Hikayat Air
Amar
Ar-Risalah, 2115110799
Daerah itu tampak sumringah dan bangga melihat
proyek raksasa, sebuah apartemen dan pusat perbelanjaan bawah air berdiri
dengan megahnya. Atap-atapnya berbentuk sirip hiu, sedangkan jendela dan
dindingnya seperti cermin. 3 triliun! Sanggup
menambah daratan sejauh satu kilo kearah lautan.
“Hiburan,
adalah sisi kemanusiaan yang paling unik dan menarik dari setiap individu. Hewan
tak butuh hiburan, tanaman tak butuh hiburan. Inilah yang membedakan kita,
makhluk yang terbebani sehingga memerlukan tempat yang direkayasa sedemikian
rupa sehingga seperti surga”
“Hadirin,
saya persembahkan Ocean Residen, rumah lautan! Bersenang senanglah bersama
samudera raya, berenanglah menuju alam mimpi bersama batu karang dan ikan-ikan!
Saya melihat kelak dimasa depan para pemodal, investor, wisatawan, ataupun para
pejabat akan menghabiskan waktu di tengah ikon samudera ini, menikmati karya
agung manusia!” riuh rendah sang Penguasa memberikan sambutan pembukaan
bangunan megah tersebut.
Tak
disangka, keramaian itu menggema hingga dasar lautan melalui pondasi-pondasi
menara apartemen. Seperti listrik, menyengat ratusan juta tetes air yang
bersatu menjadi ombak lautan.
Air
di lautan ini berusia sangat tua, sudah mengalami ribuan siklus hujan, diminum,
dimuntahkan, kembali kedarat, muncrat dari mata air, dan kembali ke lautan. Air
yang sangat tua, mereka masih ingat bagaimana Tuhan menjadikan mereka senjata
bagi para nabi menghadapi kerusakan yang ditimbulkan umat manusia. Berkumpul dari
enam sumber utama tetes air, yaitu Danau, Sungai, Anak Sungai, Lautan, Sumur,
dan Air Tanah.
Zaman
sekarang ini, tak ada lagi nabi. Yang ada hanyalah ulama, tapi, mereka bisa
apa? “yaa siin, bla... bla...”, tidak lebih. Tak ada manfaatnya buat masyarakat
mati, seperti lautan dan batuan. Mereka merindukan tangan seorang nabi yang
mampu menghukum bala tentara sombong dengan satu usapan diatas riak.
Mereka
rindu mengaliri tangan seorang nabi yang diberkati sebagai mukjizat yang menyembuhkan
dan mendamaikan Arabia, Tetapi inilah negeri baru mereka, dimana bertengger
sebuah menara apartemen yang menindih ribuan ikan dan membunuh meteran batu
karang yang mereka kenal sejak dulu.
Manusia
sudah keterlaluan! Malam hari, datang serombongan tetes air dari sungai,
membawa sampah dan jasad-jasad mati. “Lautan, kami menjadi korban mangsaan
manusia, diantara kami menjadi tak layak minum, tak layak huni buat ikan-ikan
dan daratan!”.
“keterlaluan!”,
serbu ombak laut,
Kemarahan
perairan semakin memuncak. Belum hilang dari ingatan mereka, bagaimana rasa
ketika pasir dijatuhkan ke tubuh mereka, menambah luas daratan. Masih belum
hilang luka, ketika turun sebagai hujan yang menjawab doa, namun di caci
sebagai biang rusaknya lahan pertanian.
“kita
adalah perairan yang terhormat, bukan perairan yang hina. Kita adalah perairan
yang satu, tak ada yang terputus. Sungai dihubungkan dengan selokan, danau
dihubungkan dengan rawa, lautan dihubungkan dengan selat.luka yang satu adalah
luka bagi segala tetes air dimuka bumi. Kita ini satu tubuh, satu mata, satu
telinga. Kita mengalir sebagai darah, turun sebagai kasih sayang Tuhan!”
Di
sengat matahari, mereka menguap. Meluapkan kemarahan menjadi awan besar. Hitam.
Dingin. Tetes-tetes air menguap satu persatu, detik demi detik, menit demi
menit, hingga yang tercipta bukanlah awan biasa yang menurunkan hujan
kesuburan, tetapi kemarahan yang terkumpul bertahun-tahun.
“Saudara-saudara!
Kita adalah satu mata air, satu kampung halaman: Daratan! Saatnya kita
menjalankan tugas mulia, merawat kembali kampung halaman kita, membersihkannya,
dan kembali memuliakan daratan dan perairan sehingga tercipta kedamaian lautan
yang seperti dahulu! Apa yang penduduk darat lakukan merupakan penistaan
kampung halaman. Kita turun bersama-sama, kita turun sebagai hujan besar siksa!”,
sang Tetes Air Sungai, yang menjadi saksi langsung apa yang terjadi, memimpin
turunnya ribuan tetes air sekejap dari langit. Riuh rendah terdengar, seperti
ribuan tentara menginjak-injak genting rumah disetiap celah kota. Sesekali, Air
Danau mengubah dirinya menjadi hujan es yang menjebol atap-atap rapuh.
Pada
hari ketiga, tetes-tetes air menyatu, memadat, dan menjadi enam wujud badaniyah-makhluk-yang
tumbuh dari air. Ada yang tampan, berambut panjang, berwajah mengerikan, ada
pula yang besar dan gemuk seperti
Presiden kita. Kemarahan membuat kemampuan air yang menghidupkan, tercurah
kedalam molekul tetes mereka sendiri.
Yang
terjadi selanjutnya, tak dapat dibayangkan. Air Danau bersatu dengan api,
menimbukan ledakan-ledakan besar dan membunuh banyak orang. Tempat yang
dilaluinya menjadi banjir namun panas dipenuhi ledakan di sela-sela bangunan,
sementara Air Anak Sungai menjelma menjadi mesin penyapu bangunan yang amat
mengerikan. Sekian menit, ia menjadi air bah yang menyapu dan menggilas beton
dan manusia, sekian menit ia kembali ke wujud badaniyah manusia. Ia tak peduli
pada teriakan manusia yang kesakitan tergilas dan tenggelam.
Air
Laut, dengan kemarahannya, sudah kehilangan wajah bijaksana. Dia mencekik
setiap yang bernyawa yang menyentuhnya dalam wujud air bah, banyak korban mati
kaku, lemas, lalu tergilas bersama banjir. Sudah tercipta pusaran besar yang
sporadis bergerak kesana kemari. Paduan yang
semuprna antara kemarahan dan pusaran air. Dengan wujud badaniyah manusia, dia
seperti tak dapat dilukai-seperti sifat air-tak dapat dihancurkan, tetapi hanya
dapat dicemari.
Air
Sumur, dengan segala perjanjiannya dengan penghuni daratan, melupakan jati diri
lamanya sebagai sahabat daratan. Dia membuat banjir semakin besar, dan menutupi
atap-atap rumah, dan mendadak mengambangkan tikus-tikus dan ayam mati hingga
dirinya terlalu beracun bagi daratan. Masyarakat diterpa penyakit menular yang
mematikan ditengah banjir, sekali waktu diburu Danau dan Laut yang menjadi
wujud badaniah seketika mereka suka.
Air
yang tinggal menetap di daratan, Air Tanah, menjadi wujud badaniah yang besar. Dia
menjelajah pikiran penduduk satu persatu, dengan menggandakan diri dan mampu
merambati air dimana saja. Dia muncul
seperti bayangan, berpindah-pindah seperti listrik. Karena air bersemayam dalam
otak dan tubuh manusia, hanya dengan menyentuhnya dia bisa mengetahui
perasaan dan apa yang mereka sembunyikan
dibaliknya.
“Penguasa
mengungsi, di gedung bertingkat sepuluh, membawa para pegawainya, sementara
keluarga dan rekan usahanya yang melegalkan investasi di tubuh kita mengungsi
ke sebuah gunung di barat”, Air Tanah menyeru Air Sungai, yang memiliki
kekuatan paling mengerikan. Dia mampu menelusup, menyatu dengan air yang
terkandung dalam darah manusia, dalam air mata manusia, dalam air yang ada
dalam tubuh manusia, lalu membekukan mereka hingga korbannya menjadi seperti
batu, atau memaksa tetes air tubuh keluar hingga kering seperti kerupuk dan
pecah begitu terjatuh ketanah.
Di
tempat lain, tetes air yang tersisa sebagai hujan dan kabut menjadi asam. Seasam-asamnya.
Melelehkan dan membuat borok-borok yang tumbuh mengganggu semua kulit. Menjadikan
logam-logam berkarat, dan pada hari ketigapuluhsatu, tepat ketika Air Tanah
menemukan persembunyian Penguasa, mereka serentak menjadi wujud badaniah air,
enam manusia mistis, manusia yang lahir dari kemarahan dan kearifan secara
sekaligus. Mereka berjalan, diikuti air bah yang bergelora di belakang mereka,
melumat segala yang ada.
Kota
kini tingal puing dan lumpur, hanya sedikit bagian kota yang tersisa,
kebanyakan tidak berarti. Sebagian pengungsi tewas karena penyakit, sebagian
lain terkena amukan Air Sungai dan Laut. Sebagian lagi menjadi
potongan-potongan, tergilas.
Menara
apartemen sudah hancur, meski tidak runtuh. Namun hujan asa pelan-pelan merapuhkam
rangka-rangka baja lalalu melengkungkan konstruksinya.
Air
yang menggenang menjadi hitam, membakar bila disentuh. Tim SAR melakukan
pencarian namun masih terhambat bah yang menggerus tepi kota, hingga terisolir.
Yang
mereka hadapi kini bukan bencana biasa, tetapi Izin Tuhan yang turun menjadi
air yang melumat, seperti bangsa Firaun ribuan tahun lalu.
Hari
ketiga puluh dua, Air Anak Sungai berhasil menjebol tanggul karung dan pasir
sebagai perlindungan lanttai satu gedung pengungsian para penguasa kota. Segera,keenam
unsur tetes air kembali ke wujud badaniyah, dan menyergap Sang Penguasa di
balkon teratas, tempat ia setiap hari megontrol bencana yang menimpa kotanya.
“Siapa
kalian!” seru pengawal dan beberapa pejabat.
“dilarang
menemui Penguasa!” sorak yang lain.
“Dimana
Penguasa kota ini, yang membuat menara, dan mengotori kampung halaman kami?”,
tanya Air Sungai berwibawa penuh kemarahan namun disertai kearifan.
“Siapa
kamu!”, Penguasa panik ketakutan.
“eh,
anak yang mempermainkan aku dengan jemari kakinya, empatpuluh tahun yang lalu,
ya?”, Air Anak Sungai mengingat sesuatu.
“Kami,
adalah air
yang menyertai Adam ketika ia diciptakan”
“Kami,
adalah air yang melumat putera Nuh dan masih terasa suara teriaknya".
soraknya kembali,
soraknya kembali,
“Kami,
adalah air yang sama yang disentuh tongkat Musa, lalu mencekik Firaun dan
membungkusnya dengan garam”, tatapnya datar namun siap membunuh.
“Kami, juga adalah yang mengalir menjadi mukjizat tangan Muhammad dan diminum 30. 000 tentaranya”.
“Kami, juga adalah yang mengalir menjadi mukjizat tangan Muhammad dan diminum 30. 000 tentaranya”.
“Dan
sekarang, Kami dikirim untuk membunuhmu, kota besar",
Tangannya
menunjuk hidung penguasa, seraya mempersiapkan kekuatan yang terkumpul dari kebersamaan
ratusan juta tetes hujan.
"Siapa
kamu!?", Buru pejabat kota yang masih belum percaya "Kamu manusia,
Kan!",.
"Kami
juga yang mengaliri tangan Johannes dan mengairi Tubuh Jesus, pembabtisan
aku juga yang menghancurkan negerimu dulu, Aceh, yang mengaku-aku serambi Makkah, tempat Tuhanku menurunkan wahyu", soraknya. dalam namun berwibawa. khas sekali cara air berbicara, tenang dan menghanyutkan tetapi menyimpan kekuatan besar.
aku juga yang menghancurkan negerimu dulu, Aceh, yang mengaku-aku serambi Makkah, tempat Tuhanku menurunkan wahyu", soraknya. dalam namun berwibawa. khas sekali cara air berbicara, tenang dan menghanyutkan tetapi menyimpan kekuatan besar.
“Kami beribu
tahun menjadi kaki-tangan para nabi Tuhan, yang menghukum maupun mengobati
jiwa-jiwa manusia. Kami hadir dalam dirimu sebagai unsur penghidup tanah liat
hingga siap ditempati Ruh. Kami rindu kedamaian daratan!”, tegasnya.
"tenggelamlah
Kamu!", kata Air Sungai marah, seperti sabda.
“Tetapi kami
manusia!”, pekik terakhir Penguasa.
****
Hujan semakin deras, belum nampak langit yang
menjanjikan kedamaian dan kasih sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar