Jumat, 16 Maret 2012

Sayang

Episode Satu
Kenapa, kenapa  tidak ada yang dapat merasakan lelahnya aku?  Setiap hari aku pulang, yang ada hanya keluhan dan keluhan. Tak sadarkah, aku mencari uang untuk kamu, Sayang. Untuk kamu. Cobalah bersabar, tunggu hingga aku melepaskan dasiku, meletakkan sepatuku di tempatnya, dan mengucapkan terimakasih kepada Pak Tumardi, dia lelah juga seperti aku meskipun hanya supir.
Aku hanya meminta jawablah salamku dengan senyum, Sayang. Jawablah dengan senyum. Kemana kamu yang dulu ketika aku masih belum punya uang, kamu yang selalu wangi, yang selalu menyambut aku di depan pintu rumah petak kita, yang kecil tetapi selalu harum bau masakan tanganmu.  Kamu perlahan akan menanyakan “di jalan macet tadi? Aku sudah buatkan air”.  Kamu juga akan memeluk aku setelah aku selesai mandi, ketika anak-anak kita kecil dan masih butuh digendong.
Di dapur tidak pernah ada masakan pembantu, tetapi selalu kamu. Rasanya enak, dibuat oleh kamu.  Selalu dibuat oleh kamu.
Kenapa pula anak-anak kita menjadi tidak kenal aku, Sayang? Apa yang kamu lakukan? Aku cinta mereka, apakah mereka juga?
Muslim yang dulu ketika pulang selalu menanyakan “papa! Bawa apa?”, dengan sukacita dia akan menyalami tanganku. Begitupula Nurul, dia akan ceria menyambutku di pintu.
Gajiku besar, Sayang. Belilah apapun yang kamu mau, tapi senyumlah padaku. Berhutanglah, sebanyak-banyaknya tetapi senyumlah padaku.
Aku lelah. Di kantor, para atasanku tidak akan segan mengomel di hadapan mataku. Jariku nyaris tak bisa berhenti sekejap pun untuk beradu diatas papan tombol. Sekretarisku pun bukan perempuan, dia Rukman, sahabatku, di kesehariankau ada data, ada bos, ada tugas, ada hasil riset, tapi tak ada nama istriku, tak ada kamu!
Episode Dua
Ah, sepertinya ibu tak akan pulang sore. Kesempatan, aku akan bermain dengan Geng Tembok. Rokok sudah kubeli.
Sebetulnya aku juga rindu Mama dan Papa. Tetapi, bukankah mereka tak selalu ada dirumah? Ya, Irma sepertinya lebih paham aku daripada mereka. Seringkali ia rela menghabiskan waktu berdua bersamaku, sekedar pergi ke Kebun Raya, Bioskop, atau berbelanja pakaian.
Aku cinta Irma. Aku menemukan Mama di matanya, ia akan menatapku dalam-dalam ketika bertemu aku, bahkan menanyakan sudah makan atau belum. Ia juga mau menemaniku berbalas pesan pendek hingga malam, macam-macam hal kami bahas.
Dari Randi, sahabatku, yang putus-nyambung hubungannya dengan Ovie, kucing tetangga yang mencakar jok motorku, berita tentang banjir yang melanda kantor Papa, dan banyak lagi. Aku senang bisa tertawa bersama Irma.
Ketika aku sakit, Irmalah yang berulangkali menjenguk aku. Membawakan apel, dan menyuapi aku makanan. Memang agak risih bila ada Nurul atau Mbak Isah, tetapi biarlah. Toh aku yakin Nurul akan begitu nanti.
Papa tak pernah mau mengambil raportku, sibuk! Berulang kali aku dimarahi walikelas gara-gara itu. “Anak hilang! Bapak tahu sibuk, tetapi ini harus orang tua yang mengambil!” serbunya jenaka tapi dalam.
Nilai raportku tak terlalu bagus memang, tetapi jujur, aku tak berbuat curang.
Aku selalu menunggui Mama hingga malam, sambil menonton televisi. Tetapi ia akan pulang lebih larut dari kemampuanku menahan kantuk. Entah seperti apa rambut Mama sekarang. Terakhir, sebahu dan diluruskan.
Makanan dirumah tidak selalu enak, karena Mbak Isah memasaknya terburu ingin pulang, anaknya sudah meraung dirumah minta disusui. Ah, tak ada yang seenak makanan buatan Mama. Aku rindu aroma minyak panas yang digunakan untuk menggoreng ayam oleh Mama. Kita akan makan bersama. Selalu, sebelum Papa dianggap cerdas oleh atasannya dan naik pangkat.
Mama pernah cerita kepadaku, lewat telepon, katanya dia rindu aku. Papa jarang ada dirumah, makanya Mama mencari kerja agar tak kesepian.
Ia menyarankan aku memelihara kucing atau ikan, asal jangan keduanya, guraunya. Aku suka tawa renyah mama.
Episode Tiga
“Dua tahun lalu, Sayang, aku kesini dengan Mama dan Papa. Muslim juga ikut, tapi mabuk, hehehehe. Tempat  ini indah ya? Cocok untuk kita melamun. Duduklah, aku bukakan cokelat. Ini aku bawa dari rumah”.
“Rudy, dulu aku dan Mama pernah berkejar-kejaran, tetapi kalah disini“.
Di mata Rudy ada Papa. Itu kesimpulanku. Ia mau mendengarkan ceritaku, meskipun kadang laki-laki itu susah mengerti apa maksudku. Papa juga, kok. Biar saja, yang penting aku punya orang yang bisa memberikan perhatian padaku. Dia sabar sekali, dia akan mengerti bila aku sedang marah, sakit, kecewa, atau sedih. Meskipun kadang reaksinya justru memarahi aku.
Aku menikmati cekcok dengan Rudy, itu membuat aku memiliki kesempatan untuk bicara, lebih banyak ketimbang dengan  Mama dan Papa. Rudy selalu ada, ketika kutelepon ia akan setia mendengarkan sampai aku sendiri  yang ketiduran.
Salah Mama juga! Tak pernah ada dirumah. Kapan juga aku bisa cerita. Aku kangen Mama, tapi ketika coba aku telepon, dia tak angkat, padahal saat itu aku ingin bilang bahwa aku menang lomba basket.
Saat penerimaan raport pun, aku juara satu, tak ada siapapun yang memeluk aku. Ah… sudahlah. Mungkin Papa dan Mama memang sibuk, aku mengerti.
Dimata Rudy ada Papa, tapi dimana mata Mama? Aku kangen masakan Mama. Aku ingin belajar darinya. Ketika dirumah, ia sudah memasang laptop. Untuk bekerja! Aku rindu masa lalu. Aku butuh saran dari Mama. Dulu, waktu aku kecil Mama dekat sekali dengan aku. Biasa dia akan  memasak sambil menyanyi-nyanyi dan memintaku memotong sayur atau bawang. Sekarang mulutku akrab dengan rasa pelayan restoran, cepat saji, dibuat dengan mesin dan bau karat. Bukan dibuat dengan tangan seorang ibu. Dibuat massal, bukan dibuat khusus dari Mama untuk anaknya. Ketika makan pun sendiri atau dengan Muslim saja. Tidak dengan Mama dan Papa.
Episode empat
Paling sejam dua jam, Bapak akan pulang, terus Ibu juga empat jam-an lah. Cuma Mbak Nurul sama Mas Muslim saja.
Kuingat, sudah tiga tahun lah aku menjadi rewang disini. Bapak dan Ibu baik sekali, gajiku selalu dibayar lebih awal, lebih pula. Yang menyenangkan, aku bebas makan di rumah ini.
Aku malas mengepel setiap hari, wong jarang ada orang dirumah.  Paling Ibu cuma titip masak buat Mas.
Yang bikin aku sebal, kenapa sih Ibu dan Bapak kalau pulang selalu cek-cok? Seperti tak ada lelahnya. Aku buatkan teh, tak pernah diminum hingga ditemukan oleh semut-semut. Pernah juga, aku mengambil sepatu dari tangan Bapak, malah dimarahi oleh Ibu. Dia merebut sepatu itu, dan meletakkannya dengan tangannya sendiri ke rak sepatu dekat tangga. Ibu menjadi sibuk ketika Bapak jarang pulang, melawat ke seantero negeri.
Ibu sayang sekali kepada Bapak, tetapi dia bilang Bapak tidak memperhatikan dia dengan sungguh seperti dulu. Dia juga cerita jika dulu pernah melarat, malahan lebih bahagia. Ibu masak, pasti ada yang makan. Memang, aku juga senang kalau aku memasak, lalu Masku dirumah memakannya dengan lahap, meskipun aku tahu dari wajahnya, terlalu asin.
Ibu juga pernah tanya aku, apakah aku bahagia dengan suamiku?
Ya, aku jawab iya. Dia tak pernah pulang malam, terus teh hangatku juga diminumnya. Badannya memang bau asam, tapi ia selalu senyum aneh setiap lihat aku mengganti pakaian dihadapannya. Malam hari, jarang sekali aku kedinginan meskipun rumahku berjendela lebar. Selalu ada selimut yang tampan itu, melingkupi aku sepanjang hawa dingin menyerang.
Aku bahagia lah, kataku kepada Ibu.
Aku menjadi teman cerita Ibu. Beberapa ceritanya kupikir hanya pantas diceritakan kepada suami, tetapi kenapa padaku?
Benar juga, Bapak jarang pulang, meskipun tak selingkuh.
Bapak hanya omong sayang Ibu, tetapi aku tak pernah lihat itu. Kalah mesra dia dengan aku kepada Masku. Sayang apanya, pulang malah membuka file komputer terus pagi buta berangkat lagi, tanpa salam pula. Lagi-lagi tehku disajikan buat semut-semut dan sepi.
Tahukah, Bapak?
Ibu sering menangis, Pak. Aku hanya pembantu, Pulanglah!
Episode Lima
“Sayang, maaf aku tak sedang di rumah. Ada rapat mendadak, dan atasanku selalu marah bila aku terlambat”
Maafkan aku, Sayang. Hanya memo itu yang sempat kutinggalkan di atas bantal kesayanganmu. Aku cinta kamu, tetapi apa daya ketika kamu tak di rumah hingga larut malam? Aku takut bila meneleponmu, kamu akan marah karena bos akan menegurmu.
Aku mengkhawatirkanmu, apakah kamu sudah makan siang? Apakah kamu bergandengan dengan tangan halus dan putih, dengan cincin yang permatanya tak aku kenal?
Aku ingin seperti dulu, tinggal di rumah memasakkan nasi dan lauk untuk kamu, tetapi apakah kamu pernah memakannya? 3 hari biasanya, ketika sayur mulai basi kamu baru ada waktu, bukan untuk aku tetapi menerima tamu.
Kamu sibuk, aku mengerti. Aku tak mau tenggelam dalam pikiran yang terus mengkhawatirkan dirimu. Aku tahu kamu pasti dapat menjaga diri, seperti kamu menjaga aku dan anak-anak dengan baik, dulu.
Belum lama aku ke dapur, Mbak Isah hanya berkata kamu datang tadi malam, jam duabelas, ketika aku terlelap dan pergi lagi, tanpa mengatakan apapun. Aku cinta kamu , Sayang.
Anak-anak kita sudah besar, sudah sekolah. Beberapa kali aku mengantar mereka tetapi selalu terlambat ke kantor.
Aku rindu kamu, aku ingin menjawab salammu, tetapi seringkali  kamu tidak dengan jelas mengucapkan salam. Kata-kata pertamamu, bukan memanggil aku seperti dulu tetapi memanggil pembantu kita. Bukankah aku istrimu?
Aku tidak lupa Muslim dan Nurul! Tidak! Aku cinta mereka seperti kamu cinta mereka. Aku selalu tanyakan bagaimana tugas mereka disekolah. Aku selalu berikan uang jajan yang cukup, kupikir cukup.
Aku mengaku, baiklah. Memang aku yang tak becus menjadi ibu buat anak-anak kita, anakku dan anakmu. Tetapi aku sayang kamu. Aku seorang ibu, sayang. Aku seorang ibu, ibu tidak dipanggil ibu tanpa ayah dan tanpa anak-anaknya. Ibu yang sendiri adalah perempuan yang mendekati senja, ibu yang sendirian bukanlah seorang yang kudambakan.
Aku cinta kamu, cinta Muslim dan Nurul.
Episode Enam
“Sayang, kamu jangan bekerja, ya? Sapui saja kamar kita, dan memasaklah untuk aku, yang harum. Terimakasih menyambut aku dengan senyum. Terimakasih masih menjadi istriku sejauh ini”, tutur  Mas Karjo kepada Mbak isah, sepulang dari bekerja.
Burung-burung beterbangan dengan damai diatas rumah mereka berdua yang kumuh dan miskin, tetapi selalu dihuni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar