, dan mengadakan makar melawan pemerintah. Pendukungnya sudah tak kuasa melawan, pemerintah terlalu kuat. Sepertinya, banyak agama lagi yang akan menjadi korban undang-undang semacam ini.
            Hukuman mati bagi penyeru, para Tetua. “Kebenaran sejati tidak ada, saudara Tetua. Yang ada tetaplah pemerintah dan hukum sebagai satu dari sekian banyak anasir kebenaran tertinggi, sedangkan kebenaran tertinggi itu relatif, saudara. Akan meningkat seiring pencapaian kita. Seiring pula dengan mendekatnya kita pada kebenaran, meninggilah ia kembali”, sang pengacara pemerintah memberi dasar tuduhan.
            “Anda, bersalah. Melawan kebenaran. Semua agama sama! Hanya berbeda pada tataran caranya menemukan Tuhan. Tuhan itu relatif, bergantung kebenaran masing-masing agama!”, seru Jaksa.
            Hukuman mati akan dilaksanakan segera setelah sidang selesai, tanpa pembacaan pembelaan. Di kota itu, pelanggaran tertinggi adalah menggugat undang-undang dan pemerintah.
Sembilan tetua hanya ingin menebarkan sesuatu yang mereka anggap benar, dan menentang penyeragaman semua agama. Bila semua agama sama, kenapa lantas masing-masing mengklaim memiliki Surga dan Nerakanya sendiri, dan bukannya Surga dan Neraka yang ditempati secara bersama? Dan,
            “Atas nama kebenaran, dor…”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar