Jumat, 16 Maret 2012

Hikayat Air


Hikayat Air
                                                             Amar Ar-Risalah, 2115110799
 Daerah itu tampak sumringah dan bangga melihat proyek raksasa, sebuah apartemen dan pusat perbelanjaan bawah air berdiri dengan megahnya. Atap-atapnya berbentuk sirip hiu, sedangkan jendela dan dindingnya seperti cermin.  3 triliun! Sanggup menambah daratan sejauh satu kilo kearah lautan.
“Hiburan, adalah sisi kemanusiaan yang paling unik dan menarik dari setiap individu. Hewan tak butuh hiburan, tanaman tak butuh hiburan. Inilah yang membedakan kita, makhluk yang terbebani sehingga memerlukan tempat yang direkayasa sedemikian rupa sehingga seperti surga”
“Hadirin, saya persembahkan Ocean Residen, rumah lautan! Bersenang senanglah bersama samudera raya, berenanglah menuju alam mimpi bersama batu karang dan ikan-ikan! Saya melihat kelak dimasa depan para pemodal, investor, wisatawan, ataupun para pejabat akan menghabiskan waktu di tengah ikon samudera ini, menikmati karya agung manusia!” riuh rendah sang Penguasa memberikan sambutan pembukaan bangunan megah tersebut.
Tak disangka, keramaian itu menggema hingga dasar lautan melalui pondasi-pondasi menara apartemen. Seperti listrik, menyengat ratusan juta tetes air yang bersatu menjadi ombak lautan.
Air di lautan ini berusia sangat tua, sudah mengalami ribuan siklus hujan, diminum, dimuntahkan, kembali kedarat, muncrat dari mata air, dan kembali ke lautan. Air yang sangat tua, mereka masih ingat bagaimana Tuhan menjadikan mereka senjata bagi para nabi menghadapi kerusakan yang ditimbulkan umat manusia. Berkumpul dari enam sumber utama tetes air, yaitu Danau, Sungai, Anak Sungai, Lautan, Sumur, dan Air Tanah.
Zaman sekarang ini, tak ada lagi nabi. Yang ada hanyalah ulama, tapi, mereka bisa apa? “yaa siin, bla... bla...”, tidak lebih. Tak ada manfaatnya buat masyarakat mati, seperti lautan dan batuan. Mereka merindukan tangan seorang nabi yang mampu menghukum bala tentara sombong dengan satu usapan diatas riak.
Mereka rindu mengaliri tangan seorang nabi yang diberkati sebagai mukjizat yang menyembuhkan dan mendamaikan Arabia, Tetapi inilah negeri baru mereka, dimana bertengger sebuah menara apartemen yang menindih ribuan ikan dan membunuh meteran batu karang yang mereka kenal sejak dulu.
Manusia sudah keterlaluan! Malam hari, datang serombongan tetes air dari sungai, membawa sampah dan jasad-jasad mati. “Lautan, kami menjadi korban mangsaan manusia, diantara kami menjadi tak layak minum, tak layak huni buat ikan-ikan dan daratan!”.
“keterlaluan!”, serbu ombak laut,
Kemarahan perairan semakin memuncak. Belum hilang dari ingatan mereka, bagaimana rasa ketika pasir dijatuhkan ke tubuh mereka, menambah luas daratan. Masih belum hilang luka, ketika turun sebagai hujan yang menjawab doa, namun di caci sebagai biang rusaknya lahan pertanian.
“kita adalah perairan yang terhormat, bukan perairan yang hina. Kita adalah perairan yang satu, tak ada yang terputus. Sungai dihubungkan dengan selokan, danau dihubungkan dengan rawa, lautan dihubungkan dengan selat.luka yang satu adalah luka bagi segala tetes air dimuka bumi. Kita ini satu tubuh, satu mata, satu telinga. Kita mengalir sebagai darah, turun sebagai kasih sayang Tuhan!”
Di sengat matahari, mereka menguap. Meluapkan kemarahan menjadi awan besar. Hitam. Dingin. Tetes-tetes air menguap satu persatu, detik demi detik, menit demi menit, hingga yang tercipta bukanlah awan biasa yang menurunkan hujan kesuburan, tetapi kemarahan yang terkumpul bertahun-tahun.
“Saudara-saudara! Kita adalah satu mata air, satu kampung halaman: Daratan! Saatnya kita menjalankan tugas mulia, merawat kembali kampung halaman kita, membersihkannya, dan kembali memuliakan daratan dan perairan sehingga tercipta kedamaian lautan yang seperti dahulu! Apa yang penduduk darat lakukan merupakan penistaan kampung halaman. Kita turun bersama-sama, kita turun sebagai hujan besar siksa!”, sang Tetes Air Sungai, yang menjadi saksi langsung apa yang terjadi, memimpin turunnya ribuan tetes air sekejap dari langit. Riuh rendah terdengar, seperti ribuan tentara menginjak-injak genting rumah disetiap celah kota. Sesekali, Air Danau mengubah dirinya menjadi hujan es yang menjebol atap-atap rapuh.
Pada hari ketiga, tetes-tetes air menyatu, memadat, dan menjadi enam wujud badaniyah-makhluk-yang tumbuh dari air. Ada yang tampan, berambut panjang, berwajah mengerikan, ada pula yang besar dan  gemuk seperti Presiden kita. Kemarahan membuat kemampuan air yang menghidupkan, tercurah kedalam molekul tetes mereka sendiri.
Yang terjadi selanjutnya, tak dapat dibayangkan. Air Danau bersatu dengan api, menimbukan ledakan-ledakan besar dan membunuh banyak orang. Tempat yang dilaluinya menjadi banjir namun panas dipenuhi ledakan di sela-sela bangunan, sementara Air Anak Sungai menjelma menjadi mesin penyapu bangunan yang amat mengerikan. Sekian menit, ia menjadi air bah yang menyapu dan menggilas beton dan manusia, sekian menit ia kembali ke wujud badaniyah manusia. Ia tak peduli pada teriakan manusia yang kesakitan tergilas dan tenggelam.
Air Laut, dengan kemarahannya, sudah kehilangan wajah bijaksana. Dia mencekik setiap yang bernyawa yang menyentuhnya dalam wujud air bah, banyak korban mati kaku, lemas, lalu tergilas bersama banjir. Sudah tercipta pusaran besar yang sporadis bergerak kesana kemari.  Paduan yang semuprna antara kemarahan dan pusaran air. Dengan wujud badaniyah manusia, dia seperti tak dapat dilukai-seperti sifat air-tak dapat dihancurkan, tetapi hanya dapat dicemari.
Air Sumur, dengan segala perjanjiannya dengan penghuni daratan, melupakan jati diri lamanya sebagai sahabat daratan. Dia membuat banjir semakin besar, dan menutupi atap-atap rumah, dan mendadak mengambangkan tikus-tikus dan ayam mati hingga dirinya terlalu beracun bagi daratan. Masyarakat diterpa penyakit menular yang mematikan ditengah banjir, sekali waktu diburu Danau dan Laut yang menjadi wujud badaniah seketika mereka suka.
Air yang tinggal menetap di daratan, Air Tanah, menjadi wujud badaniah yang besar. Dia menjelajah pikiran penduduk satu persatu, dengan menggandakan diri dan mampu merambati air dimana saja.  Dia muncul seperti bayangan, berpindah-pindah seperti listrik. Karena air bersemayam dalam otak dan tubuh manusia, hanya dengan menyentuhnya dia bisa mengetahui perasaan  dan apa yang mereka sembunyikan dibaliknya.
“Penguasa mengungsi, di gedung bertingkat sepuluh, membawa para pegawainya, sementara keluarga dan rekan usahanya yang melegalkan investasi di tubuh kita mengungsi ke sebuah gunung di barat”, Air Tanah menyeru Air Sungai, yang memiliki kekuatan paling mengerikan. Dia mampu menelusup, menyatu dengan air yang terkandung dalam darah manusia, dalam air mata manusia, dalam air yang ada dalam tubuh manusia, lalu membekukan mereka hingga korbannya menjadi seperti batu, atau memaksa tetes air tubuh keluar hingga kering seperti kerupuk dan pecah begitu terjatuh ketanah.
Di tempat lain, tetes air yang tersisa sebagai hujan dan kabut menjadi asam. Seasam-asamnya. Melelehkan dan membuat borok-borok yang tumbuh mengganggu semua kulit. Menjadikan logam-logam berkarat, dan pada hari ketigapuluhsatu, tepat ketika Air Tanah menemukan persembunyian Penguasa, mereka serentak menjadi wujud badaniah air, enam manusia mistis, manusia yang lahir dari kemarahan dan kearifan secara sekaligus. Mereka berjalan, diikuti air bah yang bergelora di belakang mereka, melumat segala yang ada.
Kota kini tingal puing dan lumpur, hanya sedikit bagian kota yang tersisa, kebanyakan tidak berarti. Sebagian pengungsi tewas karena penyakit, sebagian lain terkena amukan Air Sungai dan Laut. Sebagian lagi menjadi potongan-potongan, tergilas.
Menara apartemen sudah hancur, meski tidak runtuh. Namun hujan asa pelan-pelan merapuhkam rangka-rangka baja lalalu melengkungkan konstruksinya.
Air yang menggenang menjadi hitam, membakar bila disentuh. Tim SAR melakukan pencarian namun masih terhambat bah yang menggerus tepi kota, hingga terisolir.
Yang mereka hadapi kini bukan bencana biasa, tetapi Izin Tuhan yang turun menjadi air yang melumat, seperti bangsa Firaun ribuan tahun lalu.
Hari ketiga puluh dua, Air Anak Sungai berhasil menjebol tanggul karung dan pasir sebagai perlindungan lanttai satu gedung pengungsian para penguasa kota. Segera,keenam unsur tetes air kembali ke wujud badaniyah, dan menyergap Sang Penguasa di balkon teratas, tempat ia setiap hari megontrol bencana yang menimpa kotanya.
“Siapa kalian!” seru pengawal dan beberapa pejabat.
“dilarang menemui Penguasa!” sorak yang lain.
“Dimana Penguasa kota ini, yang membuat menara, dan mengotori kampung halaman kami?”, tanya Air Sungai berwibawa penuh kemarahan namun disertai kearifan.
“Siapa kamu!”, Penguasa panik ketakutan.
“eh, anak yang mempermainkan aku dengan jemari kakinya, empatpuluh tahun yang lalu, ya?”, Air Anak Sungai mengingat sesuatu.
“Kami, adalah air yang menyertai Adam ketika ia diciptakan”
“Kami, adalah air yang melumat putera Nuh dan masih terasa suara teriaknya".
soraknya kembali,

“Kami, adalah air yang sama yang disentuh tongkat Musa, lalu mencekik Firaun dan membungkusnya dengan garam”, tatapnya datar namun siap membunuh.
“Kami, juga adalah yang mengalir menjadi mukjizat tangan Muhammad dan diminum 30. 000 tentaranya”.
“Dan sekarang, Kami dikirim untuk membunuhmu, kota besar",

Tangannya menunjuk hidung penguasa,  seraya  mempersiapkan kekuatan yang terkumpul dari kebersamaan ratusan juta tetes hujan.
"Siapa kamu!?", Buru pejabat kota yang masih belum percaya "Kamu manusia, Kan!",.
"Kami juga yang mengaliri tangan Johannes dan mengairi Tubuh Jesus, pembabtisan
aku juga yang menghancurkan negerimu dulu, Aceh, yang mengaku-aku serambi Makkah, tempat Tuhanku menurunkan wahyu", soraknya. dalam namun berwibawa. khas sekali cara air berbicara, tenang dan menghanyutkan tetapi menyimpan kekuatan besar.
“Kami beribu tahun menjadi kaki-tangan para nabi Tuhan, yang menghukum maupun mengobati jiwa-jiwa manusia. Kami hadir dalam dirimu sebagai unsur penghidup tanah liat hingga siap ditempati Ruh. Kami rindu kedamaian daratan!”, tegasnya.
"tenggelamlah Kamu!", kata Air Sungai marah, seperti sabda.
“Tetapi kami manusia!”, pekik terakhir Penguasa.
****
 Hujan semakin deras, belum nampak langit yang menjanjikan kedamaian dan kasih sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar